Puasa telah tiba. Jika ditanya hal apa yang paling memusingkan ketika bulan puasa tiba, jawaban saya adalah undangan ceramah yang bejibun banyaknya. Padahal secara guyon teman-teman bilang para ustaz bergembira dengan datangnya Ramadhan karena masa panen telah tiba. Ada dua hal yang membuat riskan kalau berceramah pada waktu puasa.
Pertama orang lagi ceramah biasanya lupa waktu, padahal baik pendengar maupun penceramah adalah para karyawan yang harus menjaga waktu kerja di kantor. Dalam syariah, korupsi waktu sama jahatnya dengan korupsi materi. Kedua supaya audien tidak ngantuk, apalagi ceramah ba’da Zhuhur, penceramah harus bisa kelakar. Padahal etiket berpuasa adalah menjaga dari hal yang tidak perlu, termasuk lelucon.
Puasa memang bikin orang ngantuk. Rasa ngantuk timbul akibat perut yang kosong. Karena itu bicara tentang puasa pada konteks ekonomi akan aneh. Karena perut yang kosong secara fisik akan mengurangi daya tahan dalam memproduksi barang. Tapi para ulama memperingatkan bahwa banyak kemenangan ummat Islam justru terjadi pada bulan puasa. Mengapa?
Puasa memang misteri sejak awalnya. Ia menghadirkan keajaiban lewat kesehatan. “Berpuasalah, kamu pasti sehat” kata Nabi. Secara logika ini tidak mungkin terjadi. Mana ada orang yang perutnya kosong bisa sehat? Tapi itulah realitasnya. Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa perut yang sehat adalah perut yang tidak “penuh”. Artinya kalau makan tidak selalu kenyang. Rekomendasi penelitian menyimpulkan: Untuk sehat orang harus melakukan diet secara teratur. Orang Islam sudah punya jawabannya dari dulu, yaitu puasa!
Jika ditarik kesimpulan Nabi itu ke wilayah lain, semestinya keajaiban itu bisa terjadi. Misalnya, “puasalah, ekonomi kamu pasti sehat.” Para ekonom mungkin akan sinis dengan pernyataan ini. Pada kenyataannya memang benar. Ketika jadi presiden, Habibi pernah disodori hitungan, bila 200 juta penduduk Indonesia secara sadar melakukan puasa Senin-Kamis seperti yang dilakukan ahli pesawat terbang itu, maka dalam seminggu bisa dihemat 100 ton beras. Itupun asumsinya konservatif; orang hanya menahan diri dari seperempat kg satu kali makan. Belum lagi makanan lainnya. Ini baru potensi ekonomi yang kecil dari puasa yang tidak disadari para ekonom.
Statistika menunjukkan bahwa permintaan barang pada bulan puasa selalu meningkat 2 sampai 3 kali dari biasanya. Peredaran uang (velocity) juga demikian. Para ekonom selalu mewanti-wanti akan tingginya inflasi dengan melonjaknya permintaan. Dalam jargon ekonomi, ini disebut cost push inflation. Tetapi anehnya justru tidak terjadi. Keinginan orang untuk mendapatkan barang untuk lebaran, yang menaikkan tingkat permintaan, dibarengi dengan keinginan orang untuk mereguk keuntungan dengan cara memproduksi barang sebanyak-banyaknya. Ini berarti meningkatkan supply barang yang pada gilirannya akan menekan harga.
Jika permintaan dan supplai barang meningkat tanpa diiringi kenaikan harga yang signifikan, itu artinya ekonomi sedang booming. Disitu letak irasionalnya. Orangnya lagi puasa, koq ekonominya malah tumbuh. Para ekonom akan lebih heran jika menyaksikan kenyataan bahwa teori Irving Fisher tentang peredaran uang justru berlaku pada bulan puasa. Jika selembar uang sepuluh ribuan telah melewati transaksi lebih dari lima kali maka ia telah menciptakan nilai tambah lima kali dari nilai yang dibawanya. Memang belum ada penelitian ilmiah lebih lanjut, tapi saya berani berasumsi bahwa velocity uang pada bulan puasa mendekati rasio 1. Artinya pada saat itu, nilai uang yang beredar merupakan gambaran terhadap nilai transaksi riil, baik barang maupun jasa.
Bagaimana bisa begitu? Terkadang ada benarnya orang bilang bahwa ada dimensi dimana perekonomian dalam Islam tidak bisa dicerna dengan rasionalisme. Komentar saya adalah: salah sendiri mengapa mendasarkan ilmu ekonomi hanya pada rasionalisme an sich. Bahwa semua ilmu, termasuk ekonomi, harus ada dasar rasionalnya, tentu tidak bisa diganggu-gugat. Agamapun harus dijalankan oleh orang yang punya akal (Agama itu akal, tidak sah agama dijalankan oleh orang yang tidak berakal, Hadist). Tapi kalau semua harus rasional bisa-bisa orang tidak bisa hidup, karena apa yang diperbuatnya harus sesuai dengan rasionya. Orang Inggris percaya bahwa semakin banyak orang memberi, semakin banyak ia akan menerima. Islam mengajarkan, tidak akan berkurang harta karena sedekah. Pernyataan seperti ini tidak akan dapat dicerna oleh ilmu ekonomi yang melulu isinya rasionalisme dan materialisme, there is nothing for nothing. Apalagi diraut dan dipertajam dengan individualisme.
Jawaban mungkin datang dari dimensi lain. Saat puasa kondisi hati rata-rata orang sedang berada dalam puncak spiritnya, sehingga berusaha berbuat baik sebanyak-banyaknya. Bahkan membeli makanan untuk berbuka saja sengaja dilebihkan untuk orang lain agar dapat buka puasa barengan. Pada saat seperti ini, hitungan materi tidak lagi berlaku. Pemberian materi tidak lagi untuk mendapatkan imbalan materi, tetapi sesuatu yang lain, yang memuaskan hati, seperti ganjaran dari Tuhan. Jika semua orang yang berpuasa melakukan hal yang sama (kecuali orang yang tidak mampu) maka asumsi the fallacy of decomposition (jatuhnya generalisasi) berlaku, tetapi bukan untuk membantah teori ekonomi, malah justru mendukungnya.
Bahwa konsumsi meningkat, permintaan jadi naik, suplai ikut bertambah, harga stabil, pengangguran berkurang dan seterusnya. Sekali kondisi awal berubah, hati orang berbalik jadi dengki dan kikir, maka semuanya justru tidak jalan. Konsumsi rendah, permintaan turun, suplai dikurangi, harga naik, pengangguran bertambah dan sebagainya. Apakah hanya puasa yang begitu? Tidak juga. Semua prilaku spiritual akan menggerakkan ekonomi tanpa diminta. Tanya saja pada Garuda, berapa kerugian yang dideritanya jika jamaah Indonesia sudah cerdas dan dibebaskan memilih perusahaan penerbangan yang akan digunakannya?
Puasa memang membuat orang lelah. Tapi dibalik kelelahan ada kekuatan luar biasa jika puasa itu dijalani dengan penuh hikmah. Orang puasa yang bekerja di kantor paling tidak telah menghilangkan faktor penghambat konsentrasi, yaitu makanan. Kalau ia bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore dengan istirahat 1 jam, sebenarnya ia telah bekerja selama 9 jam penuh konsentrasi. Jika takut puasanya batal karena mencuri atau berbohong, maka selama itu pula kantor akan aman dari kekhilafan orang-orang suka mengutil. Seorang teman dari Palestina cerita, bahwa jika datang bulan puasa, para pekerja Palestina yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik orang-orang Israel di daerah pendudukan umumnya dibagi dua kelompok ketika sampai di pintu penjagaan. Kelompok yang puasa dan tidak. Kelompok yang tidak puasa disuruh pulang, sedangkan yang puasa disuruh kerja.
Ketika diprotes oleh para shaimin, jawaban polisi perbatasan enteng, “kalian orang yang puasa pasti jujur.” Mereka ini kemudian diberi bonus hari besar keagamaan (semacam THR). Puasa memang misteri. Ia akan mendatangkan keajaiban bagi yang menjalaninya dengan penuh hikmah.
Dimuat di Tabloid Fikri (2002) dan Majalah Amanah (2004)
Pertama orang lagi ceramah biasanya lupa waktu, padahal baik pendengar maupun penceramah adalah para karyawan yang harus menjaga waktu kerja di kantor. Dalam syariah, korupsi waktu sama jahatnya dengan korupsi materi. Kedua supaya audien tidak ngantuk, apalagi ceramah ba’da Zhuhur, penceramah harus bisa kelakar. Padahal etiket berpuasa adalah menjaga dari hal yang tidak perlu, termasuk lelucon.
Puasa memang bikin orang ngantuk. Rasa ngantuk timbul akibat perut yang kosong. Karena itu bicara tentang puasa pada konteks ekonomi akan aneh. Karena perut yang kosong secara fisik akan mengurangi daya tahan dalam memproduksi barang. Tapi para ulama memperingatkan bahwa banyak kemenangan ummat Islam justru terjadi pada bulan puasa. Mengapa?
Puasa memang misteri sejak awalnya. Ia menghadirkan keajaiban lewat kesehatan. “Berpuasalah, kamu pasti sehat” kata Nabi. Secara logika ini tidak mungkin terjadi. Mana ada orang yang perutnya kosong bisa sehat? Tapi itulah realitasnya. Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa perut yang sehat adalah perut yang tidak “penuh”. Artinya kalau makan tidak selalu kenyang. Rekomendasi penelitian menyimpulkan: Untuk sehat orang harus melakukan diet secara teratur. Orang Islam sudah punya jawabannya dari dulu, yaitu puasa!
Jika ditarik kesimpulan Nabi itu ke wilayah lain, semestinya keajaiban itu bisa terjadi. Misalnya, “puasalah, ekonomi kamu pasti sehat.” Para ekonom mungkin akan sinis dengan pernyataan ini. Pada kenyataannya memang benar. Ketika jadi presiden, Habibi pernah disodori hitungan, bila 200 juta penduduk Indonesia secara sadar melakukan puasa Senin-Kamis seperti yang dilakukan ahli pesawat terbang itu, maka dalam seminggu bisa dihemat 100 ton beras. Itupun asumsinya konservatif; orang hanya menahan diri dari seperempat kg satu kali makan. Belum lagi makanan lainnya. Ini baru potensi ekonomi yang kecil dari puasa yang tidak disadari para ekonom.
Statistika menunjukkan bahwa permintaan barang pada bulan puasa selalu meningkat 2 sampai 3 kali dari biasanya. Peredaran uang (velocity) juga demikian. Para ekonom selalu mewanti-wanti akan tingginya inflasi dengan melonjaknya permintaan. Dalam jargon ekonomi, ini disebut cost push inflation. Tetapi anehnya justru tidak terjadi. Keinginan orang untuk mendapatkan barang untuk lebaran, yang menaikkan tingkat permintaan, dibarengi dengan keinginan orang untuk mereguk keuntungan dengan cara memproduksi barang sebanyak-banyaknya. Ini berarti meningkatkan supply barang yang pada gilirannya akan menekan harga.
Jika permintaan dan supplai barang meningkat tanpa diiringi kenaikan harga yang signifikan, itu artinya ekonomi sedang booming. Disitu letak irasionalnya. Orangnya lagi puasa, koq ekonominya malah tumbuh. Para ekonom akan lebih heran jika menyaksikan kenyataan bahwa teori Irving Fisher tentang peredaran uang justru berlaku pada bulan puasa. Jika selembar uang sepuluh ribuan telah melewati transaksi lebih dari lima kali maka ia telah menciptakan nilai tambah lima kali dari nilai yang dibawanya. Memang belum ada penelitian ilmiah lebih lanjut, tapi saya berani berasumsi bahwa velocity uang pada bulan puasa mendekati rasio 1. Artinya pada saat itu, nilai uang yang beredar merupakan gambaran terhadap nilai transaksi riil, baik barang maupun jasa.
Bagaimana bisa begitu? Terkadang ada benarnya orang bilang bahwa ada dimensi dimana perekonomian dalam Islam tidak bisa dicerna dengan rasionalisme. Komentar saya adalah: salah sendiri mengapa mendasarkan ilmu ekonomi hanya pada rasionalisme an sich. Bahwa semua ilmu, termasuk ekonomi, harus ada dasar rasionalnya, tentu tidak bisa diganggu-gugat. Agamapun harus dijalankan oleh orang yang punya akal (Agama itu akal, tidak sah agama dijalankan oleh orang yang tidak berakal, Hadist). Tapi kalau semua harus rasional bisa-bisa orang tidak bisa hidup, karena apa yang diperbuatnya harus sesuai dengan rasionya. Orang Inggris percaya bahwa semakin banyak orang memberi, semakin banyak ia akan menerima. Islam mengajarkan, tidak akan berkurang harta karena sedekah. Pernyataan seperti ini tidak akan dapat dicerna oleh ilmu ekonomi yang melulu isinya rasionalisme dan materialisme, there is nothing for nothing. Apalagi diraut dan dipertajam dengan individualisme.
Jawaban mungkin datang dari dimensi lain. Saat puasa kondisi hati rata-rata orang sedang berada dalam puncak spiritnya, sehingga berusaha berbuat baik sebanyak-banyaknya. Bahkan membeli makanan untuk berbuka saja sengaja dilebihkan untuk orang lain agar dapat buka puasa barengan. Pada saat seperti ini, hitungan materi tidak lagi berlaku. Pemberian materi tidak lagi untuk mendapatkan imbalan materi, tetapi sesuatu yang lain, yang memuaskan hati, seperti ganjaran dari Tuhan. Jika semua orang yang berpuasa melakukan hal yang sama (kecuali orang yang tidak mampu) maka asumsi the fallacy of decomposition (jatuhnya generalisasi) berlaku, tetapi bukan untuk membantah teori ekonomi, malah justru mendukungnya.
Bahwa konsumsi meningkat, permintaan jadi naik, suplai ikut bertambah, harga stabil, pengangguran berkurang dan seterusnya. Sekali kondisi awal berubah, hati orang berbalik jadi dengki dan kikir, maka semuanya justru tidak jalan. Konsumsi rendah, permintaan turun, suplai dikurangi, harga naik, pengangguran bertambah dan sebagainya. Apakah hanya puasa yang begitu? Tidak juga. Semua prilaku spiritual akan menggerakkan ekonomi tanpa diminta. Tanya saja pada Garuda, berapa kerugian yang dideritanya jika jamaah Indonesia sudah cerdas dan dibebaskan memilih perusahaan penerbangan yang akan digunakannya?
Puasa memang membuat orang lelah. Tapi dibalik kelelahan ada kekuatan luar biasa jika puasa itu dijalani dengan penuh hikmah. Orang puasa yang bekerja di kantor paling tidak telah menghilangkan faktor penghambat konsentrasi, yaitu makanan. Kalau ia bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore dengan istirahat 1 jam, sebenarnya ia telah bekerja selama 9 jam penuh konsentrasi. Jika takut puasanya batal karena mencuri atau berbohong, maka selama itu pula kantor akan aman dari kekhilafan orang-orang suka mengutil. Seorang teman dari Palestina cerita, bahwa jika datang bulan puasa, para pekerja Palestina yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik orang-orang Israel di daerah pendudukan umumnya dibagi dua kelompok ketika sampai di pintu penjagaan. Kelompok yang puasa dan tidak. Kelompok yang tidak puasa disuruh pulang, sedangkan yang puasa disuruh kerja.
Ketika diprotes oleh para shaimin, jawaban polisi perbatasan enteng, “kalian orang yang puasa pasti jujur.” Mereka ini kemudian diberi bonus hari besar keagamaan (semacam THR). Puasa memang misteri. Ia akan mendatangkan keajaiban bagi yang menjalaninya dengan penuh hikmah.
Dimuat di Tabloid Fikri (2002) dan Majalah Amanah (2004)
No comments:
Post a Comment