(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Salah satu praktek perbankan yang sulit dimengerti oleh para ulama adalah alokasi dana untuk mencadangkan penghapusan bagi aktiva-aktiva produktif yang mungkin bermasalah. Padahal di Indonesia ketentuan pencadangan ini merupakan ketentuan yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sejak program restrukturisasi perbankan nasional dicanangkan tahun 1998, ketentuan perbankan mulai ketat kembali, setelah 10 tahun terkesan "hilang kendali". Bahkan salah satu kesepakatan dengan IMF adalah diberlakukannya standar pengaturan perbankan yang merujuk kepada ketentuan internasional.
Keharusan pencadangan terhadap aktiva (asset) bermasalah muncul diantaranya karena adanya resiko yang timbul dari pembiayaan (istilah konvensionalnya kredit) yang dilakukan oleh bank. Ketentuan perbankan yang mengatur hal ini (Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif-PPAP) sebenarnya telah diberlakukan sejak lama, namun krisis yang membikin rontok perbankan pada tahun 1997 membuat ketentuan pencadangan menjadi semakin penting. Para anggota Dewan Pengawas Syariah di bank syariah tentu merasa harus meneliti dahulu sejauhmana keabsahan ketentuan) ini dari sisi syariah. Kalaupun harus diterapkan kepada bank syariah, apakah bisa begitu saja diterapkan tanpa melihat keunikan dari bank syariah. Karena itu, ketika masalah ini dibawa ke Dewan Syariah Nasional oleh para akuntan,
terjadi perdebatan cukup panjang.
Para ulama melihat bahwa ketentuan pencadangan boleh-boleh saja diterapkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyathi) yang juga diharuskan oleh Syariah. Tapi ternyata ditemukan bahwa banyak yang harus diperhatikan dalam ketentuan ini. Misalnya saja produk pembiayaan bank syariah yang berbeda dengan kredit bank biasa. Mungkin hanya Murabahah (pembiayaan penjualan oleh bank kepada nasabah dengan keuntungan yang disepakati) saja yang bisa diukur dengan ketentuan biasa. Tapi untuk Salam (pembelian barang nasabah oleh bank secara indent) dan Ijarah (penyewaan barang bank kepada nasabah) analisanya berbeda sama sekali. Pada salam, nasabah berhutang barang kepada bank, sedangkan dalam Ijarah nasabah menggunakan milik bank dan membayar sewanya.
Demikian pula pada produk bagi hasil seperti Mudharabah dan Musyarakah. Kedua produk ini sangat terbuka terhadap resiko fluktuasi ekonomi dan faktor eksternal lainnya. Analisa pendapatan dari bisnis bagi hasil inipun harusnya menyerupai analisa investasi. Karena itu, penghitungan resikonya pun berbeda, yang mengakibatkan berbeda ketentuan pencadangannya, serta dampaknya bagi analisa kesehatan bank, seperti rasio kecukupan modal (CAR).
Dalam hal ini DSN bertahan kepada ketentuan perbankan di Indonesia, demi menjaga maslahat nasabah. Karena itu DSN menetapkan bahwa pencadangan harus dialokasikan dari dana (modal/keuntungan) bank. Jika pencadangan harus diambil dari keuntungan yang menjadi hak nasabah, tidak mudah untuk mengukur sejauh mana para pengurus bank untuk tidak mengambil hak nasabah, padahal pengetahuan dan keahlian perhitungan keuangan lebih
banyak dikuasai oleh bank.
Keputusan yang dituangkan DSN dalam bentuk fatwa ini berbeda dengan Standar Provision and Reserve yang dikeluarkan AAOIFI (Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions) Bahrain. juga kemudian ditambah dengan ketentuan pencadangan ini walaupun dengan rumus yang berbeda. AAOIFI memandang bahwa karena dalam Islam investasi itu memiliki resiko yang harus ditanggung, baik oleh pemilik dana maupun pengelola, maka pencadangan harus ditanggung oleh bersama pula. Artinya pemilik dana (penyimpan) harus ikut menanggung pencadangan tersebut. Caranya tentu tidak dengan memotong simpanannya, tetapi menyisihkannya dari keuntungan yang didapat bank sebelum dibagikan kepada nasabah. Metode ini kelihatan lebih adil, tetapi secara teknis akan mengalami masalah yang sama dalam hal "time-match". Jika pencadangan dilakukan selama 1 tahun, sesuai lamanya investasi/pembiayaan, sedangkan investasi yang dilakukan oleh nasabah hanya enam bulan, apabila dana pencadangan yang disisihkan dari keuntungan selama enam bulan pertama ditarik pada akhir tahun, kepada siapa dana itu akan dibagikan, padahal pemegang dana lama sudah menarik dananya dari bank tersebut? Kecuali jika metode investasi yang digunakan memang macth, baik jumlah maupun jangka waktunya.
Wallahu A'lam
Dimuat di Tabloid Fikri, Maret 2002
Cecep Maskanul Hakim
Salah satu praktek perbankan yang sulit dimengerti oleh para ulama adalah alokasi dana untuk mencadangkan penghapusan bagi aktiva-aktiva produktif yang mungkin bermasalah. Padahal di Indonesia ketentuan pencadangan ini merupakan ketentuan yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sejak program restrukturisasi perbankan nasional dicanangkan tahun 1998, ketentuan perbankan mulai ketat kembali, setelah 10 tahun terkesan "hilang kendali". Bahkan salah satu kesepakatan dengan IMF adalah diberlakukannya standar pengaturan perbankan yang merujuk kepada ketentuan internasional.
Keharusan pencadangan terhadap aktiva (asset) bermasalah muncul diantaranya karena adanya resiko yang timbul dari pembiayaan (istilah konvensionalnya kredit) yang dilakukan oleh bank. Ketentuan perbankan yang mengatur hal ini (Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif-PPAP) sebenarnya telah diberlakukan sejak lama, namun krisis yang membikin rontok perbankan pada tahun 1997 membuat ketentuan pencadangan menjadi semakin penting. Para anggota Dewan Pengawas Syariah di bank syariah tentu merasa harus meneliti dahulu sejauhmana keabsahan ketentuan) ini dari sisi syariah. Kalaupun harus diterapkan kepada bank syariah, apakah bisa begitu saja diterapkan tanpa melihat keunikan dari bank syariah. Karena itu, ketika masalah ini dibawa ke Dewan Syariah Nasional oleh para akuntan,
terjadi perdebatan cukup panjang.
Para ulama melihat bahwa ketentuan pencadangan boleh-boleh saja diterapkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyathi) yang juga diharuskan oleh Syariah. Tapi ternyata ditemukan bahwa banyak yang harus diperhatikan dalam ketentuan ini. Misalnya saja produk pembiayaan bank syariah yang berbeda dengan kredit bank biasa. Mungkin hanya Murabahah (pembiayaan penjualan oleh bank kepada nasabah dengan keuntungan yang disepakati) saja yang bisa diukur dengan ketentuan biasa. Tapi untuk Salam (pembelian barang nasabah oleh bank secara indent) dan Ijarah (penyewaan barang bank kepada nasabah) analisanya berbeda sama sekali. Pada salam, nasabah berhutang barang kepada bank, sedangkan dalam Ijarah nasabah menggunakan milik bank dan membayar sewanya.
Demikian pula pada produk bagi hasil seperti Mudharabah dan Musyarakah. Kedua produk ini sangat terbuka terhadap resiko fluktuasi ekonomi dan faktor eksternal lainnya. Analisa pendapatan dari bisnis bagi hasil inipun harusnya menyerupai analisa investasi. Karena itu, penghitungan resikonya pun berbeda, yang mengakibatkan berbeda ketentuan pencadangannya, serta dampaknya bagi analisa kesehatan bank, seperti rasio kecukupan modal (CAR).
Dalam hal ini DSN bertahan kepada ketentuan perbankan di Indonesia, demi menjaga maslahat nasabah. Karena itu DSN menetapkan bahwa pencadangan harus dialokasikan dari dana (modal/keuntungan) bank. Jika pencadangan harus diambil dari keuntungan yang menjadi hak nasabah, tidak mudah untuk mengukur sejauh mana para pengurus bank untuk tidak mengambil hak nasabah, padahal pengetahuan dan keahlian perhitungan keuangan lebih
banyak dikuasai oleh bank.
Keputusan yang dituangkan DSN dalam bentuk fatwa ini berbeda dengan Standar Provision and Reserve yang dikeluarkan AAOIFI (Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions) Bahrain. juga kemudian ditambah dengan ketentuan pencadangan ini walaupun dengan rumus yang berbeda. AAOIFI memandang bahwa karena dalam Islam investasi itu memiliki resiko yang harus ditanggung, baik oleh pemilik dana maupun pengelola, maka pencadangan harus ditanggung oleh bersama pula. Artinya pemilik dana (penyimpan) harus ikut menanggung pencadangan tersebut. Caranya tentu tidak dengan memotong simpanannya, tetapi menyisihkannya dari keuntungan yang didapat bank sebelum dibagikan kepada nasabah. Metode ini kelihatan lebih adil, tetapi secara teknis akan mengalami masalah yang sama dalam hal "time-match". Jika pencadangan dilakukan selama 1 tahun, sesuai lamanya investasi/pembiayaan, sedangkan investasi yang dilakukan oleh nasabah hanya enam bulan, apabila dana pencadangan yang disisihkan dari keuntungan selama enam bulan pertama ditarik pada akhir tahun, kepada siapa dana itu akan dibagikan, padahal pemegang dana lama sudah menarik dananya dari bank tersebut? Kecuali jika metode investasi yang digunakan memang macth, baik jumlah maupun jangka waktunya.
Wallahu A'lam
Dimuat di Tabloid Fikri, Maret 2002
No comments:
Post a Comment