(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Dollar menguat lagi? Ah, itu biasa. Yang perlu diantisipasi adalah sebentar lagi harga barang-barang akan naik, akibat depresiasi rupiah terhadap mata uang Paman Sam itu. Sejak turunnya Soeharto sudah tak terhitung lagi berapa kali kantong rakyat Indonesia harus disesuaikan dengan harga baru. Baik dengan kenaikan dolar terhadap rupiah, ataupun dengan sebab lain, seperti naiknya harga bahan bakar. Anehnya isi kantong masyarakat tidak pernah bertambah. Kalaupun bertambah biasanya lambat. Jika perlu harus demonstrasi dulu, seperti yang dilakukan guru-guru di Nganjuk dan berbagai daerah lainnya.
Nasib rupiah memang mirip nasib bangsanya, terpuruk. Padahal dengan kejadian runtuhnya gedung WTC di New York seharusnya dolar sudah turun. Keperluan memulihkan ekonomi dalam negeri membuat Alan Greenspan menurunkan tingkat sukubunga, yang berarti dolar harus turun terhadap mata uang lain. Tetapi rupanya masalahnya tidak sesederhana itu. Utang luar negeri Indonesia (bahasa sopannya " bantuan") sudah mencapai 150 milyar dolar, yang dengan asumsi kurs 1 dollar = Rp. 9.500,-, setiap penduduk Indonesia kebagian beban sebesar Rp. 7 juta. Perlu setahun penuh, tanpa makan dan minum, bagi seorang penarik beca yang berpenghasilan sepuluh ribu per hari, untuk membayarnya. Utang luar negeri ini harus dibayar tiap tahun dan jatuh tempo antara Oktober dan Desember. Maka jangan heran, menjelang akhir tahun, rupiah seperti kaleng kosong, ditendang kesana-sini dan menciptakan kebisingan diantara para pelaku pasar.
Lalu apakah jika dolar turun, misalnya jadi Rp. 2.000,-, persoalan akan selesai? Tidak juga. Struktur industri Indonesia sudah kadung banyak menggunakan komponen impor yang harus dibayar dengan dolar. Lagipula, dengan alasan sebentar lagi AFTA, para importir berlomba mendatangkan produk luar negeri. Kan lagi krisis? Banyak pihak yang justru balik bertanya, krisis untuk siapa? Untuk masyarakat kebanyakan mungkin jawabannya ya. Tapi tidak untuk segelintir orang tertentu. Buktinya pada waktu pameran mobil beberapa waktu silam sudah 30 mobil mewah sekelas Jaguar terjual habis!
Ada masalah lain yang diderita bangsa ini, yaitu penyakit cinta barang luar negeri. Apa saja yang datang dari luar negeri dianggap lebih bagus dari barang dalam negeri. Tidak ada upaya untuk mengurangi apalagi memproduksi barang sepertinya. Jangan harap bisa mengunggulinya. Kesimpulannya, dolar naik salah, turun juga repot. Meniru judul film, maju kena, mundur kena.
Harus solusi untuk keluar dari lingkaran ini. Beberapa pihak pernah mengusulkan agar rupiah diganti dengan dinar emas sesuai jaman Rasulullah dulu, atau mendasarinya dengan emas. Lagipula indeksasi terhadap logam mulia itu membuat rupiah akan perkasa terhadap mata uang
apapun, teermasuk dolar. Jangan lupa, selain Afrika Selatan dan Rusia Indonesia memiliki stok emas yang cukup besar, bahkan diluar yang dikeruk Freeport. Sebuah jamaah bernama Murabitun di Spanyol pimpinan Dr. Muhammad Rais Vadillo menjadi pelanggan pembuatan uang emas dari PT. Antam Indonesia. Itu dilakukan karena mereka berkeyakinan mata uang emas merupakan satu-satunya mata uang yang sah diantara mereka.
Tapi apabila hal itu diterapkan di Indonesia saat ini, dengan kondisi yang maju kena mundur kena, situasinya akan mirip jaman Merkantilisme, mazhab ekonomi sebelum Adam Smith. Inggris yang berada dibawah pengaruh mazhab ini berusaha mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya dari negara-negara tetangga dengan harga semurah-murahnya. Tapi akibatnya justru terbalik, malah emas yang ada di dalam negeri jadi lebih banyak keluar karena harus ditukar dengan barang-barang mewah. Teori ekonomi yang ditemukan kemudian membuktikan bahwa ketika barang kebutuhan pokok sudah terpenuhi, permintaan barang lebih baik kualitasnya akan meningkat.
Yang lebih prioritas saat ini adalah bagaimana memasang sikap ekonomi. Bagaimana mau mempertahankan mata uang, sementara penduduk domestik lebih bangga dengan produk luar negeri ketimbang produk negaranya sendiri? Bagaimana mungkin mata uangnya dihargai orang lain, sementara kualitas produknya sendiri inferior kalau tidak disebut asal jadi? Bagaimana masyarakat mau memakai produk snediri kalau pemimpinnya justru pamer barang luar negeri, dari kaus singlet sampai mobil mewah? Kita tidak perlu menghidupkan Umar bin Abdul Aziz untuk mendidik pola hidup sederhana dan percaya buatan sendiri. Wallahu A'lam.
Dimuat Tabloid Fikri, Oktober 2002
Cecep Maskanul Hakim
Dollar menguat lagi? Ah, itu biasa. Yang perlu diantisipasi adalah sebentar lagi harga barang-barang akan naik, akibat depresiasi rupiah terhadap mata uang Paman Sam itu. Sejak turunnya Soeharto sudah tak terhitung lagi berapa kali kantong rakyat Indonesia harus disesuaikan dengan harga baru. Baik dengan kenaikan dolar terhadap rupiah, ataupun dengan sebab lain, seperti naiknya harga bahan bakar. Anehnya isi kantong masyarakat tidak pernah bertambah. Kalaupun bertambah biasanya lambat. Jika perlu harus demonstrasi dulu, seperti yang dilakukan guru-guru di Nganjuk dan berbagai daerah lainnya.
Nasib rupiah memang mirip nasib bangsanya, terpuruk. Padahal dengan kejadian runtuhnya gedung WTC di New York seharusnya dolar sudah turun. Keperluan memulihkan ekonomi dalam negeri membuat Alan Greenspan menurunkan tingkat sukubunga, yang berarti dolar harus turun terhadap mata uang lain. Tetapi rupanya masalahnya tidak sesederhana itu. Utang luar negeri Indonesia (bahasa sopannya " bantuan") sudah mencapai 150 milyar dolar, yang dengan asumsi kurs 1 dollar = Rp. 9.500,-, setiap penduduk Indonesia kebagian beban sebesar Rp. 7 juta. Perlu setahun penuh, tanpa makan dan minum, bagi seorang penarik beca yang berpenghasilan sepuluh ribu per hari, untuk membayarnya. Utang luar negeri ini harus dibayar tiap tahun dan jatuh tempo antara Oktober dan Desember. Maka jangan heran, menjelang akhir tahun, rupiah seperti kaleng kosong, ditendang kesana-sini dan menciptakan kebisingan diantara para pelaku pasar.
Lalu apakah jika dolar turun, misalnya jadi Rp. 2.000,-, persoalan akan selesai? Tidak juga. Struktur industri Indonesia sudah kadung banyak menggunakan komponen impor yang harus dibayar dengan dolar. Lagipula, dengan alasan sebentar lagi AFTA, para importir berlomba mendatangkan produk luar negeri. Kan lagi krisis? Banyak pihak yang justru balik bertanya, krisis untuk siapa? Untuk masyarakat kebanyakan mungkin jawabannya ya. Tapi tidak untuk segelintir orang tertentu. Buktinya pada waktu pameran mobil beberapa waktu silam sudah 30 mobil mewah sekelas Jaguar terjual habis!
Ada masalah lain yang diderita bangsa ini, yaitu penyakit cinta barang luar negeri. Apa saja yang datang dari luar negeri dianggap lebih bagus dari barang dalam negeri. Tidak ada upaya untuk mengurangi apalagi memproduksi barang sepertinya. Jangan harap bisa mengunggulinya. Kesimpulannya, dolar naik salah, turun juga repot. Meniru judul film, maju kena, mundur kena.
Harus solusi untuk keluar dari lingkaran ini. Beberapa pihak pernah mengusulkan agar rupiah diganti dengan dinar emas sesuai jaman Rasulullah dulu, atau mendasarinya dengan emas. Lagipula indeksasi terhadap logam mulia itu membuat rupiah akan perkasa terhadap mata uang
apapun, teermasuk dolar. Jangan lupa, selain Afrika Selatan dan Rusia Indonesia memiliki stok emas yang cukup besar, bahkan diluar yang dikeruk Freeport. Sebuah jamaah bernama Murabitun di Spanyol pimpinan Dr. Muhammad Rais Vadillo menjadi pelanggan pembuatan uang emas dari PT. Antam Indonesia. Itu dilakukan karena mereka berkeyakinan mata uang emas merupakan satu-satunya mata uang yang sah diantara mereka.
Tapi apabila hal itu diterapkan di Indonesia saat ini, dengan kondisi yang maju kena mundur kena, situasinya akan mirip jaman Merkantilisme, mazhab ekonomi sebelum Adam Smith. Inggris yang berada dibawah pengaruh mazhab ini berusaha mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya dari negara-negara tetangga dengan harga semurah-murahnya. Tapi akibatnya justru terbalik, malah emas yang ada di dalam negeri jadi lebih banyak keluar karena harus ditukar dengan barang-barang mewah. Teori ekonomi yang ditemukan kemudian membuktikan bahwa ketika barang kebutuhan pokok sudah terpenuhi, permintaan barang lebih baik kualitasnya akan meningkat.
Yang lebih prioritas saat ini adalah bagaimana memasang sikap ekonomi. Bagaimana mau mempertahankan mata uang, sementara penduduk domestik lebih bangga dengan produk luar negeri ketimbang produk negaranya sendiri? Bagaimana mungkin mata uangnya dihargai orang lain, sementara kualitas produknya sendiri inferior kalau tidak disebut asal jadi? Bagaimana masyarakat mau memakai produk snediri kalau pemimpinnya justru pamer barang luar negeri, dari kaus singlet sampai mobil mewah? Kita tidak perlu menghidupkan Umar bin Abdul Aziz untuk mendidik pola hidup sederhana dan percaya buatan sendiri. Wallahu A'lam.
Dimuat Tabloid Fikri, Oktober 2002
No comments:
Post a Comment