Tuesday, February 17, 2009

Forward trading: Judi Berjangka?

(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim

Dalam setiap pelatihan perbankan syariah, seringkali ada pertanyaan tentang hukum investasi di bursa berjangka, yang saat ini merupakan reinkarnasi dari bursa komoditi. Mereka menanyakan hal ini tentu dengan maksud baik. Barangkali saja bursa berjangka ini bisa dijadikan salah satu instrumen investasi dari bank syariah yang sekarang ini dikenal miskin instrumen (dan miskin inisiatif?). Maklumlah, penyaluran pembiayaan masih sulit dilakukan aklibat tingginya resiko primer. Di Indonesia bursa komoditas pernah ditutup karena dikhawatirkan para pelakunya terjerumus pada judi terselubung. Sekarang dibuka kembali dengan alasan pasar menghendakinya. Persoalannya pasar yang mana?
Sudah lama para ulama mempersoalkan bursa ini, yang istilah kerennya futures atau forward market ini. Diantara persoalan fundamental yang dipertanyakan adalah atas dasar apa transaksi ini dilakukan? Jika seorang petani datang ke bursa dan menyatakan akan menjual kedelainya yang akan siap sekitar tiga bulan mendatang, bisakah dimasukkan dalam kategori Salam? Mungkin jawabannya terletak pada definisi. Perbedaan terbesar antara transaksi futures dengan transaksi Salam adalah bahwa dalam Salam pembayaran seluruhnya dilakukan dimuka, sedangkan dalam forward yang dibayar hanya uang muka, atau yang dikenal sebagai margin deposit. Hal ini diungkap untuk menjawab sementara pihak yang menyamakan futures dengan Salam.

Selain itu, dalam Salam seorang pembeli tidak bisa menjual lagi komoditas yang telah dipesannya, sebelum diserahkan oleh penjual (dalam bahasa fiqih= qabdh). Pembeli boleh saja menjual komoditas yang sama secara Salam, apabila tidak mengaitkan komoditas yang dijualnya dengan kontrak sebelumnya (bahasa fiqihnya: muallaq). Artinya apapun yang terjadi dengan komoditas yang telah ia pesan dalam kontrak sebelumnya, ia tetap bertanggung jawab untuk menyediakan komoditas selaku penjual. Apabila komoditas yang dijual adalah komoditas yang masih dalam pesanan sebelumnya, maka hal itu termasuk dalam kategori "satu barang dengan dua akad" yang dilarang oleh Rasulullah SAW. (bahasa hadistnya: bay'ataini fii bay'ah).

Dalam bursa berjangka, justru yang dilarang syariah itulah yang dilakukan. Seorang pembeli pertama kontrak futures hanya akan menyediakan 5% dari total kontrak. Lalu ia menjualnya dengan nilai 7% kepada pembeli kedua yang terus menjualnya senilai 10% kepada pembeli berikutnya. Begitu seterusnya sehingga pembeli terakhir akan membeli kontrak itu mendekati nilai 100% nya.Ketika si pembeli tidak ingin mendapatkan barang dalam kontrak (yang memang tidak akan pernah dikirimkan) ia menjual kembali kepada broker yang membelinya dengan harga lebih murah. Dalam istilah bursa si pembeli ini dipojokkan (cornered) untuk membeli sesuatu yang ia tidak inginkan dan menjual pada harga yang ia tidak harapkan. Padahal syarat lain dalam jual beli adalah para pihak yang berkontrak harus dalam keadaan bebas dalam meminta dan menawarkan, baik barang maupun harga.

Semua pembeli kontrak future secara asumtif mengaitkan apa yang dibelinya dengan apa yang dibeli pertama. Oleh karena itu semua pembelian kontrak future adalah kontrak yang berkait (muallaq), yaitu kategori yang tidak diperkenankan dalam syariah. Kelemahan kedua (ini yang mengerikan), para penjual kontrak future menjual sesuatu yang belum diserahkan kepadanya (qabdh). Bahkan ada yang menganggapnya sebagai menjual sesuatu yang belum dimiliki, yang dalam fiqih disebut bai fudhuly. Padahal salah satu syarat sahnya jual beli adalah barangnya bisa dibawa atau tersedia pada waktu beraka,d kecuali Salam. Repotnya, kalau mau pakai transaksi Salam, uangnya mesti dibayar semua di awal, sesuatu yang tidak lazim (kalau bukan aneh) dalam transaksi futures.

Dalam Salam, seorang pembeli berhak meminta jaminan atas pembayaran yang dilakukan. Hal ini wajar mengingat uang yang dipakai dalam tempo tertentu bisa menimbulkan resiko macam-macam. Dalam forward hal semacam itu tidak ada. Pembeli kontrak forward hanya mendapatkan selembar kertas yang berisi kontrak senilai tertentu dan jatuh tempo pada waktu
tertentu. Tidak ada jaminan yang didapatkan kecuali jika ia kembali kepada pialang dan sang pialang mau menjaminnya dengan resiko rugi yang tak sebanding dengan premi yang didapatnya. Dalam kondisi seperti ini jual beli tidak lagi saling menguntungkan, tapi satu untung dan lainnya rugi. Dalam bahasa ekonominya zero-sum game. Jangan heran kalau ulama kemudian mencap bursa ini sebagai judi semata.

Masih ada lagi yang bikin ulama mengerutkan kening. Rata-rata para pemain di bursa berjangka tidak pernah merealisasikan pembeliannya meskipun sudah jatuh tempo. Misalnya seseorang membeli kontrak kacang kedelai yang sudah berjalan dan akan jatuh tempo 3 hari lagi. Karena tidak mendapatkan pembeli lagi akhirnya kontrak itu jatuh tempo di tangannya. Apa yang ia lakukan, menerima pengiriman kedelai sekian ribu ton? Untuk apa? Para pemain itu tidak akan pernah menerimanya karena jual beli kontrak futures itu memang tidak dimaksudkan untuk beli kedelai beneran. Tapi sekedar mencari keuntungan dari fluktuasi harga (arbitrage) akibat perubahan berbagai faktor, misalnya politik, sosial dan ekonomi. Lalu kepada siapa kedelai itu dikirim? Yang saya khawatir justru kedelai itu tidak pernah ada yang benar-benar ditawarkan di bursa, karena memang sudah ada pembelinya. Yang ada hanya catatan tentang produksi kedelai dan akan dilepas ke pasar. Lalu bursa menangkapnya sebagai kesempatan untuk melemparnya pada papan bursa dan membiarkannya harganya turun naik, layaknya harga saham.

Sejatinya bursa komoditas atau bursa berjangka merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan petani untuk menjadi indikasi harga komoditas yang dihasilkannya. Dengan demikian tidak ada peluang bagi para spekulan untuk memainkan harga yang ujung-ujungnya merugikan petani. Tapi penyimpangan (deviasi) di sektor birokrasi berupa pungutan dan retribusi yang tidak perlu telah menambah biaya jual semua komoditi di pasar riil, sehingga harganya jadi lebih mahal. Tanya saja kepada ibu-ibu yang belanja di pasar, pasti mereka bilang bahwa harga di radio dan koran tidak bisa dipercaya. Demikian pula pedagang beras dan sayur mayur, ketika dikritik bahwa harga yang ditawarkannya lebih tinggi dari harga di koran, para pedagang itu bilang "beli aja di koran!"

Selain itu pergerakan harga di lantai bursa tidak selalu mencerminkan dinamika di sektor riil. Lihat saja pergerakan di bursa saham, apakah bisa dipercaya sebagai lukisan dari ekonomi nasional? Sebagai salah satu indikator, mungkin orang bisa mengerti. Tapi menjadikan indikator harga di bursa berjangka sebagai patokan untuk memperkirakan harga komoditas untuk 6 bulan atau 1 tahun mendatang, bisa dibilang sengaja cari repot. Apa yang terjadi di lantai bursa sekarang lebih merupakan spekulasi terhadap apa yang terjadi beberapa waktu kemudian. Jika harga naik, aset segera dilepas dan jika harga turun segera dibeli. Tidak perduli apa yang terjadi di sektor riil. Dana yang diinvestasikan untuk jual beli kontrak berjangka seperti ini tak ada bedanya seperti dana di pasar modal, terutama di secondary market, tidak pernah turun ke pasar beneran. Semua seperti berputar di awan, berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ia bertambah jumlahnya, terkadang dari para trader yang rugi besar-besaran, dan berkurang karena disimpan di deposito.

Kalau begini wajah pasar komoditi kita, kapan ekonomi kita akan bangkit?

Wallahu a'lam

Tabloid Fikri, Nopember 2001

No comments:

Post a Comment