(Reolad tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Tidak bisa dipungkiri bahwa Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) sangat berpengaruh dalam pembentukan dan penyusunan produk-produk perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam perbandingan produk yang ada di BIMB dan Bank Muamalat, bank umum syariah pertama yang lahir pada tahun 1992. Maklum saja sumber daya manusia yang memahami perbankan syariah saat itu amat minim, disamping belum ada ketentuan yang dapat dijadikan dasar kecuali Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992.
Sejauh ini ada dua metode dalam penerapan produk syariah dalam perbankan. Pertama metode akomodatif, yaitu metode yang berasumsi bahwa produk perbankan konvensional memiliki dasar dalam prinsip syariah.
Konsekwensi dari metode ini adalah produk perbankan konvensional dicarikan dasarnya dalam akad-akad syariah. Apabila ada sifat akad syariah yang tidak bisa memenuhi unsur produk perbankan, maka sifat itu ditinggalkan, meskipun untuk sementara. Metode seperti ini banyak dipakai oleh Malaysia. Metode kedua adalah asimilatif yang berasumsi bahwa produk syariah harus menjadi dasar dari produk perbankan. Hal ini berarti bahwa produk perbankan hanyalah pelaksanaan administratif produk syariah. Jika produk perbakan tidak memenuhi unsur-unsur dari akad syariah, maka produk itu dimodifikasi agar sesuai dengan produk syariah.
Kedua metode ini memiliki kelebihan dan tantangannya sendiri. Metode akomodatif memungkinkan bank syariah untuk mengembangkan produknya secara intensif sesuai dengan perkembangan di dunia perbankan. Tidak heran bila pasar uang secara syariah sudah dapat ditemui pada perbankan yang memakai metode ini. Tetapi metode ini kemudian mendapat kritik secara luas karena cenderung kehilangan esensi syariahnya, dan membuat perbankan syariah tidak berbeda dengan perbankan konvensional, termasuk kondisi yang terbuka terhadap penyakit yang juga melanda perbankan konvensional. Metode asimilatif memungkinkan perbankan syariah terlihat berbeda jelas dari perbankan biasa.
Secara ideal, metode asimilatif menciptakan sistem perbankan yang merupakan alternatif terbaik sebagai pengganti dari perbankan konvensional. Akan tetapi metode ini juga tidak kurang kendalanya. Sistem legal merupakan sandungan terbesar baginya, selain SDM di perbankan syariah dan masyarakat yang belum siap menerima kondisi idealnya.
Untuk kasus Indonesia nampaknya metode yang digunakan adalah akomodatif, mengingat kecendrungan mengekor kepada BIMB. Kondisi seperti ini tidak berubah selama lima tahun kemudian. Karena Bank Muamalat merupakan bank umum syariah satu-satunya, maka ia menjadi rujukan bagi BPR-BPR yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah (BPR Syariah). Dapat difahami kemudian bila produk ini menjadi standar nasional perbankan syariah, termasuk bagi badan usaha bukan perbankan seperti Baitul Mal Wattamwil (BMT) dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Syariah.
Keraguan terhadap produk perbankan syariah di Indoensia mulai terasa sejak awal munculnya pada tahun 1992. Salah satunya adalah karena tingkat bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah sama dengan tingkat suku bunga di bank konvensional. Bagi masyarakat umum hal itu menjadi kebanggaan, karena ternyata bank syariah dapat bersaing dengan bank konvensional. Banyak yang tidak tahu apa yang terjadi dibalik itu. Bank syariah ternyata menggunakan prinsip tanazu'ul haq, yaitu suatu pihak dapat melepaskan haknya untuk diberikan kepada pihak lainnya. Ketika bank syariah memperoleh pendapatan kecil dari pembiayaan yang harus dibagikan kepada nasabah penyimpan, maka yang dilakukan bank syariah adalah nisbah untuk bank syariah diperkecil dan nisbah nasabah diperbesar. Hal ini dilakukan agar tingkat bagi hasil secara equivalent menyamai tingkat suku bunga di bank konvensional.
Contoh kedua adalah harga yang ditetapkan bank syariah dalam pembiayaan lebih tinggi ketimbang suku bunga kredit dalam bank konvensional. Banyak pihak mempertanyakan, mengapa pricing dalam perbankan syariah harus lebih mahal? Bagi yang mencoba mafhum akan keadaan ini akan beranggapan bahwa biaya (cost) infrastruktur bank syariah lebih tinggi dari bank konvensional. Padahal yang terjadi lebih dari itu. Ketika diteliti lebih lanjut, ternyata marjin keuntungan yang diambil dari nasabah didasarkanpada tingkat sukubunga pasar, dan diterapkan secara penuh. Alasan penerapan ini adalah karena dalam bank syariah, sekali akad Murabahah ditandatangani, harga tidak boleh berubah. Padahal faktor-faktor penentu harga seperti inflasi dan biaya lainnya sering berfluktuasi. Para marketer bank syariah sering berdalih bahwa harga Murabahah yang tinggi itu dapat berubah karena ada fasilitas muqashah, yaitu potongan/diskon apabila nasabah membayar cicilan dengan disiplin. Persoalannya, apakah dalam setiap transaksi harus diberikan muqashah? Jika demikian halnya, bank konvensional jauh lebih baik dalam pemberian diskon dan fasilitas lainnnya.
Contoh lainnya adalah ketika produk syariah seperti Murabahah yang diterapkan untuk pembiayaan modal kerja dan Bai Bithaman Ajil (BBA) untuk pembiayaan investasi. Pada pembiayaan Murabahah, nasabah diminta untuk membayar marjin keuntungan yang disepakati, sementara pokoknya dibayar di akhir. Dalam pembiayaan BBA nasabah diminta untuk membayar cicilan yang terdiri dari pokok dan marjin. Pada prakteknya nasabah pembiayaan Murabahah merasa berat apabila harus membayar seluruh pokoknya ketika jatuh tempo dan karenanya sepakat untuk memasukkan pembayaran pokok pada setiap cicilan. Hal yang sama terjadi pada pembiayaan BBA, yaitu para nasabah ada yang merasa kesulitan membayar pokok dan marjin sekaligus dalam satu cicilan. Karena itu mereka minta agar dapat membayar cicilan marjinnya saja, sedangkan pokoknya dibayar di akhir. Dalam situasi seperti ini sudah tidak bisa lagi dibedakan antara Murabahah dan BBA.
Kritik lainnya adalah penggunaan Murabahah sebagai pembiayaan modal kerja. Murabahah yang secara syariah adalah jual beli yang sifatnya satu kali (one shot deal), dalam perbankan menjadi modal yang dapat digunakan berkali-kali (revolving). Murabahah yang seharusnya menjadikan nasabah sebagai pembeli dan bank bertindak menjadi penjual (setelah membeli dari pemasok-supplier), dalam prakteknya bank mewakilkan kepada nasabah untuk membelinya sendiri dari supplier, dan bank mengambil keuntungan darinya. Perwakilan seperti ini menurut ulama hukumnya batal dan Murabahahnya tidak syah. Kritik terhadap Murabahah sebagai pembiayaan revolving dan dengan perwakilan rupanya telah mendunia, dan ulama menganggapnya sebagai helah (akal-akalan) dunia perbankan terhadap produk syariah. (AASIFI 1997; Frank Vogel, 1999; Abdullah Saeed, 1998)
Gayungpun bersambut. Pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan lokakarya interen untuk memperluas produk pelayanan kepada masyarakat. Semua kemungkinan produk syariah dijajaki dan dicoba diaplikasikan dalam produk perbankan, mulai dari jual beli, bagi hasil dan sewa-menyewa, sampai ke produk jasa seperti pinjaman (Qardh), anjak piutang (Hiwalah) dan gadai (Rahn). Produk yang ada di Bank Islam Malaysia Berhad hanya dijadikan salah satu rujukan, bukan satu-satunya. Perbankan syariah ala Bahrain dan Sudan mulai dilirik, karena terasa lebih konsisten dengan syariah. Ini artinya, metode pengembangan produk sudah bergerak ke arah asimilatif, dengan menjadikan produk syariah sebagai acuan. Namun lagi-lagi ada kendala yang besar menghadang: krisis ekonomi akut mulai tahun 1998.
Banyak yang tidak menyadari perubahan besar-besaran dalam produk ini. Baru setelah pengaturan BPRS dimasukkan dalam kordinasi Biro Perbankan Syariah di Bank Indonesia banyak orang tercengang-cengang. Apa yang dilakukan selama ini terlalu banyak deviasinya dari produk syariah. Begitu lama metode akomodatif mencengkeram dunia perbankan syariah di Indonesia sehingga perbankan syariah kehilangan inovasi dan jatidirinya, serta jauh dari ajaran syariah itu sendiri. Bank Indonesia nampaknya menginginkan perbankan syariah konsisten dengan syariah. Karena itu diadakan pelatihan perbankan syariah yang murni. Mensyariahkan bank syariah kata orang. Sejauh mana metode asimilatif ini akan berhasil ditengah paradigma para bankir syariah yang masih belum berubah? Jika dilihat dari animo masyarakat yang ingin bank syariah berbeda dari bank konvensional, nampaknya metode asimilatif tengah mendapat momentum. Kita tunggu saja.
Dimuat dalam Tabloid Fikri, Oktober 2002
Cecep Maskanul Hakim
Tidak bisa dipungkiri bahwa Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) sangat berpengaruh dalam pembentukan dan penyusunan produk-produk perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam perbandingan produk yang ada di BIMB dan Bank Muamalat, bank umum syariah pertama yang lahir pada tahun 1992. Maklum saja sumber daya manusia yang memahami perbankan syariah saat itu amat minim, disamping belum ada ketentuan yang dapat dijadikan dasar kecuali Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992.
Sejauh ini ada dua metode dalam penerapan produk syariah dalam perbankan. Pertama metode akomodatif, yaitu metode yang berasumsi bahwa produk perbankan konvensional memiliki dasar dalam prinsip syariah.
Konsekwensi dari metode ini adalah produk perbankan konvensional dicarikan dasarnya dalam akad-akad syariah. Apabila ada sifat akad syariah yang tidak bisa memenuhi unsur produk perbankan, maka sifat itu ditinggalkan, meskipun untuk sementara. Metode seperti ini banyak dipakai oleh Malaysia. Metode kedua adalah asimilatif yang berasumsi bahwa produk syariah harus menjadi dasar dari produk perbankan. Hal ini berarti bahwa produk perbankan hanyalah pelaksanaan administratif produk syariah. Jika produk perbakan tidak memenuhi unsur-unsur dari akad syariah, maka produk itu dimodifikasi agar sesuai dengan produk syariah.
Kedua metode ini memiliki kelebihan dan tantangannya sendiri. Metode akomodatif memungkinkan bank syariah untuk mengembangkan produknya secara intensif sesuai dengan perkembangan di dunia perbankan. Tidak heran bila pasar uang secara syariah sudah dapat ditemui pada perbankan yang memakai metode ini. Tetapi metode ini kemudian mendapat kritik secara luas karena cenderung kehilangan esensi syariahnya, dan membuat perbankan syariah tidak berbeda dengan perbankan konvensional, termasuk kondisi yang terbuka terhadap penyakit yang juga melanda perbankan konvensional. Metode asimilatif memungkinkan perbankan syariah terlihat berbeda jelas dari perbankan biasa.
Secara ideal, metode asimilatif menciptakan sistem perbankan yang merupakan alternatif terbaik sebagai pengganti dari perbankan konvensional. Akan tetapi metode ini juga tidak kurang kendalanya. Sistem legal merupakan sandungan terbesar baginya, selain SDM di perbankan syariah dan masyarakat yang belum siap menerima kondisi idealnya.
Untuk kasus Indonesia nampaknya metode yang digunakan adalah akomodatif, mengingat kecendrungan mengekor kepada BIMB. Kondisi seperti ini tidak berubah selama lima tahun kemudian. Karena Bank Muamalat merupakan bank umum syariah satu-satunya, maka ia menjadi rujukan bagi BPR-BPR yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah (BPR Syariah). Dapat difahami kemudian bila produk ini menjadi standar nasional perbankan syariah, termasuk bagi badan usaha bukan perbankan seperti Baitul Mal Wattamwil (BMT) dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Syariah.
Keraguan terhadap produk perbankan syariah di Indoensia mulai terasa sejak awal munculnya pada tahun 1992. Salah satunya adalah karena tingkat bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah sama dengan tingkat suku bunga di bank konvensional. Bagi masyarakat umum hal itu menjadi kebanggaan, karena ternyata bank syariah dapat bersaing dengan bank konvensional. Banyak yang tidak tahu apa yang terjadi dibalik itu. Bank syariah ternyata menggunakan prinsip tanazu'ul haq, yaitu suatu pihak dapat melepaskan haknya untuk diberikan kepada pihak lainnya. Ketika bank syariah memperoleh pendapatan kecil dari pembiayaan yang harus dibagikan kepada nasabah penyimpan, maka yang dilakukan bank syariah adalah nisbah untuk bank syariah diperkecil dan nisbah nasabah diperbesar. Hal ini dilakukan agar tingkat bagi hasil secara equivalent menyamai tingkat suku bunga di bank konvensional.
Contoh kedua adalah harga yang ditetapkan bank syariah dalam pembiayaan lebih tinggi ketimbang suku bunga kredit dalam bank konvensional. Banyak pihak mempertanyakan, mengapa pricing dalam perbankan syariah harus lebih mahal? Bagi yang mencoba mafhum akan keadaan ini akan beranggapan bahwa biaya (cost) infrastruktur bank syariah lebih tinggi dari bank konvensional. Padahal yang terjadi lebih dari itu. Ketika diteliti lebih lanjut, ternyata marjin keuntungan yang diambil dari nasabah didasarkanpada tingkat sukubunga pasar, dan diterapkan secara penuh. Alasan penerapan ini adalah karena dalam bank syariah, sekali akad Murabahah ditandatangani, harga tidak boleh berubah. Padahal faktor-faktor penentu harga seperti inflasi dan biaya lainnya sering berfluktuasi. Para marketer bank syariah sering berdalih bahwa harga Murabahah yang tinggi itu dapat berubah karena ada fasilitas muqashah, yaitu potongan/diskon apabila nasabah membayar cicilan dengan disiplin. Persoalannya, apakah dalam setiap transaksi harus diberikan muqashah? Jika demikian halnya, bank konvensional jauh lebih baik dalam pemberian diskon dan fasilitas lainnnya.
Contoh lainnya adalah ketika produk syariah seperti Murabahah yang diterapkan untuk pembiayaan modal kerja dan Bai Bithaman Ajil (BBA) untuk pembiayaan investasi. Pada pembiayaan Murabahah, nasabah diminta untuk membayar marjin keuntungan yang disepakati, sementara pokoknya dibayar di akhir. Dalam pembiayaan BBA nasabah diminta untuk membayar cicilan yang terdiri dari pokok dan marjin. Pada prakteknya nasabah pembiayaan Murabahah merasa berat apabila harus membayar seluruh pokoknya ketika jatuh tempo dan karenanya sepakat untuk memasukkan pembayaran pokok pada setiap cicilan. Hal yang sama terjadi pada pembiayaan BBA, yaitu para nasabah ada yang merasa kesulitan membayar pokok dan marjin sekaligus dalam satu cicilan. Karena itu mereka minta agar dapat membayar cicilan marjinnya saja, sedangkan pokoknya dibayar di akhir. Dalam situasi seperti ini sudah tidak bisa lagi dibedakan antara Murabahah dan BBA.
Kritik lainnya adalah penggunaan Murabahah sebagai pembiayaan modal kerja. Murabahah yang secara syariah adalah jual beli yang sifatnya satu kali (one shot deal), dalam perbankan menjadi modal yang dapat digunakan berkali-kali (revolving). Murabahah yang seharusnya menjadikan nasabah sebagai pembeli dan bank bertindak menjadi penjual (setelah membeli dari pemasok-supplier), dalam prakteknya bank mewakilkan kepada nasabah untuk membelinya sendiri dari supplier, dan bank mengambil keuntungan darinya. Perwakilan seperti ini menurut ulama hukumnya batal dan Murabahahnya tidak syah. Kritik terhadap Murabahah sebagai pembiayaan revolving dan dengan perwakilan rupanya telah mendunia, dan ulama menganggapnya sebagai helah (akal-akalan) dunia perbankan terhadap produk syariah. (AASIFI 1997; Frank Vogel, 1999; Abdullah Saeed, 1998)
Gayungpun bersambut. Pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan lokakarya interen untuk memperluas produk pelayanan kepada masyarakat. Semua kemungkinan produk syariah dijajaki dan dicoba diaplikasikan dalam produk perbankan, mulai dari jual beli, bagi hasil dan sewa-menyewa, sampai ke produk jasa seperti pinjaman (Qardh), anjak piutang (Hiwalah) dan gadai (Rahn). Produk yang ada di Bank Islam Malaysia Berhad hanya dijadikan salah satu rujukan, bukan satu-satunya. Perbankan syariah ala Bahrain dan Sudan mulai dilirik, karena terasa lebih konsisten dengan syariah. Ini artinya, metode pengembangan produk sudah bergerak ke arah asimilatif, dengan menjadikan produk syariah sebagai acuan. Namun lagi-lagi ada kendala yang besar menghadang: krisis ekonomi akut mulai tahun 1998.
Banyak yang tidak menyadari perubahan besar-besaran dalam produk ini. Baru setelah pengaturan BPRS dimasukkan dalam kordinasi Biro Perbankan Syariah di Bank Indonesia banyak orang tercengang-cengang. Apa yang dilakukan selama ini terlalu banyak deviasinya dari produk syariah. Begitu lama metode akomodatif mencengkeram dunia perbankan syariah di Indonesia sehingga perbankan syariah kehilangan inovasi dan jatidirinya, serta jauh dari ajaran syariah itu sendiri. Bank Indonesia nampaknya menginginkan perbankan syariah konsisten dengan syariah. Karena itu diadakan pelatihan perbankan syariah yang murni. Mensyariahkan bank syariah kata orang. Sejauh mana metode asimilatif ini akan berhasil ditengah paradigma para bankir syariah yang masih belum berubah? Jika dilihat dari animo masyarakat yang ingin bank syariah berbeda dari bank konvensional, nampaknya metode asimilatif tengah mendapat momentum. Kita tunggu saja.
Dimuat dalam Tabloid Fikri, Oktober 2002
No comments:
Post a Comment