(Reload bahan seminar)
Cecep Maskanul Hakim
I. PENDAHULUAN
Obligasi adalah surat hutang jangka panjang dengan bunga tertentu yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten). Obligasi sering diterbitkan untuk menggantikan hutang jangka pendek yang biasanya diberikan dalam bentuk kredit oleh bank.
Obligasi dapat diterbitkan atas nama (title bond) atau atas unjuk (sight bond). Obligasi yang diterbitkan atas nama adalah obligasi yang merujuk kepada nama pemegang obligasi yang membeli dari penerbitnya. Apabila pemilikan obligasi dipindahkan kepada pihak lain maka harus dilakukan endorsement sebagai tanda bahwa obligasi tersebut telah berpindah kepemilikan. Obligasi atas unjuk adalah obligasi yang diterbitkan tanpa nama pemilik. Siapa saja yang menguasainya berhak atas pengembalian pokok dan kupon yang dibayarkan oleh penerbitnya.
Obligasi dapat diterbitkan dengan kupon atau tanpa kupon. Kupon yang dibayarkan berisi bunga yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian penerbitan obligasi.
Obligasi dapat diperjualbelikan di pasar sekunder dengan harga yang disepakati; seringkali dengan diskon (discounting).
II. PANDANGAN ISLAM
Melihat definisi yang berlaku pada obligasi, maka ada dua hal yang menurut pandangan Islam perlu diperhatikan. Pertama masalah bunga dan kedua adalah masalah hutang dan pemindahannya dalam bentuk jual beli obligasi di pasar sekunder.
1. Pandangan Islam tentang bunga
Masalah bunga tidak akan banyak dibahas dalam paper ini, karena pembahasan tentang telah dibahas di tempat lain. Tapi sebagai bahan untuk memperkuat tentang obligasi syariah, dibawah ini disampaikan beberapa pandangan, kesimpulan dan keputusan beberapa lembaga Islam.
a. Dewan Studi Islam AlAzhar, Cairo
“Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan.” (Konferensi DSI AlAzhar, Muharram 1385 H/ Mei 1965 M)
b. Rabithah Alam Islamy
“Bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan. “ (Keputusan No. 6 Sidang ke 9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H)
c. Majma’ Fiqih Islamy, Organisasi Konferensi Islam
“Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang diharamkan secara syariah” (Keputusan No. 10 Majelis Majma’ Fiqih Islamy, Koneferensi OKI ke II, 22-28 Desember 1985)
Khusus di Indonesia, fatwa tentang bunga yang ditetapkan Ijtima’ Ulama baru-baru ini sebenarnya merupakan kelanjutan fatwa sebelumnya, diantaranya
a. Lokakarya Alim Ulama MUI di Cisarua pada tahun 1990 yang menghasilkan 3 kesimpulan tentang bunga: sama dengan riba, tidak sama dengan riba dan syubhat. Lokakarya ini merekomendasikan kepada pemerintah agar mendirikan “bank tanpa bunga”. Lokakarya ini pula yang dianggap sebagai penyebab lahirnya Bank Muamalat pada bulan Mei tahun 1992.
b. Bahtsul Masaail para ulama Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional kan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung pada bulan Februari tahun 1992 juga menghasilkan keputusan yang serupa. Bahtsul Masail merekomendasikan agar PB NU mendirikan bank yang sesuai dengan syariah Islam.
c. Lajnah Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa bunga yang terdapat pada bank-bank pemerintah termasuk perkara yang “mutasyabihat”. Oleh karena itu Lajnah Tarjih merekomendasikan agar PP Muhammadiyah mendirikan bank “yang sesuai dengan kaidah Islam”.
d. Lajnah Komisi Fatwa se Indonesia, Rapat Kerja Nasional MUI, 16 Desember 2003: “Bunga bank adalah riba yang diharamkan. Ummat Islam diminta untuk menggunakan bank syariah jika keberadaan mereka berada pada radius tertentu yang dapat dicapai.”
2. Pandangan Islam tentang Hutang
Obligasi adalah hutang emiten kepada investor. Jual beli obligasi berarti jual beli hutang (Bai’ al Dayn). Dalam Islam jual beli hutang termasuk dalam kategori jual beli yang obyeknya tidak dapat diambil saat berkontrak (Bai’ Ma’juz al-Taslim). Jika dilakukan pemindahan obligasi dari satu pihak kepada pihak lain (secondary market) maka dalam Islam hanya mungkin lewat salah satu dari dua cara: Jual beli hutang (Bai’ al-Dayn) atau pemindahan hutang (Hiwalah)
a. Jual Beli Hutang
Menurut Fiqih Muamalah, jual beli Hutang (Bai’ alDayn) dalam Islam dibagi menjadi empat macam:
i. Bai’ AlDayn Lil Madin Nasiah (Jualbeli hutang secara tangguh kepada yang berhutang). Misalnya: Seseorang membeli 10 ton beras dengan jangka waktu 3 bulan. Ketika jatuh tempo penjual tidak mampu melaksanakannya. Lalu penjual berkata, saya beli lagi dari anda beras itu untuk jangka waktu 1 bulan kemudian dengan harga yang lebih tinggi.
ii. Bai’ AlDayn Li Ghairil Madin Nasiah (Jualbeli hutang secara tangguh kepada yang tidak berhutang). Misalnya: Seseorang menjual beras 10 ton yang masih berada di pihak lain setelah satu bulan
iii. Bai’ AlDayn Lil Madin Naqdan (Jualbeli hutang secara tunai kepada yang berhutang,) Misal: Seseorang menjual hutang jenis lain kepada orang yang telah berhutang kepadanya
iv. Bai’ AlDayn Li Ghairil Madin Naqdan (Jualbeli hutang secara tunai kepada yang tidak berhutang). Misalnya seseorang menjual hutang kepada pihak lain yang tidak berhutang kepadanya. Para ulama sepakat bahwa: Jual beli hutang secara tangguh, baik kepada yang berhutang maupun tidak, adalah tidak diperbolehkan. Jual beli hutang kepada yang berhutang secara tunai (Bai’ al-dayn lil madin naqdan) ini dibolehkan dengan berbagai syarat menurut para ulama masing-masing.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jenis yang keempat ini, yaitu Jualbeli hutang kepada yang tidak berhutang, secara tunai (Bai’ aldayn li ghairil madin naqdan)
i. Hanafi dan Zahiry:
Jualbeli hutang secara tangguh kepada orang yang tidak berhutang, jika dilakukan, dianggap tidak pernah terjadi, karena hutang itu tidak dapat diserahkan, kecuali bagi yang berhutang itu sendiri pada hak penjualnya.
ii. Syafiiyyah
Boleh dilakukan jual beli hutang yang mustaqar, yaitu hutang yang dipastikan pemanfaatannya dan kalau memilikinya dapat dipastikan haknya tanpa ada kemungkinan (ihtimal) jatuhnya/ tak tertagih. Contoh hutang mustaqar: nilai barang-barang yang mudah rusak atau harta yang ada pada peminjam. Jika hutang itu berbentuk barang pesanan dari transaksi Salam, tidak sah jual beli hutang tersebut.
iii. Hambaly
Tidak sah jual beli hutang secara tangguh kepada yang bukan berhutang, sama tidak sahnya menghibahkan hutang kepada orang yang tidak memiliki tanggungan (zimmah)
iv. Maliky
Dibolehkan jual beli hutang secara tangguh kepada orang yang tidak berhutang dengan 8 syarat yang dapat dirangkum menjadi dua kategori: Tidak mengarah kepada gharar, riba, dsb, dan yang berhutang berada pada negara yang sama agar mudah ditagih.
b. Hiwalah
Cara lain untuk memindahkan hutang kepada pihak lain adalah dengan Hiwalah atau Hawalah. Dalam syariah Hiwalah adalah pemindahan huang/piutang kepada pihak ketiga, sehingga pihak ketiga dapat menagih kepada pihak pertama. Ada beberapa hukum yang terkait dengan Hiwalah ini:
i. Pengalihan hutang/piutang kepada pihak ketiga tanpa persetujuan yang berhutang dibolehkan oleh para ulama Hanafi dengan dasar Hiwalatul haq yang didasari kafalah (penjaminan) oleh Muhil. Atas dasar pendapat ini, ulama Hanafi mensyaratkan bolehnya pihak ketiga untuk menagih kembali (recourse) kepada Muhil, apabila tidak tertagih, sedangkan ulama Syafii tidak membolehkannya, karena mensyaratkan adanya persetujuan diantara ketiga pihak.
ii. Ulama Syafii membolehkan hiwalah dengan syarat ada hutang yang sama jumlahnya yaitu jumlah hutang antara pihak pertama (Muhal) dan pihak kedua (Muhil) dan pihak kedua (Muhil) dengan pihak ketiga (Muhal ‘Alaih).
Dalam dunia komersial, pengalihan piutang dengan menggunakan hiwalah melahirkan beberapa masalah yang memerlukan fatwa, yaitu:
i. Akad hiwalah dalam fiqih klasik termasuk kategori uqud tabarru’, artinya akad tolong menolong diantara para pelaku transaksi tanpa mengharapkan imbalan. Dengan kata lain, akad ini bersifat sosial, bukan komersial. Padahal dalam dunia moderen, dimana jasa merupakan komoditi yang harus dijual, maka hiwalah tidak mungkin dilakukan tanpa biaya.
ii. Penerima pengambilalihan piutang itu (Muhal alaih) meminta jasa untuk penagihan. Sebab untuk melakukan penagihan kepada pihak yang berhutang harus mengeluarkan biaya dan tenaga.
iii. Jasa penagihan biasanya langsung dikurangkan dari nilai yang terdapat dalam obligasi. Jika yang memindahkan kewajiban itu pihak yang berutang, maka jasa yang diminta adalah karena harus mecari dana tunai untuk menutupi kewajiban itu. Biaya jasa ditambahkan kepada jumlah hutang, yang perhitungannya bisa dalam bentuk nominal maupun persentase.
iv. Dalam Obligasi, hutang yang ditanggung mengandung bunga, yang oleh para ulama dianggap sesuatu yang harus dihindari.
III. OBLIGASI SYARIAH
Obligasi Syariah di dunia internasional dikenal dengan Sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jama) yang memilliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Tapi sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sebuah sakk atau sukuk mewakili kepentingan (interest), baik penuh ataupun proporsional dalam sebuah atau kumpulan asset.
1. Ketentuan yang mengatur
Ketentuan yang mengatur tentang penerbitan sukuk, terutama dari sisi syariah telah ditetapkan oleh Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) , yaitu Sharia Standard No. 17 –Investment Sukuk. Dalam standar ini, AAOIFI membagi sukuk investasi (investment sukuk) menjadi beberapa macam.
a. Sertifikat pemilikan dalam asset yang disewakan
Adalah sertifikat dengan nilai yang sama, yang diterbitkan baik oleh pemilik dari aset yang disewakan atau asset nyata yang dijanjikan akan disewakan, atau oleh lembaga perantara keuangan yang bertindak atas nama pemilik dengan tujuan menjual asset itu dan memperoleh kembali nilainya melalui pembelian/pemilikan karena pemegang sertifikat menjadi pemilik asset tersebut.
b. Sertifikat pemilikan manfaat (usufruct). Sertifikat pemilikan manfaat ini juga dapat dibagi menjadi empat macam:
i. Sertifikat pemilikan manfaat dari asset yang tersedia
Sertifikat ini terdiri dari dua macam
• Sertifikat yang nilainya sama, yang diterbitkan oleh pemilik asset yang ada, baik oleh dirinya sendiri atau lembaga perantara, dengan tujuan menyewakan asset itu dan menerima pembayaran sewa dari pendapatan karena pemilikan sertifikat (subscription), karena manfaat aset itu berpindah kepada pemilikan dari pemegang serifikat
• Sertifikat yang nilainya sama, yang diterbitkan oleh pemilik asset yang ada, baik oleh dirinya sendiri atau lembaga perantara, dengan tujuan menyewakan kembali manfaat itu dan menerima sewa dari pendapatan yang disebabkan pemilikan sertifikat itu (subscription) karena pemegang sertifikat menjadi pemilik manfaat asset itu.
ii. Sertifikat pemilikan manfaat dari asset yang ditentukan dan akan dimiliki
Sertifikat yang sama nilai, diterbitkan dengan tujuan menyewakan asset nyata (tangible) di masa datang dan untuk memperoleh sewa dari pendapatan yang disebabkan pemilikan sertifikat (subscription), karena manfaat dari asset yang ditentukan di masa datang itu beralih menjadi pemilikan pemegang sertifikat.
iii. Sertifikat pemilikan jasa pihak tertentu
Sertifikat yang sama nilai, yang diterbitkan untuk tujuan penyediaan jasa melalui penyedia tertentu (seperti manfaat pendidikan pada suatu universitas) dan memperoleh pembayaran jasa (service charge) karena pemegang sertifikat menjadi pemilik dari jasa-jasa ini.
iv. Sertifikat pemilikan jasa yang ditentukan di masa depan
Adalah sertifikat yang sama nilai, yang diterbitkan untuk tujuan penyediaan jasa di masa depan melalui penyedia tertentu (seperti manfaat pendidikan pada suatu universitas, tanpa memberi nama dari lembaga pendidikan itu) dan memperoleh imbalan (fee) dalam bentuk pendapatan karena kepemilikan (subscription) karena pemegang sertifikat menjadi pemilik jasa.
c. Sertifikat Salam
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan untuk tujuan memobilisasi modal salam sehingga barang-barang yang akan dikirim -berdasarkan transaksi Salam- akan menjadi milik dari pemegang sertifikat.
d. Sertifikat Istisna
Adalah sertifikat yang sama nilai dan diterbitkan dengan tujuan memobilisasi dana yang akan digunakan untuk memproduksi barang-barang yang kemudian akan dimiliki oleh pemilik sertifikat.
e. Setifikat Murabahah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan untuk tujuan membiayai pembelian barang-baran gmelalui Murabahah sehingga pemegang sertifikat menjadi pemilik komoditas Murabahah.
f. Sertifikat Musyarakah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan denga tujuan menggunakan dana yang dimobilisasi untuk melaksanakan sebuah proyek baru, mengembangkan proyek yang sedang berlangsung atau membiayai aktifitas bisnis berdasakan sebuah akad kemitraan sehingga pemegang sertifikat menjadi pemilik proyek atau asset dari aktifitas itu sesuai dengan partisipasi mereka masing-masing, dengan sertifikat Musyarakah yang dikelola berdasarkan pertisipasi atau Mudharabah, atau sebuah perwakilan investasi.
i. Sertifikat Partisipasi
Adalah sertifikat yang mewakili proyek atau aktifitas yang dikelola berdasarkan Musyarakah dengan menunjuk salah satu mitra atau pihak lain untuk mengelola operasinya
ii. Sukuk Mudarabah
Adalah sertifikat yang mewakili proyek atau aktifitas yang dikelola berdasarkan Mudharabah dengan menunjuk salah satu mitra atau pihak lain sebagai Mudharib untuk pengelolan operasinya
iii. Sertifikat Wakil Investasi (Investment Agency)
Adalah sertifikat yang mewakili proyek atau aktifitas yang dikelola berdasarkan perwakilan investasi (investment agency) dengan menunjuk wakil untuk mengelola operasinya atas nama pemegang sertifikat.
g. Sertifikat Muzaraah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan dengan tujuan menggunakan dana yang dimobilisasi melalui pembelian (sertifikat) untuk pembiayaan sebuah proyek berdasarkan Muzaraah sehingga pemegang sertifikat berhak memiliki sebagian hasil pertanian menurut syarat dari perjanjian.
h. Sertifikat Musaqat
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan denga tujuan menggunakan dana yang dimobilisasi melalui pembelian (sertifikat) untuk pengairan (irigasi) pepohonan yang menghasilkan buah, membelanjakannya untuk keperluan tersebut dan pemeliharaannya berdasarkan akad Musaqat sehingga pemegang sertifikat berhak memiliki sebagian hasil perkebunan itu berdasarkan perjanjian
i. Sertifikat Mugharatsah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan berdasarkan akad Mugharatsah untuk tujuan menggunakan dana itu dalam penanaman pohon dan melaksanakan kerja serta biaya yang diperlukan untuk penanaman tersebut sehingga pemegang sertifikatnya memiliki sebagian dalam tanah dan tumbuhannya.
2. Karakter Sukuk (sertifikat) Investasi
a. Sukuk investasi adalah sertifikat sama nilai (equal value) atas nama atau atas unjuk agar menciptakan klaim pemilik sertifikat atas hak finansial dan obligasi yang diwakili oleh sertifikat.
b. Sukuk investasi mewakili sebuah bagian umum dalam pemilikan dari asset yang tersedia untuk investasi, baik asset non–moneter, manfaat, jasa ataupun campuran dari ketiganya ditambah dengan hak, hutang dan asset moneter. Sukuk-sukuk ini tidak mewakili sebuah hutang yang diserahkan kepada emiten oleh pemegang sertifikat.
c. Sukuk investasi diterbitkan berdasarkan sebuah kontrak yang dirujuk Syariah sesuai dengan peraturan Syariah yang mengatur penerbitan dan perdagangannya.
d. Perdagangan sukuk investasi tergantung kepada syarat-syarat yang mengatur perdagangan hak yang mewakilinya.
e. Pemilik sertifikat-sertifikat ini berbagi keuntungan sebagaimana dinyatakan dalam prospectus pembelian, dan menanggung kerugian secara proporsional terhadap sertifikat yang dimiliki (dikuasai) oleh mereka.
IV. OBLIGASI SYARIAH DI INDONESIA
Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh akhir tahun 2002. Obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan prinsip Mudharabah. Mudharabah adalah akad kerjasama dalam bidang usaha dimana salah satu pihak bertindak selaku pemilik modal (sahibul mal) sedangkan pihak lain bertindak selaku pengelola (mudharib). Keuntungan yang diperoleh dari usaha ini dibagi menurut kesepakatan dimuka, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Melihat kebutuhan pasar yang menginginkan adanya obligasi yang memberikan pendapatan tetap (fixed income) maka mulai tahun 2003 obligasi syariah ada yang diterbitkan berdasarkan prinsip Ijarah.
1. Obligasi Mudharabah
a. Fatwa DSN
Obligasi Mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang Obligasi Syariah (Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 32/DSN-MUI/ /2002) dan Obligasi Syariah Mudharabah (Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 33/DSN-MUI/ /2002) diterbitkan.
b. Penerapan Mudharabah dalam obligasi
Penerapan Mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku Mudharib, pengelola dana dan investor bertindak selaku Sahibul Mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Terdapat kontradiksi antara Mudharabah dan Obligasi dalam definisi. Karena itu jika disebut Obligasi Mudharabah maka terdapat pertentangan (ambiguity) yaitu kalangan pasar modal menganggapnya sebagai surat hutang sedangkan kalangan syariah menganggapnya sebagai surat investasi. Karena itu pula, menyebut Obligasi Mudharabah berarti melakukan perluasan definisi terhadap kata obligasi.
Preseden perluasan definisi terjadi pertama kali dalam perbankan. Pada awalnya benturan pengertian juga dirasakan ketika penyebutan bank syariah pertama kali dilakukan. Pada tahun 1970an pengertian bank adalah lembaga yang melakukan transaksi keuangan dengan berdasarkan bunga. Pengertian itu meluas ketika bank syariah berdiri dan masuk dalam Undang-undang perbankan. Kata “bank” kemudian tidak selalu berarti bank konvensional.
Dengan kata lain, transaksi Mudharabah adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
c. Kendala
Meskipun telah berhasil diterbitkan, namun obligasi syariah Mudharabah menghadapi beberapa kendala. Kendala ini bervariasi sehingga diperlukan upaya pembenahan untuk dapat lebih efektif sebagaimana yang bentuk aslinya.
i. Syariah
• Revenue versus Profit sharing
Masalah syariah yang muncul bersama Obligasi Mudharabah adalah masalah distribusi pendapatan, apakah menganut profit sharing atau revenue sharing. Fatwa DSN No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa Revenue Sharing lebih maslahat digunakan dalam pembagian pendapatan. Tidak banyak yang tahu bahwa pemilihan revenue sharing sebagai system yang lebih maslahat merujuk kepada dimensi waktu ketika fatwa itu ditetapkan. Pada saat itu apabila bagi untung diterapkan maka tingkat keuntungan yang diberikan bank syariah kepada nasabah akan lebih kecil dari tingkat suku bunga di pasar.
Penyebutan revenue sharing (bagi hasil) sendiri sebenarnya kurang tepat bila mengacu kepada Mudharabah karena istilah yang digunakan dalam bahasa Arabnya adalah “ribh” yang berarti keuntungan. Dan Mudharabah adalah akad usaha yang apabila mendapat keuntungan (ribh) -yang berarti pendapatan dikurangi biaya- dibagi menurut kesepakatan di muka antara sahibul mal dan mudharib
• Profit Kuartal sebelumnya
Masalah kedua adalah ketika penerbitan obligasi mudharabah dilakukan, perusahaan memerlukan jangka waktu tertentu untuk menggunakan dana itu dalam usahanya agar mendapatkan keuntungan yang kemudian dibagikan kepada pemegang obligasi. Padahal tradisi yang berlaku dalam obligasi mengharuskan perusahaan membayar kupon (bunga) setiap tiga bulan.
• Jaminan
ii. Finance
Masalah terbesar yang masih dihadapi oleh praktek keuangan Islam, termasuk di dalamnya perbankan, adalah belum ada ukuran (benchmark) untuk melakukan discounting, terutama ketika sebuah obligasi syariah akan dilepas ke pasar sekunder.
iii. Legal
Sampai saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi Syariah dari otoritas yang berwenang. Sehingga ketentuan tentang obligasi syariah mengacu kepada ketentuan tentang obligasi konvensional.
iv. Akuntansi
• Perlakuan akuntansi oleh para penerbit masih diperlakukan sebagai hutang. Tidak seperti dalam perbankan yang telah memiliki standar akuntansi tersendiri untuk perbankan syariah pasar modal syariah belum memiliki standar akuntansi tersendiri. Praktek akuntansi yang digunakan para pelaku pasar mengacu kepada standar akuntansi perusahaan. Akibatnya pencatatan obligasi mudharabah diakui sebagai hutang yang diterima perusahaan melalui penjualan surat berharga, sedangkan oleh pemegang obligasi sebagai piutang yang dimiliki karena membeli surat berharga.
2. Obligasi Ijarah
a. Fatwa DSN
Obligasi Ijarah diterbitkan berdasarkan fatwa DSN No.41/DSN-MUI/ /2003 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
b. Penerapan Ijarah dalam Obligasi
Penerapan Ijarah dalam obligasi mengikuti berbagai variasi mengikuti kebutuhan dan situasi perusahaan yang akan menerbitkan (emiten).
i. Emiten bertindak selaku wakil dari investor/ Pemegang Obligasi menyewa dari pihak ketiga. Lalu Emiten menyewanya dari investor/pemegang obligasi.
ii. Investor/ Pemegang Obligasi menyewa asset dari pihak ketiga. Emiten menyewanya dari investor/ Pemegang Obligasi.
iii. Investor/ Pemegang Obligasi menyewa asset dari Emiten. Emiten menjadi wakil dari Investor/ Pemegang Obligasi untuk menyewakannya kepada pihak ketiga.
c. Kendala
Seperti juga dalam obligasi syariah Mudharabah, Obligasi Syariah Ijarah menghadapi tantangan dan kendala yang tidak sedikit. Berikut ini adalah diantaranya:
i. Syariah
Ada beberapa Issu syariah yang menjadi perdebatan dalam penerbitan obligasi syariah ijarah.;
• Wakil yang kemudian menjadi penyewa
Dalam salah satu modus obligasi syariah ijarah, emiten bertindak pertama kali selaku wakil dari pemegang obligasi syariah untuk menyewa/membeli asset dari pihak ketiga. Lalu setelah transaksi itu dilakukan, emiten bertindak selaku penyewa.
Sebenarnya pola ini adalah pola umum yang terjadi dalam perbankan syariah, terutama murabahah, dimana bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang yang akan dibelinya sendiri dari bank. Hal ini dilakukan mengingat adanya berbagai kendala di sisi perpajakan dan legal system.
• Penyewa yang menyewakan
Di salah satu modus yang lain dari obligasi syariah ijarah, terdapat struktur dimana pihak penyewa menyewakannya kembali kepada pihak ketiga. Dalam literatur syariah kasus ini dikenal dengan Almustajir yu’jir. Sebagian besar ulama membolehkan praktek ini dengan syarat bahwa penyewa kedua hanya bertanggungjawab kepada penyewa pertama.
• Tingkat sewa berubah menurut kesepakatan
Pertanyaan lain adalah tentang nilai sewa yang berubah-ubah setelah jangka waktu tertentu. Dikhawatirkan hal ini mengakibatkan emiten membayar harga yang lebih tinggi tanpa diduga sebelumnya. Kondisi seperti ini lazim dalam syariah disebut gharar (ketidaktahuan/ketidaktentuan) salah satu kondisi yang menyebabkan sebuah akad batal demi hukum, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak.
Sebagian ulama modern membolehkan sewa Ijarah berubah menurut jangka waktu tertentu, apabila disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa harus menghentikan akad dan memulainya dengan akad baru berdasarkan tingkat sewa baru.
ii. Finance
Reference untuk menentukan tingkat fee ijarah (sewa) belum tersedia. Seringkali para praktisi obligasi syariah merujuk kepada tingkat keuntungan di pasar uang, yang tentunya berdasarkan sukubunga pinjaman untuk berbagai jangka waktu.
Akan tetapi kasus ini bukan hanya bersifat lokal tapi juga internasional. Sampai saat ini, misalnya Islamic Development Bank masih menggunakan LIBOR sebagai rujukan keuntungan untuk investasi yang ditanamkannya di berbagai negara Muslim.
iii. Legal
Seperti halnya Obligasi Syariah Mudharabah, sampai saat ini belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi Syariah Ijarah. Padahal seperti yang dikemukakan di muka, ada beberapa perbedaan fundamental antara obligasi yang berdasarkan syariah dengan obligasi biasa.
iv. Pajak
Kendala lainnya adalah pengenaan pajak kepada sewa guna karena ia merupakan obyek pajak. Akibatnya, penerbitan obligasi syariah selau dibayangi kekhawatiran akan pengenaan pajak atas fee ijarah (sewa). Bahkan di beberapa struktur yang dikembangkan untuk obligasi ijarah terdapat kemungkinan adanya pajak berganda.
v. Akuntansi
Sebagaimana halnya dalam Mudharabah, belum ada ketentuan akuntansi yang mengatur dan mengikat para emiten dan pemegang obligasi syariah tentang perlakukan Obligasi Syariah Ijarah. Perlakuan akuntansi untuk obligasi syariah Ijarah adalah surat berharga yang diterbitkan pada pembukuan emiten, sedangkan untuk pemegang obligasi, obligasi syariah Ijarah adalah surat berharga yang dibeli.
d. Kritik terhadap Obligasi Syariah
i. Kamuflase
Bagi sebagian pihak cara-cara seperti ini hanya main-main. Sebenarnya Pemegang Obligasi hanya memberikan dana kepada emiten untuk menambah modalnya. Dengan kata lain cara-cara seperti ini adalah kredit/ pembiayaan dari pemegang obligasi kepada emiten.
ii. Pelarian
Sebagian pihak menganggap bahwa obligasi syariah sebagai pelarian untuk mendapatkan dana yang sulit diperoleh apabila menggunakan obligasi konvensional. Hal itu dibuktikan dengan adanya perusahaan yang kreditnya bermasalah di perbankan dan berusaha menerbitkan obligasi syariah.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Obligasi syariah telah berhasil diterbitkan di Indonesia dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah muamalah seperti Mudharabah dan Ijarah. Penerbitan ini mungkin belum sempurna mengikuti prinsip-prinsip dalam syariah karena kendala yang bersifat sistemik-struktural seperti legal dan pajak dan juga kendala yang bersifat kultural seperti pasar.
Diperlukan upaya bersama untuk menyusun kembali obligasi ini sesuai dengan aturan syariah yang sebenarnya, agar manfaat uniknya yang berbeda dengan konvensional dapat dirasakan bersama. Hal itu hanya mungkin apabila pasar telah mendukung dan otoritasnya memberikan ruang untuk berkembang.
Wallahu A’lam
Endnotes:
* Disampaikan pada Kuliah Informal Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 16 April 2005
** Peneliti Bank Yunior, Direktorat Perbankan Syariah – Bank Indonesia dan Anggota Badan Pelaksana Harian, Dewan Syariah Nasional – MUI. Isi dalam paper ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis dan tidak merupakan pandangan dari lembaga tempat penulis bekerja atau menjadi anggotanya.
Lihat Sudin Harun, Principle and Operation of Islamic Bank, Pelanduk, Kuala Lumpur, 1992
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, UI Press, Jakarta 1999
Keputusan Lajnah Komisi Fatwa se Indonesia, Rakernas MUI 2003
Wahbah Zuhaily, Alfiqh al Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, Cetakan ke 3, Damaskus, 1989,Vol.IV hal.432-434
Wahbah Zuhaily, hal. 433-435
Wahbah Zuhaily, Vol.5, hal. 173-175
Nathif J. Adam and Abdulkaer Thomas, Islamic Bonds; Your Guide to Issuing, Structuring and Investing in Sukuk, Euromoney, London, 2004, hal 42.
AAOIFI, Sharia Standard, 2003-2004, Bahrain, 2004, Standard no. 17: Sharia Standard for Investment Sukuk.
Sharia Standard 2003-2004, hal 298-300
Untuk masalah reference dalam perbankan lihat Cecep Maskanul Hakim, “Problem Pengembangan Produk dalam Perbankan Syariah,” dalam Jurnal Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia ,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 Perbankan Syariah, dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI)
REFERENSI
1. Sudin Harun, Principle and Operation of Islamic Bank, Pelanduk, Kuala Lumpur, 1992
2. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, UI Press, Jakarta 1999
3. Keputusan Lajnah Komisi Fatwa se Indonesia, Rakernas MUI 2003
4. Wahbah Zuhaily, Alfiqh al Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, Cetakan ke 3, Damaskus, 1989
5. Nathif J. Adam and Abdulkaer Thomas, Islamic Bonds; Your Guide to Issuing, Structuring and Investing in Sukuk, Euromoney, London, 2004
6. AAOIFI, Sharia Standard, 2003-2004, Bahrain, 2004
7. Cecep Maskanul Hakim, “Problem Pengembangan Produk dalam Perbankan Syariah,” dalam Jurnal Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, September 1999
8. Ikatan Akuntansi Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 Perbankan Syariah, 2000
9. Ikatan Akuntansi Indonesia dan Bank Indonesia, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI), 2002
Cecep Maskanul Hakim
I. PENDAHULUAN
Obligasi adalah surat hutang jangka panjang dengan bunga tertentu yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten). Obligasi sering diterbitkan untuk menggantikan hutang jangka pendek yang biasanya diberikan dalam bentuk kredit oleh bank.
Obligasi dapat diterbitkan atas nama (title bond) atau atas unjuk (sight bond). Obligasi yang diterbitkan atas nama adalah obligasi yang merujuk kepada nama pemegang obligasi yang membeli dari penerbitnya. Apabila pemilikan obligasi dipindahkan kepada pihak lain maka harus dilakukan endorsement sebagai tanda bahwa obligasi tersebut telah berpindah kepemilikan. Obligasi atas unjuk adalah obligasi yang diterbitkan tanpa nama pemilik. Siapa saja yang menguasainya berhak atas pengembalian pokok dan kupon yang dibayarkan oleh penerbitnya.
Obligasi dapat diterbitkan dengan kupon atau tanpa kupon. Kupon yang dibayarkan berisi bunga yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian penerbitan obligasi.
Obligasi dapat diperjualbelikan di pasar sekunder dengan harga yang disepakati; seringkali dengan diskon (discounting).
II. PANDANGAN ISLAM
Melihat definisi yang berlaku pada obligasi, maka ada dua hal yang menurut pandangan Islam perlu diperhatikan. Pertama masalah bunga dan kedua adalah masalah hutang dan pemindahannya dalam bentuk jual beli obligasi di pasar sekunder.
1. Pandangan Islam tentang bunga
Masalah bunga tidak akan banyak dibahas dalam paper ini, karena pembahasan tentang telah dibahas di tempat lain. Tapi sebagai bahan untuk memperkuat tentang obligasi syariah, dibawah ini disampaikan beberapa pandangan, kesimpulan dan keputusan beberapa lembaga Islam.
a. Dewan Studi Islam AlAzhar, Cairo
“Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan.” (Konferensi DSI AlAzhar, Muharram 1385 H/ Mei 1965 M)
b. Rabithah Alam Islamy
“Bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan. “ (Keputusan No. 6 Sidang ke 9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H)
c. Majma’ Fiqih Islamy, Organisasi Konferensi Islam
“Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang diharamkan secara syariah” (Keputusan No. 10 Majelis Majma’ Fiqih Islamy, Koneferensi OKI ke II, 22-28 Desember 1985)
Khusus di Indonesia, fatwa tentang bunga yang ditetapkan Ijtima’ Ulama baru-baru ini sebenarnya merupakan kelanjutan fatwa sebelumnya, diantaranya
a. Lokakarya Alim Ulama MUI di Cisarua pada tahun 1990 yang menghasilkan 3 kesimpulan tentang bunga: sama dengan riba, tidak sama dengan riba dan syubhat. Lokakarya ini merekomendasikan kepada pemerintah agar mendirikan “bank tanpa bunga”. Lokakarya ini pula yang dianggap sebagai penyebab lahirnya Bank Muamalat pada bulan Mei tahun 1992.
b. Bahtsul Masaail para ulama Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional kan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung pada bulan Februari tahun 1992 juga menghasilkan keputusan yang serupa. Bahtsul Masail merekomendasikan agar PB NU mendirikan bank yang sesuai dengan syariah Islam.
c. Lajnah Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa bunga yang terdapat pada bank-bank pemerintah termasuk perkara yang “mutasyabihat”. Oleh karena itu Lajnah Tarjih merekomendasikan agar PP Muhammadiyah mendirikan bank “yang sesuai dengan kaidah Islam”.
d. Lajnah Komisi Fatwa se Indonesia, Rapat Kerja Nasional MUI, 16 Desember 2003: “Bunga bank adalah riba yang diharamkan. Ummat Islam diminta untuk menggunakan bank syariah jika keberadaan mereka berada pada radius tertentu yang dapat dicapai.”
2. Pandangan Islam tentang Hutang
Obligasi adalah hutang emiten kepada investor. Jual beli obligasi berarti jual beli hutang (Bai’ al Dayn). Dalam Islam jual beli hutang termasuk dalam kategori jual beli yang obyeknya tidak dapat diambil saat berkontrak (Bai’ Ma’juz al-Taslim). Jika dilakukan pemindahan obligasi dari satu pihak kepada pihak lain (secondary market) maka dalam Islam hanya mungkin lewat salah satu dari dua cara: Jual beli hutang (Bai’ al-Dayn) atau pemindahan hutang (Hiwalah)
a. Jual Beli Hutang
Menurut Fiqih Muamalah, jual beli Hutang (Bai’ alDayn) dalam Islam dibagi menjadi empat macam:
i. Bai’ AlDayn Lil Madin Nasiah (Jualbeli hutang secara tangguh kepada yang berhutang). Misalnya: Seseorang membeli 10 ton beras dengan jangka waktu 3 bulan. Ketika jatuh tempo penjual tidak mampu melaksanakannya. Lalu penjual berkata, saya beli lagi dari anda beras itu untuk jangka waktu 1 bulan kemudian dengan harga yang lebih tinggi.
ii. Bai’ AlDayn Li Ghairil Madin Nasiah (Jualbeli hutang secara tangguh kepada yang tidak berhutang). Misalnya: Seseorang menjual beras 10 ton yang masih berada di pihak lain setelah satu bulan
iii. Bai’ AlDayn Lil Madin Naqdan (Jualbeli hutang secara tunai kepada yang berhutang,) Misal: Seseorang menjual hutang jenis lain kepada orang yang telah berhutang kepadanya
iv. Bai’ AlDayn Li Ghairil Madin Naqdan (Jualbeli hutang secara tunai kepada yang tidak berhutang). Misalnya seseorang menjual hutang kepada pihak lain yang tidak berhutang kepadanya. Para ulama sepakat bahwa: Jual beli hutang secara tangguh, baik kepada yang berhutang maupun tidak, adalah tidak diperbolehkan. Jual beli hutang kepada yang berhutang secara tunai (Bai’ al-dayn lil madin naqdan) ini dibolehkan dengan berbagai syarat menurut para ulama masing-masing.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jenis yang keempat ini, yaitu Jualbeli hutang kepada yang tidak berhutang, secara tunai (Bai’ aldayn li ghairil madin naqdan)
i. Hanafi dan Zahiry:
Jualbeli hutang secara tangguh kepada orang yang tidak berhutang, jika dilakukan, dianggap tidak pernah terjadi, karena hutang itu tidak dapat diserahkan, kecuali bagi yang berhutang itu sendiri pada hak penjualnya.
ii. Syafiiyyah
Boleh dilakukan jual beli hutang yang mustaqar, yaitu hutang yang dipastikan pemanfaatannya dan kalau memilikinya dapat dipastikan haknya tanpa ada kemungkinan (ihtimal) jatuhnya/ tak tertagih. Contoh hutang mustaqar: nilai barang-barang yang mudah rusak atau harta yang ada pada peminjam. Jika hutang itu berbentuk barang pesanan dari transaksi Salam, tidak sah jual beli hutang tersebut.
iii. Hambaly
Tidak sah jual beli hutang secara tangguh kepada yang bukan berhutang, sama tidak sahnya menghibahkan hutang kepada orang yang tidak memiliki tanggungan (zimmah)
iv. Maliky
Dibolehkan jual beli hutang secara tangguh kepada orang yang tidak berhutang dengan 8 syarat yang dapat dirangkum menjadi dua kategori: Tidak mengarah kepada gharar, riba, dsb, dan yang berhutang berada pada negara yang sama agar mudah ditagih.
b. Hiwalah
Cara lain untuk memindahkan hutang kepada pihak lain adalah dengan Hiwalah atau Hawalah. Dalam syariah Hiwalah adalah pemindahan huang/piutang kepada pihak ketiga, sehingga pihak ketiga dapat menagih kepada pihak pertama. Ada beberapa hukum yang terkait dengan Hiwalah ini:
i. Pengalihan hutang/piutang kepada pihak ketiga tanpa persetujuan yang berhutang dibolehkan oleh para ulama Hanafi dengan dasar Hiwalatul haq yang didasari kafalah (penjaminan) oleh Muhil. Atas dasar pendapat ini, ulama Hanafi mensyaratkan bolehnya pihak ketiga untuk menagih kembali (recourse) kepada Muhil, apabila tidak tertagih, sedangkan ulama Syafii tidak membolehkannya, karena mensyaratkan adanya persetujuan diantara ketiga pihak.
ii. Ulama Syafii membolehkan hiwalah dengan syarat ada hutang yang sama jumlahnya yaitu jumlah hutang antara pihak pertama (Muhal) dan pihak kedua (Muhil) dan pihak kedua (Muhil) dengan pihak ketiga (Muhal ‘Alaih).
Dalam dunia komersial, pengalihan piutang dengan menggunakan hiwalah melahirkan beberapa masalah yang memerlukan fatwa, yaitu:
i. Akad hiwalah dalam fiqih klasik termasuk kategori uqud tabarru’, artinya akad tolong menolong diantara para pelaku transaksi tanpa mengharapkan imbalan. Dengan kata lain, akad ini bersifat sosial, bukan komersial. Padahal dalam dunia moderen, dimana jasa merupakan komoditi yang harus dijual, maka hiwalah tidak mungkin dilakukan tanpa biaya.
ii. Penerima pengambilalihan piutang itu (Muhal alaih) meminta jasa untuk penagihan. Sebab untuk melakukan penagihan kepada pihak yang berhutang harus mengeluarkan biaya dan tenaga.
iii. Jasa penagihan biasanya langsung dikurangkan dari nilai yang terdapat dalam obligasi. Jika yang memindahkan kewajiban itu pihak yang berutang, maka jasa yang diminta adalah karena harus mecari dana tunai untuk menutupi kewajiban itu. Biaya jasa ditambahkan kepada jumlah hutang, yang perhitungannya bisa dalam bentuk nominal maupun persentase.
iv. Dalam Obligasi, hutang yang ditanggung mengandung bunga, yang oleh para ulama dianggap sesuatu yang harus dihindari.
III. OBLIGASI SYARIAH
Obligasi Syariah di dunia internasional dikenal dengan Sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jama) yang memilliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Tapi sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sebuah sakk atau sukuk mewakili kepentingan (interest), baik penuh ataupun proporsional dalam sebuah atau kumpulan asset.
1. Ketentuan yang mengatur
Ketentuan yang mengatur tentang penerbitan sukuk, terutama dari sisi syariah telah ditetapkan oleh Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) , yaitu Sharia Standard No. 17 –Investment Sukuk. Dalam standar ini, AAOIFI membagi sukuk investasi (investment sukuk) menjadi beberapa macam.
a. Sertifikat pemilikan dalam asset yang disewakan
Adalah sertifikat dengan nilai yang sama, yang diterbitkan baik oleh pemilik dari aset yang disewakan atau asset nyata yang dijanjikan akan disewakan, atau oleh lembaga perantara keuangan yang bertindak atas nama pemilik dengan tujuan menjual asset itu dan memperoleh kembali nilainya melalui pembelian/pemilikan karena pemegang sertifikat menjadi pemilik asset tersebut.
b. Sertifikat pemilikan manfaat (usufruct). Sertifikat pemilikan manfaat ini juga dapat dibagi menjadi empat macam:
i. Sertifikat pemilikan manfaat dari asset yang tersedia
Sertifikat ini terdiri dari dua macam
• Sertifikat yang nilainya sama, yang diterbitkan oleh pemilik asset yang ada, baik oleh dirinya sendiri atau lembaga perantara, dengan tujuan menyewakan asset itu dan menerima pembayaran sewa dari pendapatan karena pemilikan sertifikat (subscription), karena manfaat aset itu berpindah kepada pemilikan dari pemegang serifikat
• Sertifikat yang nilainya sama, yang diterbitkan oleh pemilik asset yang ada, baik oleh dirinya sendiri atau lembaga perantara, dengan tujuan menyewakan kembali manfaat itu dan menerima sewa dari pendapatan yang disebabkan pemilikan sertifikat itu (subscription) karena pemegang sertifikat menjadi pemilik manfaat asset itu.
ii. Sertifikat pemilikan manfaat dari asset yang ditentukan dan akan dimiliki
Sertifikat yang sama nilai, diterbitkan dengan tujuan menyewakan asset nyata (tangible) di masa datang dan untuk memperoleh sewa dari pendapatan yang disebabkan pemilikan sertifikat (subscription), karena manfaat dari asset yang ditentukan di masa datang itu beralih menjadi pemilikan pemegang sertifikat.
iii. Sertifikat pemilikan jasa pihak tertentu
Sertifikat yang sama nilai, yang diterbitkan untuk tujuan penyediaan jasa melalui penyedia tertentu (seperti manfaat pendidikan pada suatu universitas) dan memperoleh pembayaran jasa (service charge) karena pemegang sertifikat menjadi pemilik dari jasa-jasa ini.
iv. Sertifikat pemilikan jasa yang ditentukan di masa depan
Adalah sertifikat yang sama nilai, yang diterbitkan untuk tujuan penyediaan jasa di masa depan melalui penyedia tertentu (seperti manfaat pendidikan pada suatu universitas, tanpa memberi nama dari lembaga pendidikan itu) dan memperoleh imbalan (fee) dalam bentuk pendapatan karena kepemilikan (subscription) karena pemegang sertifikat menjadi pemilik jasa.
c. Sertifikat Salam
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan untuk tujuan memobilisasi modal salam sehingga barang-barang yang akan dikirim -berdasarkan transaksi Salam- akan menjadi milik dari pemegang sertifikat.
d. Sertifikat Istisna
Adalah sertifikat yang sama nilai dan diterbitkan dengan tujuan memobilisasi dana yang akan digunakan untuk memproduksi barang-barang yang kemudian akan dimiliki oleh pemilik sertifikat.
e. Setifikat Murabahah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan untuk tujuan membiayai pembelian barang-baran gmelalui Murabahah sehingga pemegang sertifikat menjadi pemilik komoditas Murabahah.
f. Sertifikat Musyarakah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan denga tujuan menggunakan dana yang dimobilisasi untuk melaksanakan sebuah proyek baru, mengembangkan proyek yang sedang berlangsung atau membiayai aktifitas bisnis berdasakan sebuah akad kemitraan sehingga pemegang sertifikat menjadi pemilik proyek atau asset dari aktifitas itu sesuai dengan partisipasi mereka masing-masing, dengan sertifikat Musyarakah yang dikelola berdasarkan pertisipasi atau Mudharabah, atau sebuah perwakilan investasi.
i. Sertifikat Partisipasi
Adalah sertifikat yang mewakili proyek atau aktifitas yang dikelola berdasarkan Musyarakah dengan menunjuk salah satu mitra atau pihak lain untuk mengelola operasinya
ii. Sukuk Mudarabah
Adalah sertifikat yang mewakili proyek atau aktifitas yang dikelola berdasarkan Mudharabah dengan menunjuk salah satu mitra atau pihak lain sebagai Mudharib untuk pengelolan operasinya
iii. Sertifikat Wakil Investasi (Investment Agency)
Adalah sertifikat yang mewakili proyek atau aktifitas yang dikelola berdasarkan perwakilan investasi (investment agency) dengan menunjuk wakil untuk mengelola operasinya atas nama pemegang sertifikat.
g. Sertifikat Muzaraah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan dengan tujuan menggunakan dana yang dimobilisasi melalui pembelian (sertifikat) untuk pembiayaan sebuah proyek berdasarkan Muzaraah sehingga pemegang sertifikat berhak memiliki sebagian hasil pertanian menurut syarat dari perjanjian.
h. Sertifikat Musaqat
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan denga tujuan menggunakan dana yang dimobilisasi melalui pembelian (sertifikat) untuk pengairan (irigasi) pepohonan yang menghasilkan buah, membelanjakannya untuk keperluan tersebut dan pemeliharaannya berdasarkan akad Musaqat sehingga pemegang sertifikat berhak memiliki sebagian hasil perkebunan itu berdasarkan perjanjian
i. Sertifikat Mugharatsah
Adalah sertifikat yang sama nilai yang diterbitkan berdasarkan akad Mugharatsah untuk tujuan menggunakan dana itu dalam penanaman pohon dan melaksanakan kerja serta biaya yang diperlukan untuk penanaman tersebut sehingga pemegang sertifikatnya memiliki sebagian dalam tanah dan tumbuhannya.
2. Karakter Sukuk (sertifikat) Investasi
a. Sukuk investasi adalah sertifikat sama nilai (equal value) atas nama atau atas unjuk agar menciptakan klaim pemilik sertifikat atas hak finansial dan obligasi yang diwakili oleh sertifikat.
b. Sukuk investasi mewakili sebuah bagian umum dalam pemilikan dari asset yang tersedia untuk investasi, baik asset non–moneter, manfaat, jasa ataupun campuran dari ketiganya ditambah dengan hak, hutang dan asset moneter. Sukuk-sukuk ini tidak mewakili sebuah hutang yang diserahkan kepada emiten oleh pemegang sertifikat.
c. Sukuk investasi diterbitkan berdasarkan sebuah kontrak yang dirujuk Syariah sesuai dengan peraturan Syariah yang mengatur penerbitan dan perdagangannya.
d. Perdagangan sukuk investasi tergantung kepada syarat-syarat yang mengatur perdagangan hak yang mewakilinya.
e. Pemilik sertifikat-sertifikat ini berbagi keuntungan sebagaimana dinyatakan dalam prospectus pembelian, dan menanggung kerugian secara proporsional terhadap sertifikat yang dimiliki (dikuasai) oleh mereka.
IV. OBLIGASI SYARIAH DI INDONESIA
Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh akhir tahun 2002. Obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan prinsip Mudharabah. Mudharabah adalah akad kerjasama dalam bidang usaha dimana salah satu pihak bertindak selaku pemilik modal (sahibul mal) sedangkan pihak lain bertindak selaku pengelola (mudharib). Keuntungan yang diperoleh dari usaha ini dibagi menurut kesepakatan dimuka, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Melihat kebutuhan pasar yang menginginkan adanya obligasi yang memberikan pendapatan tetap (fixed income) maka mulai tahun 2003 obligasi syariah ada yang diterbitkan berdasarkan prinsip Ijarah.
1. Obligasi Mudharabah
a. Fatwa DSN
Obligasi Mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang Obligasi Syariah (Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 32/DSN-MUI/ /2002) dan Obligasi Syariah Mudharabah (Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 33/DSN-MUI/ /2002) diterbitkan.
b. Penerapan Mudharabah dalam obligasi
Penerapan Mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku Mudharib, pengelola dana dan investor bertindak selaku Sahibul Mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Terdapat kontradiksi antara Mudharabah dan Obligasi dalam definisi. Karena itu jika disebut Obligasi Mudharabah maka terdapat pertentangan (ambiguity) yaitu kalangan pasar modal menganggapnya sebagai surat hutang sedangkan kalangan syariah menganggapnya sebagai surat investasi. Karena itu pula, menyebut Obligasi Mudharabah berarti melakukan perluasan definisi terhadap kata obligasi.
Preseden perluasan definisi terjadi pertama kali dalam perbankan. Pada awalnya benturan pengertian juga dirasakan ketika penyebutan bank syariah pertama kali dilakukan. Pada tahun 1970an pengertian bank adalah lembaga yang melakukan transaksi keuangan dengan berdasarkan bunga. Pengertian itu meluas ketika bank syariah berdiri dan masuk dalam Undang-undang perbankan. Kata “bank” kemudian tidak selalu berarti bank konvensional.
Dengan kata lain, transaksi Mudharabah adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
c. Kendala
Meskipun telah berhasil diterbitkan, namun obligasi syariah Mudharabah menghadapi beberapa kendala. Kendala ini bervariasi sehingga diperlukan upaya pembenahan untuk dapat lebih efektif sebagaimana yang bentuk aslinya.
i. Syariah
• Revenue versus Profit sharing
Masalah syariah yang muncul bersama Obligasi Mudharabah adalah masalah distribusi pendapatan, apakah menganut profit sharing atau revenue sharing. Fatwa DSN No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa Revenue Sharing lebih maslahat digunakan dalam pembagian pendapatan. Tidak banyak yang tahu bahwa pemilihan revenue sharing sebagai system yang lebih maslahat merujuk kepada dimensi waktu ketika fatwa itu ditetapkan. Pada saat itu apabila bagi untung diterapkan maka tingkat keuntungan yang diberikan bank syariah kepada nasabah akan lebih kecil dari tingkat suku bunga di pasar.
Penyebutan revenue sharing (bagi hasil) sendiri sebenarnya kurang tepat bila mengacu kepada Mudharabah karena istilah yang digunakan dalam bahasa Arabnya adalah “ribh” yang berarti keuntungan. Dan Mudharabah adalah akad usaha yang apabila mendapat keuntungan (ribh) -yang berarti pendapatan dikurangi biaya- dibagi menurut kesepakatan di muka antara sahibul mal dan mudharib
• Profit Kuartal sebelumnya
Masalah kedua adalah ketika penerbitan obligasi mudharabah dilakukan, perusahaan memerlukan jangka waktu tertentu untuk menggunakan dana itu dalam usahanya agar mendapatkan keuntungan yang kemudian dibagikan kepada pemegang obligasi. Padahal tradisi yang berlaku dalam obligasi mengharuskan perusahaan membayar kupon (bunga) setiap tiga bulan.
• Jaminan
ii. Finance
Masalah terbesar yang masih dihadapi oleh praktek keuangan Islam, termasuk di dalamnya perbankan, adalah belum ada ukuran (benchmark) untuk melakukan discounting, terutama ketika sebuah obligasi syariah akan dilepas ke pasar sekunder.
iii. Legal
Sampai saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi Syariah dari otoritas yang berwenang. Sehingga ketentuan tentang obligasi syariah mengacu kepada ketentuan tentang obligasi konvensional.
iv. Akuntansi
• Perlakuan akuntansi oleh para penerbit masih diperlakukan sebagai hutang. Tidak seperti dalam perbankan yang telah memiliki standar akuntansi tersendiri untuk perbankan syariah pasar modal syariah belum memiliki standar akuntansi tersendiri. Praktek akuntansi yang digunakan para pelaku pasar mengacu kepada standar akuntansi perusahaan. Akibatnya pencatatan obligasi mudharabah diakui sebagai hutang yang diterima perusahaan melalui penjualan surat berharga, sedangkan oleh pemegang obligasi sebagai piutang yang dimiliki karena membeli surat berharga.
2. Obligasi Ijarah
a. Fatwa DSN
Obligasi Ijarah diterbitkan berdasarkan fatwa DSN No.41/DSN-MUI/ /2003 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
b. Penerapan Ijarah dalam Obligasi
Penerapan Ijarah dalam obligasi mengikuti berbagai variasi mengikuti kebutuhan dan situasi perusahaan yang akan menerbitkan (emiten).
i. Emiten bertindak selaku wakil dari investor/ Pemegang Obligasi menyewa dari pihak ketiga. Lalu Emiten menyewanya dari investor/pemegang obligasi.
ii. Investor/ Pemegang Obligasi menyewa asset dari pihak ketiga. Emiten menyewanya dari investor/ Pemegang Obligasi.
iii. Investor/ Pemegang Obligasi menyewa asset dari Emiten. Emiten menjadi wakil dari Investor/ Pemegang Obligasi untuk menyewakannya kepada pihak ketiga.
c. Kendala
Seperti juga dalam obligasi syariah Mudharabah, Obligasi Syariah Ijarah menghadapi tantangan dan kendala yang tidak sedikit. Berikut ini adalah diantaranya:
i. Syariah
Ada beberapa Issu syariah yang menjadi perdebatan dalam penerbitan obligasi syariah ijarah.;
• Wakil yang kemudian menjadi penyewa
Dalam salah satu modus obligasi syariah ijarah, emiten bertindak pertama kali selaku wakil dari pemegang obligasi syariah untuk menyewa/membeli asset dari pihak ketiga. Lalu setelah transaksi itu dilakukan, emiten bertindak selaku penyewa.
Sebenarnya pola ini adalah pola umum yang terjadi dalam perbankan syariah, terutama murabahah, dimana bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang yang akan dibelinya sendiri dari bank. Hal ini dilakukan mengingat adanya berbagai kendala di sisi perpajakan dan legal system.
• Penyewa yang menyewakan
Di salah satu modus yang lain dari obligasi syariah ijarah, terdapat struktur dimana pihak penyewa menyewakannya kembali kepada pihak ketiga. Dalam literatur syariah kasus ini dikenal dengan Almustajir yu’jir. Sebagian besar ulama membolehkan praktek ini dengan syarat bahwa penyewa kedua hanya bertanggungjawab kepada penyewa pertama.
• Tingkat sewa berubah menurut kesepakatan
Pertanyaan lain adalah tentang nilai sewa yang berubah-ubah setelah jangka waktu tertentu. Dikhawatirkan hal ini mengakibatkan emiten membayar harga yang lebih tinggi tanpa diduga sebelumnya. Kondisi seperti ini lazim dalam syariah disebut gharar (ketidaktahuan/ketidaktentuan) salah satu kondisi yang menyebabkan sebuah akad batal demi hukum, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak.
Sebagian ulama modern membolehkan sewa Ijarah berubah menurut jangka waktu tertentu, apabila disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa harus menghentikan akad dan memulainya dengan akad baru berdasarkan tingkat sewa baru.
ii. Finance
Reference untuk menentukan tingkat fee ijarah (sewa) belum tersedia. Seringkali para praktisi obligasi syariah merujuk kepada tingkat keuntungan di pasar uang, yang tentunya berdasarkan sukubunga pinjaman untuk berbagai jangka waktu.
Akan tetapi kasus ini bukan hanya bersifat lokal tapi juga internasional. Sampai saat ini, misalnya Islamic Development Bank masih menggunakan LIBOR sebagai rujukan keuntungan untuk investasi yang ditanamkannya di berbagai negara Muslim.
iii. Legal
Seperti halnya Obligasi Syariah Mudharabah, sampai saat ini belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi Syariah Ijarah. Padahal seperti yang dikemukakan di muka, ada beberapa perbedaan fundamental antara obligasi yang berdasarkan syariah dengan obligasi biasa.
iv. Pajak
Kendala lainnya adalah pengenaan pajak kepada sewa guna karena ia merupakan obyek pajak. Akibatnya, penerbitan obligasi syariah selau dibayangi kekhawatiran akan pengenaan pajak atas fee ijarah (sewa). Bahkan di beberapa struktur yang dikembangkan untuk obligasi ijarah terdapat kemungkinan adanya pajak berganda.
v. Akuntansi
Sebagaimana halnya dalam Mudharabah, belum ada ketentuan akuntansi yang mengatur dan mengikat para emiten dan pemegang obligasi syariah tentang perlakukan Obligasi Syariah Ijarah. Perlakuan akuntansi untuk obligasi syariah Ijarah adalah surat berharga yang diterbitkan pada pembukuan emiten, sedangkan untuk pemegang obligasi, obligasi syariah Ijarah adalah surat berharga yang dibeli.
d. Kritik terhadap Obligasi Syariah
i. Kamuflase
Bagi sebagian pihak cara-cara seperti ini hanya main-main. Sebenarnya Pemegang Obligasi hanya memberikan dana kepada emiten untuk menambah modalnya. Dengan kata lain cara-cara seperti ini adalah kredit/ pembiayaan dari pemegang obligasi kepada emiten.
ii. Pelarian
Sebagian pihak menganggap bahwa obligasi syariah sebagai pelarian untuk mendapatkan dana yang sulit diperoleh apabila menggunakan obligasi konvensional. Hal itu dibuktikan dengan adanya perusahaan yang kreditnya bermasalah di perbankan dan berusaha menerbitkan obligasi syariah.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Obligasi syariah telah berhasil diterbitkan di Indonesia dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah muamalah seperti Mudharabah dan Ijarah. Penerbitan ini mungkin belum sempurna mengikuti prinsip-prinsip dalam syariah karena kendala yang bersifat sistemik-struktural seperti legal dan pajak dan juga kendala yang bersifat kultural seperti pasar.
Diperlukan upaya bersama untuk menyusun kembali obligasi ini sesuai dengan aturan syariah yang sebenarnya, agar manfaat uniknya yang berbeda dengan konvensional dapat dirasakan bersama. Hal itu hanya mungkin apabila pasar telah mendukung dan otoritasnya memberikan ruang untuk berkembang.
Wallahu A’lam
Endnotes:
* Disampaikan pada Kuliah Informal Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 16 April 2005
** Peneliti Bank Yunior, Direktorat Perbankan Syariah – Bank Indonesia dan Anggota Badan Pelaksana Harian, Dewan Syariah Nasional – MUI. Isi dalam paper ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis dan tidak merupakan pandangan dari lembaga tempat penulis bekerja atau menjadi anggotanya.
Lihat Sudin Harun, Principle and Operation of Islamic Bank, Pelanduk, Kuala Lumpur, 1992
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, UI Press, Jakarta 1999
Keputusan Lajnah Komisi Fatwa se Indonesia, Rakernas MUI 2003
Wahbah Zuhaily, Alfiqh al Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, Cetakan ke 3, Damaskus, 1989,Vol.IV hal.432-434
Wahbah Zuhaily, hal. 433-435
Wahbah Zuhaily, Vol.5, hal. 173-175
Nathif J. Adam and Abdulkaer Thomas, Islamic Bonds; Your Guide to Issuing, Structuring and Investing in Sukuk, Euromoney, London, 2004, hal 42.
AAOIFI, Sharia Standard, 2003-2004, Bahrain, 2004, Standard no. 17: Sharia Standard for Investment Sukuk.
Sharia Standard 2003-2004, hal 298-300
Untuk masalah reference dalam perbankan lihat Cecep Maskanul Hakim, “Problem Pengembangan Produk dalam Perbankan Syariah,” dalam Jurnal Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia ,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 Perbankan Syariah, dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI)
REFERENSI
1. Sudin Harun, Principle and Operation of Islamic Bank, Pelanduk, Kuala Lumpur, 1992
2. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, UI Press, Jakarta 1999
3. Keputusan Lajnah Komisi Fatwa se Indonesia, Rakernas MUI 2003
4. Wahbah Zuhaily, Alfiqh al Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, Cetakan ke 3, Damaskus, 1989
5. Nathif J. Adam and Abdulkaer Thomas, Islamic Bonds; Your Guide to Issuing, Structuring and Investing in Sukuk, Euromoney, London, 2004
6. AAOIFI, Sharia Standard, 2003-2004, Bahrain, 2004
7. Cecep Maskanul Hakim, “Problem Pengembangan Produk dalam Perbankan Syariah,” dalam Jurnal Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, September 1999
8. Ikatan Akuntansi Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 Perbankan Syariah, 2000
9. Ikatan Akuntansi Indonesia dan Bank Indonesia, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI), 2002
hai mas cecep... tulisannya bagus deh....
ReplyDeletemas, bantuin aku dong (kalau ga sibuk)..... lagi ada tugas mencari kotroversi hawalah dan kafalah... ingin mencari bahan referensi yg reliable.......
(oya, lokasinya di jawa barat ya? tp fotonya kayak bukan di JaBar....hehehehehe)
thangs mas cecep......
Wah baru sempat balas nih.
ReplyDeleteSaya tinggal di Bekasi. Kerja di Thamrin.
Saya pernah menulis tentang Hawalah (di Indonesia terkenal dengan Hiwalah) tapi lupa difile dimana. Tentang Kafalah saya belum riset lebih lanjut. Banyak kerjaan administrasi yang menyita waktu.
Kapan-kapan saya upload, Insya Allah
hi,
ReplyDeleteAs I see in your post there is good information available on sukuk .Sukuk is an alternate way of investment where the investor get the benefits of investment and its treated as rent on investment, to avoid the interest on investment which is strictly prohibited in Islam.I have also some site and blog ,I have write on same topic check my post : http://portfolioanalyst.blogspot.com/2010/09/islamic-debt-bond-market.html.
I want to write on guest post for your blog based on change on the Islamic debt market.If you agree than contact me at roseanderson26@gmail.com
verginia home builder, islamic capital market