Tuesday, February 17, 2009

Cash atau Accrual?

(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim

Bagi yang teliti membaca buku "Himpunan Fatwa DSN-MUI" tahun 2000 pasti akan bertanya, karena setelah 13 fatwa produk perbankan, urutannya disela oleh 6 fatwa yang bersifat teknis. Mengapa? Karena keenam fatwa itu dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang sedang menyusun Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) untuk Perbankan Syariah.
Sebagaimana diskusi tentang perbankan syariah, diskusi tentang akuntansinya pun memerlukan waktu lumayan panjang untuk sampai kepada kesimpulan. Sebagian karena latar belakang para peserta rapat yang belum sama tentang pemahaman terhadap perbankan syariah. Maka jadilah setengah dari waktu rapat untuk proses pembelajaran. Selain itu diskusi akuntansi Syariah sering menjurus kepada masalah hukum, karena beragamnya pendapat tentang suatu transaksi dalam Syariah. Khusus PSAK Syariah, faktor itu ditambah dengan kesibukan para anggota DSAK, sehingga proses penyusunan molor sampai lebih dari dua tahun.

Paling tidak ada enam masalah besar yang kemudian harus mendapat fatwa, yaitu metode pengakuan pendapatan, uang muka dan potongan harga dalam Murabahah, denda atas keterlambatan nasabah dalam membayar cicilan, metode distribusi pendapatan dan pencadangan penghapusan aktiva produktif. Kali ini akan dibahas soal metode pengakuan pendapatan.

Masalah yang paling rumit dan jadi bahan perdebatan (bahkan sampai sekarang) diantara para perumus adalah apakah dalam mengakui pendapatan dan beban bank syariah menggunakan accrual basis atau cash basis? Dalam praktek yang berlaku sekarang, bank syariah menggunakan pendekatan accrual dalam pengenaan beban, sedangkan untuk pendapatan mereka menggunakan pendekatan cash. Alasan pemberlakukan ini adalah bahwa beban, meskipun belum direalisasi, sudah dapat dianggap kewajiban, sedangkan pendapatan adalah sesuatu yang tidak bisa dipastikan, berdasarkan ayat Qur'an surat Luqman ayat 31. Praktek seperti ini tentu sulit diterima di kalangan akuntan mengingat tidak konsistennya metode yang digunakan. Artinya apabila pengakuan beban dilakukan dengan cara accrual, mestinya untuk pendapatan juga demikian. Demikian pula untuk cara kas. Tetapi penerapan secara konsisten metode akuntansi kepada bank syariah bukan berarti tidak ada masalah yang muncul. Perlu diingat bahwa diantara perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional adalah pendapatan yang dibagikan kepada nasabah (penyimpan) dalam bank syariah tergantung kepada pendapatan yang diperoleh bank (Revenue concept); sedangkan dalam bank konvensional hal itu tidak berlaku, karena porsi nasabah telah ditentukan dimuka dalam bentuk bunga (cost concept).

Penerapan metode accrual pada beban dan pendapatan akan memberikan manfaat kepada bank syariah pada kemudahan pembukuan. Masalahnya adalah pendapatan yang terealisasi tidak selalu sama dengan yang telah diperkirakan sebelumnya. Dan ketika hal itu terjadi, bank akan melakukan koreksi berulang-ulang, mengingat distribusi pendapatan/ keuntungan dilakukan bank setiap akhir bulan. Jika koreksi itu dilakukan untuk memberikan hak bagi nasabah (penyimpan), masalahnya tidak serumit ketika koreksi untuk mengambil hak bank yang telah dibagikan kepada nasabah.

Penerapan metode kas pada pos beban menimbulkan manfaat kepada bank syariah dengan adanya gambaran riil pada beban yang ditanggung pada masa akuntansi berjalan, misalnya per bulan. Tapi hal ini juga bisa menyebabkan nasabah kehilangan pendapatan apabila beban yang dikeluarkan amat besar dan harus dibebankan pada saat itu juga. Demikian halnya pada pendapatan; bank tidak perlu mengeluarkan cadangan untuk menutup perkiraan kekurangan keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah. Apa yang didapatkan bank pada bulan itu dibagikan apa adanya. Masalahnya adalah banyak nasabah yang menggunakan produk investasi berupa deposito untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama ( 1-6 bulan). Padahal kebanyakan produk pembiayaan dalam bank syariah biasanya memakan waktu lebih dari enam bulan. Pergantian nasabah yang membuka deposito membuka kemungkinan nasabah yang baru menanamkan dananya menikmati bagi hasil yang seharusnya menjadi hak para pemilik deposito yang telah ditarik/dicairkan.

Perdebatan tentang Cash dan Accrual sedemikian tajam sehingga memunculkan pertanyaan yang menantang: Mana dari kedua sistem ini yang sesuai syariah? Dewan Syariah Nasional akhirnya menetapkan bahwa dalam kedua metode ini terdapat manfaat dan mudharat. Tapi yang lebih maslahat adalah untuk pengakuan, baik beban maupun pendapatan dapat menggunakan metode accrual, sedangkan distribusi pendapatan harus dilakukan dari pendapatan yang direalisir. Meskipun fatwa ini mendatangkan kritik dari kalangan praktisi akuntansi, karena bank syariah harus mengeluarkan laporan ganda, nampaknya hal ini merupakan jalan tengah yang diambil para ulama untuk menghindari pertentangan kedua metode diatas. Selain itu baik Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions yang diterbitkan AAOIFI Bahrain maupun International Accounting Standard mengasumsikan metode accrual sebagai metode yang digunakan pengakuan beban dan pendapatan.

Wallahu A'lam.

Sumber: Tabloid Fikri, Januari 2002

No comments:

Post a Comment