Cecep Maskanul Hakim
Salah satu fenomena yang muncul dalam tiga dekade ini adalah pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan Syariah. Saat ini di Indonesia saja ada 2 bank syariah, 3 bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah, 80 BPRS, ribuan BMT dan Koperasi Syariah. Selain itu ada 2 Asuransi Syariah dan 2 asuransi yang memiliki divisi syariah. Juga ada 2 reksadana syariah Jumlah ini melengkapi 150 an lembaga keuangan syariah (Islam) yang tersebar di pelosok dunia, termasuk di negara-negara Barat yang kapitalis.
Diantara syarat pendirian lembaga keuangan, yang juga merupakan keunikannya, adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional lembaga ini agar senantiasa berada pada jalur syariah. Yang disebut operasional berarti produk, teknik, system serta identitas perusahaan alias corporate identity. DPS ini biasanya terdiri dari para ulama yang memiliki spesialis dalam fiqih muamalah maliyah atau hukum syariah mengenai transaksi yang berhubungan dengan utang piutang dan sejenisnya. Di Indonesia DPS yang ditempatkan di lembaga keuangan syariah harus direkomendasi oleh Dewan Syariah Nasional, sebuah lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia. Dewan Syariah Nasional (DSN) juga menarik fungsi DPS yang lain, yaitu memberikan fatwa terhadap produk baru yang dikeluarkan, atau terhadap masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan transaksi dalam lembaga keuangan syariah. Sebelum tahun 1997, fungsi ini berada pada DPS. Tapi dengan banyaknya LKS yang berdiri, dikhawatirkan para DPS memberikan fatwa yang saling bertentangan.
Dalam setiap laporan tahunan lembaga keuangan syariah (LKS) wajib memuat pernyataan dari DPS bahwa semua transaksi yang dilaksanakannya telah sesuai dengan syariah. Hal ini berarti bahwa sebuah lembaga keuangan syariah telah mengikuti manual dan prosedur transaksi yang telah di review dan disetujui oleh DPSnya. Apabila ada transaksi yang dianggap meragukan diperlukan persetujuan DPS sebelum melaksanakannya. Dengan demikian pernyataan DPS pada laporan tahunan adalah produk final pengawasan DPS selama setahun.
Hampir setiap DPS (tidak saja di Indonesia), menerima honorariumnya dari LKS yang diawasinya. Ada yang bulanan seperti di Indonesia, ada juga yang berdasarkan kehadiran dalam rapat yang diadakan oleh LKS yang bersangkutan. Hal ini membangkitkan isu soal kemandirian DPS dalam melakukan pengawasan dan memberikan opini. Bagaimana sebuah lembaga yang dibiayai oleh LKS bisa independen terhadap lembaga tersebut? Oleh karena itu perlu difikirkan tentang system penggajian (honorarium) yang memungkinkan DPS melakukan fungsinya tanpa harus terganggu oleh masalah psikologis ini. Ada usulan agar system penggajian ini dilaksanakan oleh DSN atau otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia atau Departemen Keuangan.
Masalah DPS tidak berhenti sampai disitu. Meskipun telah direkomendasi oleh DSN keaktifan DPS dalam pengawasan LKS tergantung kepada orang per orang. Ada DPS yang melakukan pertemuan dengan manajemen seminggu sekali, tapi ada juga yang dalam setahun tidak pernah muncul. Kisah kurang aktifnya para DPS ini mengakibatkan manajemen yang mengelola LKS mendasarkan operasionalnya kepada pengetahuannya sendiri yang tentunya terbatas. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan akan keabsahan operasionalnya di mata masyarakat. Para DPS yang kurang aktif itu tentu bukan tanpa sebab.Pertama, bisa jadi DPS yang ditempatkan di LKS tersebut adalah tokoh masyarakat yang super sibuk sehingga tidak punya waktu untuk hadir dalam pertemuan dengan manajemen. Ada juga DPS yang merasa kurang pengetahuannya dalam bidang itu sehingga menyerahkan saja sepenuhnya masalah LKS kepada manajemen.
Kisah kurangnya pengetahuan para ulama tentang lembaga keuangan jika ditarik ke masalah pendidikan memang bukan hal kecil. Meskipun telah merdeka 50 tahun, dunia pendidikan di Indonesia masih belum lepas dari pengaruh penjajahan, dalam arti pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Maka tidak heran jika sekarang ini para ulama tidak mengerti ilmu keuangan sedangkan para bankir memiliki pengetahuan syariah yang dangkal. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan terus menerus. Untuk jangka pendek diperlukan adanya peningkatan pengetahuan para DPS dalam bentuk pelatihan tentang transaksi keuangan, sedangkan untuk para direksi dan komisaris diberikan semacam kursus singkat tentang fiqih muamalat. Disamping itu untuk mengantisipasi para DPS super sibuk yang terlanjur ditempatkan di LKS bersangkutan, para manajemen semestinya merekrut para tenaga muda yang telah mendapatkan pendidikan ilmu syariah sebagai staf yang membidangi syariah. Dengan demikian persoalan syariah yang muncul sewaktu-waktu dapat terjawab tanpa menunggu rapat DPS yang biasanya dilakukan sebulan sekali. Nampaknya keperluan semacam Satuan Kerja Audit Interen (SKAI) dalam kesyariahan ini yang mengilhami Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution yang berpusat di Bahrain mengeluarkan ketentuan khusus tentang hal itu pada standarnya tahun 1999.
Keperluan adanya satuan audit yang mengawasi LKS dirasakan juga oleh DSN terutama berkaitan dengan transaksi perdagangan di lantai bursa. Perubahan komposisi halal dan non halal dalam jenis usaha perusahaan yang sahamnya diperjual belikan di bursa bisa terjadi sewaktu-waktu. DSN tidak mungkin mengandalkan laporan keuangan yang biasanya dikeluarkan oleh perusahaan enam bulan sekali, bahkan setahun sekali. Harus ada unit yang mengawasi daftar para emiten (indeks) dari hari kehari sebagaimana halnya LPPOM MUI mengawasi produk makanan dan minuman secara berkala. Dalam hal seperti ini, Malaysia sudah jauh lebih maju, karena Security Comission (Bapepamnya Malaysia) sudah membentuk sendiri unit pengawasan syariah, lengkap dengan perangkat system komputernya yang on-line ke Bursa Saham Kuala Lumpur (BSKL).Entah kapan hal itu bisa dilaksanakan di Indonesia.
Wallahu A'lam.
Sumber: Tabloid Fikri, Januari 2002
Salah satu fenomena yang muncul dalam tiga dekade ini adalah pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan Syariah. Saat ini di Indonesia saja ada 2 bank syariah, 3 bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah, 80 BPRS, ribuan BMT dan Koperasi Syariah. Selain itu ada 2 Asuransi Syariah dan 2 asuransi yang memiliki divisi syariah. Juga ada 2 reksadana syariah Jumlah ini melengkapi 150 an lembaga keuangan syariah (Islam) yang tersebar di pelosok dunia, termasuk di negara-negara Barat yang kapitalis.
Diantara syarat pendirian lembaga keuangan, yang juga merupakan keunikannya, adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional lembaga ini agar senantiasa berada pada jalur syariah. Yang disebut operasional berarti produk, teknik, system serta identitas perusahaan alias corporate identity. DPS ini biasanya terdiri dari para ulama yang memiliki spesialis dalam fiqih muamalah maliyah atau hukum syariah mengenai transaksi yang berhubungan dengan utang piutang dan sejenisnya. Di Indonesia DPS yang ditempatkan di lembaga keuangan syariah harus direkomendasi oleh Dewan Syariah Nasional, sebuah lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia. Dewan Syariah Nasional (DSN) juga menarik fungsi DPS yang lain, yaitu memberikan fatwa terhadap produk baru yang dikeluarkan, atau terhadap masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan transaksi dalam lembaga keuangan syariah. Sebelum tahun 1997, fungsi ini berada pada DPS. Tapi dengan banyaknya LKS yang berdiri, dikhawatirkan para DPS memberikan fatwa yang saling bertentangan.
Dalam setiap laporan tahunan lembaga keuangan syariah (LKS) wajib memuat pernyataan dari DPS bahwa semua transaksi yang dilaksanakannya telah sesuai dengan syariah. Hal ini berarti bahwa sebuah lembaga keuangan syariah telah mengikuti manual dan prosedur transaksi yang telah di review dan disetujui oleh DPSnya. Apabila ada transaksi yang dianggap meragukan diperlukan persetujuan DPS sebelum melaksanakannya. Dengan demikian pernyataan DPS pada laporan tahunan adalah produk final pengawasan DPS selama setahun.
Hampir setiap DPS (tidak saja di Indonesia), menerima honorariumnya dari LKS yang diawasinya. Ada yang bulanan seperti di Indonesia, ada juga yang berdasarkan kehadiran dalam rapat yang diadakan oleh LKS yang bersangkutan. Hal ini membangkitkan isu soal kemandirian DPS dalam melakukan pengawasan dan memberikan opini. Bagaimana sebuah lembaga yang dibiayai oleh LKS bisa independen terhadap lembaga tersebut? Oleh karena itu perlu difikirkan tentang system penggajian (honorarium) yang memungkinkan DPS melakukan fungsinya tanpa harus terganggu oleh masalah psikologis ini. Ada usulan agar system penggajian ini dilaksanakan oleh DSN atau otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia atau Departemen Keuangan.
Masalah DPS tidak berhenti sampai disitu. Meskipun telah direkomendasi oleh DSN keaktifan DPS dalam pengawasan LKS tergantung kepada orang per orang. Ada DPS yang melakukan pertemuan dengan manajemen seminggu sekali, tapi ada juga yang dalam setahun tidak pernah muncul. Kisah kurang aktifnya para DPS ini mengakibatkan manajemen yang mengelola LKS mendasarkan operasionalnya kepada pengetahuannya sendiri yang tentunya terbatas. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan akan keabsahan operasionalnya di mata masyarakat. Para DPS yang kurang aktif itu tentu bukan tanpa sebab.Pertama, bisa jadi DPS yang ditempatkan di LKS tersebut adalah tokoh masyarakat yang super sibuk sehingga tidak punya waktu untuk hadir dalam pertemuan dengan manajemen. Ada juga DPS yang merasa kurang pengetahuannya dalam bidang itu sehingga menyerahkan saja sepenuhnya masalah LKS kepada manajemen.
Kisah kurangnya pengetahuan para ulama tentang lembaga keuangan jika ditarik ke masalah pendidikan memang bukan hal kecil. Meskipun telah merdeka 50 tahun, dunia pendidikan di Indonesia masih belum lepas dari pengaruh penjajahan, dalam arti pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Maka tidak heran jika sekarang ini para ulama tidak mengerti ilmu keuangan sedangkan para bankir memiliki pengetahuan syariah yang dangkal. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan terus menerus. Untuk jangka pendek diperlukan adanya peningkatan pengetahuan para DPS dalam bentuk pelatihan tentang transaksi keuangan, sedangkan untuk para direksi dan komisaris diberikan semacam kursus singkat tentang fiqih muamalat. Disamping itu untuk mengantisipasi para DPS super sibuk yang terlanjur ditempatkan di LKS bersangkutan, para manajemen semestinya merekrut para tenaga muda yang telah mendapatkan pendidikan ilmu syariah sebagai staf yang membidangi syariah. Dengan demikian persoalan syariah yang muncul sewaktu-waktu dapat terjawab tanpa menunggu rapat DPS yang biasanya dilakukan sebulan sekali. Nampaknya keperluan semacam Satuan Kerja Audit Interen (SKAI) dalam kesyariahan ini yang mengilhami Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution yang berpusat di Bahrain mengeluarkan ketentuan khusus tentang hal itu pada standarnya tahun 1999.
Keperluan adanya satuan audit yang mengawasi LKS dirasakan juga oleh DSN terutama berkaitan dengan transaksi perdagangan di lantai bursa. Perubahan komposisi halal dan non halal dalam jenis usaha perusahaan yang sahamnya diperjual belikan di bursa bisa terjadi sewaktu-waktu. DSN tidak mungkin mengandalkan laporan keuangan yang biasanya dikeluarkan oleh perusahaan enam bulan sekali, bahkan setahun sekali. Harus ada unit yang mengawasi daftar para emiten (indeks) dari hari kehari sebagaimana halnya LPPOM MUI mengawasi produk makanan dan minuman secara berkala. Dalam hal seperti ini, Malaysia sudah jauh lebih maju, karena Security Comission (Bapepamnya Malaysia) sudah membentuk sendiri unit pengawasan syariah, lengkap dengan perangkat system komputernya yang on-line ke Bursa Saham Kuala Lumpur (BSKL).Entah kapan hal itu bisa dilaksanakan di Indonesia.
Wallahu A'lam.
Sumber: Tabloid Fikri, Januari 2002
No comments:
Post a Comment