Ada yang tertinggal dalam pembahasan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk bank syariah (PSAK Syariah). Ketika membahas memasukkan pencatatan zakat bank, rujukan yang dipakai tim perumus adalah Standar terbitan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Bahrain.
Padahal standar ini membuka pencatatan bagi dua pendapat besar.
Pendapat pertama, dasar perhitungan zakat bank dengan menggunakan metode net worth (kekayaan bersih). Artinya seluruh kekayaan bank, termasuk modal dan keuntungan harus dihitung sebagai sumber yang harus dizakatkan. Hal ini sesuai dengan dasar syariah tentang zakat perdagangan (niaga) yaitu barang dagangan (‘urudh tijarah). Dengan demikian, dasar perhitungan zakat bank, menurut bahasa akuntansi adalah seluruh kekayaan (aktiva) dikurangi kewajiban (passiva) lalu dikurangi saham-saham pemerintah dan yayasan sosial, sehingga yang tertinggal adalah modal dan keuntungan untuk dizakatkan. Persentase zakat yang dikeluarkan darinya adalah dua setengah persen.
Perkiraan yang dibuat atas dasar ini adalah nilai zakat yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi dari yang tengah berlaku sekarang. Masalah yang timbul akibat metode ini adalah bahwa mungkin saja terjadi zakat yang harus dikeluarkan oleh bank syariah lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Jika demikian halnya, maka bank harus membayar zakat itu dari keuntungan dan modalnya. Hal ini membawa kepada persoalan berikutnya. Jika zakat dibayar dari modal dan keuntungan, maka tiap tahun bank syariah harus membuat pertumbuhan dan keuntungan yang lebih besar dari 2,5%. Kalau tidak, maka lama-kelamaan modalnya akan habis dimakan zakat. Hal ini akan menimbulkan persoalan berikutnya. Bank yang modalnya berada pada posisi pas-pasan diukur dari ketentuan yang berlaku (8%) maka dengan membayar zakat, posisinya justru akan berada dibawah rasio minimum sebagaimana diharuskan oleh ketentuan tersebut. Jika ini dibiarkan, maka bisa jadi kemudian bank syariah ditutup karena jumlah modalnya tidak memenuhi syarat. Tapi mungkinkah zakat membuat bank syariah ditutup, atau tafsiran ‘urudh tijarah-nya yang tidak tepat?
Pendapat kedua, dan sudah dipraktekkan dalam bank syariah sekarang ini, adalah menjadikan keuntungan dalam setahun sebagai dasar perhitungan zakat. Hal ini nampaknya dilakukan berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa badan seperti bank syariah tidak layak menjadi obyek hukum syariah, karena bukan individu. Kalaupun ia membayar zakat, ia hanya menjadi wakil dari pemegang saham alias pemilik lembaga tersebut. Sebagai wakil ia tidak berhak bertindak tanpa persetujuan pemiliknya, termasuk pemungutan zakat atas pemilikan saham. Jika dalam Rapat Umum pemegang saham ditetapkan bahwa bank hanya mengeluarkan zakat dari keuntungan saja maka hanya itulah yang dapat dilakukan oleh bank. Ketika RUPS menetapkan bank tidak mengeluarkan zakat, karena pemegang saham membayarkan masing-masing zakatnya, maka bank tidak dapat berbuat apa-apa. Kondisi yang dimungkinkan oleh Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perusahaan ini nampaknya harus berhadapan dengan Undang-undang no. 35 tahun 2000 tentang Pengelolaan Zakat. Meskipun tidak menerangkan secara detail, UU Zakat menunjuk perusahaan yang pemegang sahamnya muslim merupakan obyek pajak. Ketidakjelasan obyek pajak ini yang menyebabkan pendapat kedua ini mendapat legitimasinya. Bagaimana jika pemegang saham bank syariah tidak semua muslim, apakah perusahaan ini tidak dikenakan zakat?
Kedua pendapat ini dibenarkan oleh para ulama, meskipun memperoleh hasil yang berbeda. Tapi masalahnya adalah dalam penyusunan laporan perbankan syariah harus memilih satu metode. Hal ini dimaksudkan agar prinsip comparibility bisa dilaksanakan. Kalau bank yang satu memakai mteode pertama dan yang lain menggunakan metode kedua, bagaimana mungkin melakukan perbandingan diantara kedua bank syariah?
Jika pendapat yang diterima adalah pendapat kedua dan dipakai sebagai standar penghitungan zakat untuk bank syariah sebagaimana diminta, nampaknya fikih kontemporer mengalami setback karena konsep lembaga keuangan syariah sebagai syakhsyiyyah i’tibariyyah (abstract personality) tidak lagi dianut. Dalam soal zakat bank syariah harus kembali menjadi impersonal dan ketentuan syariah kembali didasarkan kepada manusia secara individual.
Wallahu A’lam.
Dimuat Tabloid Fikri, 2002
Padahal standar ini membuka pencatatan bagi dua pendapat besar.
Pendapat pertama, dasar perhitungan zakat bank dengan menggunakan metode net worth (kekayaan bersih). Artinya seluruh kekayaan bank, termasuk modal dan keuntungan harus dihitung sebagai sumber yang harus dizakatkan. Hal ini sesuai dengan dasar syariah tentang zakat perdagangan (niaga) yaitu barang dagangan (‘urudh tijarah). Dengan demikian, dasar perhitungan zakat bank, menurut bahasa akuntansi adalah seluruh kekayaan (aktiva) dikurangi kewajiban (passiva) lalu dikurangi saham-saham pemerintah dan yayasan sosial, sehingga yang tertinggal adalah modal dan keuntungan untuk dizakatkan. Persentase zakat yang dikeluarkan darinya adalah dua setengah persen.
Perkiraan yang dibuat atas dasar ini adalah nilai zakat yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi dari yang tengah berlaku sekarang. Masalah yang timbul akibat metode ini adalah bahwa mungkin saja terjadi zakat yang harus dikeluarkan oleh bank syariah lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Jika demikian halnya, maka bank harus membayar zakat itu dari keuntungan dan modalnya. Hal ini membawa kepada persoalan berikutnya. Jika zakat dibayar dari modal dan keuntungan, maka tiap tahun bank syariah harus membuat pertumbuhan dan keuntungan yang lebih besar dari 2,5%. Kalau tidak, maka lama-kelamaan modalnya akan habis dimakan zakat. Hal ini akan menimbulkan persoalan berikutnya. Bank yang modalnya berada pada posisi pas-pasan diukur dari ketentuan yang berlaku (8%) maka dengan membayar zakat, posisinya justru akan berada dibawah rasio minimum sebagaimana diharuskan oleh ketentuan tersebut. Jika ini dibiarkan, maka bisa jadi kemudian bank syariah ditutup karena jumlah modalnya tidak memenuhi syarat. Tapi mungkinkah zakat membuat bank syariah ditutup, atau tafsiran ‘urudh tijarah-nya yang tidak tepat?
Pendapat kedua, dan sudah dipraktekkan dalam bank syariah sekarang ini, adalah menjadikan keuntungan dalam setahun sebagai dasar perhitungan zakat. Hal ini nampaknya dilakukan berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa badan seperti bank syariah tidak layak menjadi obyek hukum syariah, karena bukan individu. Kalaupun ia membayar zakat, ia hanya menjadi wakil dari pemegang saham alias pemilik lembaga tersebut. Sebagai wakil ia tidak berhak bertindak tanpa persetujuan pemiliknya, termasuk pemungutan zakat atas pemilikan saham. Jika dalam Rapat Umum pemegang saham ditetapkan bahwa bank hanya mengeluarkan zakat dari keuntungan saja maka hanya itulah yang dapat dilakukan oleh bank. Ketika RUPS menetapkan bank tidak mengeluarkan zakat, karena pemegang saham membayarkan masing-masing zakatnya, maka bank tidak dapat berbuat apa-apa. Kondisi yang dimungkinkan oleh Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perusahaan ini nampaknya harus berhadapan dengan Undang-undang no. 35 tahun 2000 tentang Pengelolaan Zakat. Meskipun tidak menerangkan secara detail, UU Zakat menunjuk perusahaan yang pemegang sahamnya muslim merupakan obyek pajak. Ketidakjelasan obyek pajak ini yang menyebabkan pendapat kedua ini mendapat legitimasinya. Bagaimana jika pemegang saham bank syariah tidak semua muslim, apakah perusahaan ini tidak dikenakan zakat?
Kedua pendapat ini dibenarkan oleh para ulama, meskipun memperoleh hasil yang berbeda. Tapi masalahnya adalah dalam penyusunan laporan perbankan syariah harus memilih satu metode. Hal ini dimaksudkan agar prinsip comparibility bisa dilaksanakan. Kalau bank yang satu memakai mteode pertama dan yang lain menggunakan metode kedua, bagaimana mungkin melakukan perbandingan diantara kedua bank syariah?
Jika pendapat yang diterima adalah pendapat kedua dan dipakai sebagai standar penghitungan zakat untuk bank syariah sebagaimana diminta, nampaknya fikih kontemporer mengalami setback karena konsep lembaga keuangan syariah sebagai syakhsyiyyah i’tibariyyah (abstract personality) tidak lagi dianut. Dalam soal zakat bank syariah harus kembali menjadi impersonal dan ketentuan syariah kembali didasarkan kepada manusia secara individual.
Wallahu A’lam.
Dimuat Tabloid Fikri, 2002
No comments:
Post a Comment