Saya yakin banget, ummat Islam kenal kata "salam" sebagai ucapan ketika bertemu atau bertamu. Paling-paling para ustaz dan mahasiswa fakultas syariah saja yang tahu ada arti lain dari "salam", yaitu pembelian dengan uang dimuka dan barang diantar belakangan. Beda salam yang artinya ucapan dengan salam yang merupakan salah satu jenis transaksi muamalah cuma ada dalam bahasa Arab. Yang pertama lam nya pakai alif, yang kedua tidak. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal panjang-pendeknya kata-kata, keduanya terlafal serupa. Karena itu ulama mazhab Syafii punya istilah lain untuk transaksi salam, yaitu salaf sebagaimana disebut dalam salah satu hadist Nabi SAW.
Menurut para pakar, Islam di Indonesia tidak diajarkan secara utuh. Yang melulu jadi bahasan cuma rukun Islam alias fiqih ibadah. Sementara fiqih muamalah jarang disentuh. Kalaupun dipelajari paling-paling masalah nikah. Itupun kalau orang mau kawin dan merasa takut dites penghulu, menjelang dilakukannya ijab kabul. Fikih muamalah selebihnya merupakan warisan yang tersimpan dalam kitab-kitab kuning. Makanya ketika saya mengajarkan Salam sebagai produk pembiayaan di bank syariah, banyak yang memplesetkan definisi Salam itu menjadi "transaksi yang apabila disetujui orangnya salaman dan apabila macet, wassalam."
Di tengah hiruk pikuk demonstrasi anti AS, minggu lalu Lembaga Penelitian Pertanian NU (LP2NU) mengadakan seminar tentang alternatif pembiayaan untuk pertanian. Kesimpulan dari sesi pertama disampaikan oleh Prof. Eriatno dari IPB: Perbankan tidak lagi dapat diharapkan untuk menjadi lembaga pembiayaan bagi sektor pertanian. Prosedur yang rumit dan berbelit, serta bunga yang tinggi membuat petani lebih memilih rentenir. Meskipun bunganya mencekik leher, meminjam dari rentenir jauh lebih gampang. Karena itu ada alternatif lain, dan itu datangnya dari lembaga keuangan non bank. Diantara yang menarik adalah diusulkan adanya lembaga gadai pertanian, dimana petani bisa menggadaikan gabahnya apabila panen tiba. Pada saat itu petani perlu uang dan mencari-cari pembeli bagi gabahnya.
Buat saya, solusi dari lembaga keuangan non bank akan menghasilkan masalah yang sama, selama paradigmanya tidak berubah. Pertama, para petani yang mencari pinjaman ketika musim tanam tiba harus membayar pinjaman itu dalam bentuk uang. Jadi permasalahannya bukan cuma pada pembiayaan, tapi juga pemasaran. Yang kedua, paradigma bank yang selama ini cuma ngurusin duit harus diubah total. Dalam masa krisis seperti ini pemisahan antara sektor riil dan sektor moneter terbukti menimbulkan bencana yang amat dahsyat. Kedua masalah ini terjawab dengan menerapkan transaksi salam dalam perbankan syariah.
Jika seseorang melakukan salam, ia membeli dari petani komoditi pertanian dengan ukuran, jenis dan untuk waktu tertentu. Lalu ia membayarnya dan menunggu komoditi itu dating. Sebagian orang menganggap transaksi seperti ini sama dengan Ijon. Padahal bedanya sangat besar.
Dalam ijon, komoditi yang dibeli tidak merujuk pada ukuran sebenarnya.Misalnya, beli gabah satu hektar. Kalau panen lagi bagus, satu hektar bisa menghasilkan 6 ton. Sebaliknya kalau sedang puso, dua hektar saja susah didapat. Kondisi yang ada dalam ijon sangat spekulatif. Kalau hasil panen tinggi, pengijon untung dan petani rugi. Sebaliknya, jika panen gagal, pengijonnya gigit jari. Dalam transaksi salam orang yang mau beli gabah harus menentukan dimuka berapa ton, jenis apa dan dengan harga berapa yang ia akan beli. Apabila ia membeli 4 ton misalnya, sedangkan petani menghasilkan 6 ton, selebihnya adalah milik petani. Ketika petani hanya menghasilkan 2 ton, maka petani berhutang sisanya.
Penerapan salam dalam dunia pertanian di Indonesia akan membawa multi manfaat. Pertama, secara alami harga komoditas akan terjaga (bahasa kerennya hedged), tidak seenaknya dimainkan para tengkulak. Hal ini karena ketika panen pemilik komoditas pertanian bukan hanya petani, tapi juga para pembeli. Mereka tentu tidak mau rugi dengan menjualnya dengan harga murah. Dengan demikian harga gabah petani ikut terjaga. Manfaat kedua, petani tidak usah pusing mikirin bagaimana menjual gabah demi mendapatkan uang untuk mengembalikan kredit. Sebagai penjual, kewajibannya hanya menyediakan gabah/komoditas, bukan uang. Ketiga, pemerintah tidak usah menyediakan berbagai macam fasilitas kredit program hanya untuk satu jenis usaha, seperti kredit masa tanam, kredit pembelian komoditas, kredit bibit dan sebagainya. Semua sudah all-in, satu paket dalam salam. Petani mendapat pembayaran dimuka sehingga ia bisa menggunakannya untuk membeli bibit, pupuk dan pemeliharaan. Kalau ia gunakan untuk keperluan lain, itu urusannya sendiri. Resikonya tetap, ia harus membayarnya dengan komoditas yang dipesan pembeli.
Kesimpulan Prof. Eriatno tentang perbankan masih didasarkan atas pengertian bank secara konvensional, yaitu yang kerjaannya hanya ngurusin duit. Padahal dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, pengertian itu sudah meluas meliputi bank syariah. Bank yang beroperasi secara syariah, suka atau tidak, akan terlibat pada masalah-masalah di sektor riil. Jika ia mau melakukan salam, ia harus bertindak sebagai pembeli (bukan kreditur) yang memesan komoditas yang akan dihasilkan petani. Ketika panen tiba, ia harus menerima komoditas tersebut, sesuai yang dipesan. Kalau kemudian komoditas itu dijual lagi kepada orang lain, haqqul yaqin tidak ada ulama yang melarang. Jika bank syariah hanya mau menerima uang dari petani sebagai pengganti komoditas, plus tambahan dari harga pembelian, itu namanya bukan salam, tapi salam-salaman alias main-main. Hanya namanya saja yang syariah, isinya konvensional tulen.
Apa ada bank yang praktek seperti itu? Jelas ada dong. Ketika melakukan studi banding (meminjam istilah DPR) ke Sudan bulan Februari lalu, saya berkesempatan melihat hasil praktek salam yang dilakukan Bank Tadhamon Islam, Khartoum. Mereka betul-betul menerima komoditas pertanian yang dipesan dari petani (untuk kasus mereka, gandum) dan menyimpannya di gudang yang disewa untuk jangka waktu tertentu. Para bankir syariah di Indonesia yang khawatir akan tingginya resiko transaksi salam, nampaknya perlu belajar dari mereka. Mereka telah membuktikan transaksi ini menguntungkan.
Yang saya khawatirkan, anggapan ummat tentang bank syariah di Indonesia benar adanya: namanya saja yang syariah, praktek nya tidak beda dengan konvensional. Kalau sudah begini, tidak ada lagi hikmah yang dapat diambil dari praktek syariah di perbankan, seperti jaringan (jamaah) pemasaran, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wawasan. Pantaslah kalau ada pihak yang nyeletuk: "Jangan bawa nama Islam untuk cari untung, kalau prakteknya sama saja."
Wallahu A'lam
Dimuat di Tabloid Fikri, 2002
Menurut para pakar, Islam di Indonesia tidak diajarkan secara utuh. Yang melulu jadi bahasan cuma rukun Islam alias fiqih ibadah. Sementara fiqih muamalah jarang disentuh. Kalaupun dipelajari paling-paling masalah nikah. Itupun kalau orang mau kawin dan merasa takut dites penghulu, menjelang dilakukannya ijab kabul. Fikih muamalah selebihnya merupakan warisan yang tersimpan dalam kitab-kitab kuning. Makanya ketika saya mengajarkan Salam sebagai produk pembiayaan di bank syariah, banyak yang memplesetkan definisi Salam itu menjadi "transaksi yang apabila disetujui orangnya salaman dan apabila macet, wassalam."
Di tengah hiruk pikuk demonstrasi anti AS, minggu lalu Lembaga Penelitian Pertanian NU (LP2NU) mengadakan seminar tentang alternatif pembiayaan untuk pertanian. Kesimpulan dari sesi pertama disampaikan oleh Prof. Eriatno dari IPB: Perbankan tidak lagi dapat diharapkan untuk menjadi lembaga pembiayaan bagi sektor pertanian. Prosedur yang rumit dan berbelit, serta bunga yang tinggi membuat petani lebih memilih rentenir. Meskipun bunganya mencekik leher, meminjam dari rentenir jauh lebih gampang. Karena itu ada alternatif lain, dan itu datangnya dari lembaga keuangan non bank. Diantara yang menarik adalah diusulkan adanya lembaga gadai pertanian, dimana petani bisa menggadaikan gabahnya apabila panen tiba. Pada saat itu petani perlu uang dan mencari-cari pembeli bagi gabahnya.
Buat saya, solusi dari lembaga keuangan non bank akan menghasilkan masalah yang sama, selama paradigmanya tidak berubah. Pertama, para petani yang mencari pinjaman ketika musim tanam tiba harus membayar pinjaman itu dalam bentuk uang. Jadi permasalahannya bukan cuma pada pembiayaan, tapi juga pemasaran. Yang kedua, paradigma bank yang selama ini cuma ngurusin duit harus diubah total. Dalam masa krisis seperti ini pemisahan antara sektor riil dan sektor moneter terbukti menimbulkan bencana yang amat dahsyat. Kedua masalah ini terjawab dengan menerapkan transaksi salam dalam perbankan syariah.
Jika seseorang melakukan salam, ia membeli dari petani komoditi pertanian dengan ukuran, jenis dan untuk waktu tertentu. Lalu ia membayarnya dan menunggu komoditi itu dating. Sebagian orang menganggap transaksi seperti ini sama dengan Ijon. Padahal bedanya sangat besar.
Dalam ijon, komoditi yang dibeli tidak merujuk pada ukuran sebenarnya.Misalnya, beli gabah satu hektar. Kalau panen lagi bagus, satu hektar bisa menghasilkan 6 ton. Sebaliknya kalau sedang puso, dua hektar saja susah didapat. Kondisi yang ada dalam ijon sangat spekulatif. Kalau hasil panen tinggi, pengijon untung dan petani rugi. Sebaliknya, jika panen gagal, pengijonnya gigit jari. Dalam transaksi salam orang yang mau beli gabah harus menentukan dimuka berapa ton, jenis apa dan dengan harga berapa yang ia akan beli. Apabila ia membeli 4 ton misalnya, sedangkan petani menghasilkan 6 ton, selebihnya adalah milik petani. Ketika petani hanya menghasilkan 2 ton, maka petani berhutang sisanya.
Penerapan salam dalam dunia pertanian di Indonesia akan membawa multi manfaat. Pertama, secara alami harga komoditas akan terjaga (bahasa kerennya hedged), tidak seenaknya dimainkan para tengkulak. Hal ini karena ketika panen pemilik komoditas pertanian bukan hanya petani, tapi juga para pembeli. Mereka tentu tidak mau rugi dengan menjualnya dengan harga murah. Dengan demikian harga gabah petani ikut terjaga. Manfaat kedua, petani tidak usah pusing mikirin bagaimana menjual gabah demi mendapatkan uang untuk mengembalikan kredit. Sebagai penjual, kewajibannya hanya menyediakan gabah/komoditas, bukan uang. Ketiga, pemerintah tidak usah menyediakan berbagai macam fasilitas kredit program hanya untuk satu jenis usaha, seperti kredit masa tanam, kredit pembelian komoditas, kredit bibit dan sebagainya. Semua sudah all-in, satu paket dalam salam. Petani mendapat pembayaran dimuka sehingga ia bisa menggunakannya untuk membeli bibit, pupuk dan pemeliharaan. Kalau ia gunakan untuk keperluan lain, itu urusannya sendiri. Resikonya tetap, ia harus membayarnya dengan komoditas yang dipesan pembeli.
Kesimpulan Prof. Eriatno tentang perbankan masih didasarkan atas pengertian bank secara konvensional, yaitu yang kerjaannya hanya ngurusin duit. Padahal dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, pengertian itu sudah meluas meliputi bank syariah. Bank yang beroperasi secara syariah, suka atau tidak, akan terlibat pada masalah-masalah di sektor riil. Jika ia mau melakukan salam, ia harus bertindak sebagai pembeli (bukan kreditur) yang memesan komoditas yang akan dihasilkan petani. Ketika panen tiba, ia harus menerima komoditas tersebut, sesuai yang dipesan. Kalau kemudian komoditas itu dijual lagi kepada orang lain, haqqul yaqin tidak ada ulama yang melarang. Jika bank syariah hanya mau menerima uang dari petani sebagai pengganti komoditas, plus tambahan dari harga pembelian, itu namanya bukan salam, tapi salam-salaman alias main-main. Hanya namanya saja yang syariah, isinya konvensional tulen.
Apa ada bank yang praktek seperti itu? Jelas ada dong. Ketika melakukan studi banding (meminjam istilah DPR) ke Sudan bulan Februari lalu, saya berkesempatan melihat hasil praktek salam yang dilakukan Bank Tadhamon Islam, Khartoum. Mereka betul-betul menerima komoditas pertanian yang dipesan dari petani (untuk kasus mereka, gandum) dan menyimpannya di gudang yang disewa untuk jangka waktu tertentu. Para bankir syariah di Indonesia yang khawatir akan tingginya resiko transaksi salam, nampaknya perlu belajar dari mereka. Mereka telah membuktikan transaksi ini menguntungkan.
Yang saya khawatirkan, anggapan ummat tentang bank syariah di Indonesia benar adanya: namanya saja yang syariah, praktek nya tidak beda dengan konvensional. Kalau sudah begini, tidak ada lagi hikmah yang dapat diambil dari praktek syariah di perbankan, seperti jaringan (jamaah) pemasaran, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wawasan. Pantaslah kalau ada pihak yang nyeletuk: "Jangan bawa nama Islam untuk cari untung, kalau prakteknya sama saja."
Wallahu A'lam
Dimuat di Tabloid Fikri, 2002
No comments:
Post a Comment