(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Telah lama para bankir di perbankan syariah mengeluhkan asumsi bahwa dalam bank syariah nasabah (pembiayaan) tidak boleh diberikan sangsi apabila terlambat membayar, atau malah menunggak. Asumsi itu muncul karena sangsi yang bersifat tambahan pembayaran dikhawatirkan menjadi riba, sesuatu yang menjadi tonggak larangan bagi perbankan syariah. Padahal dengan tidak adanya denda, para nasabah di Indonesia yang notabene biasanya mendapatkan kredit juga dari bank konvensional, cenderung mendahulukan pembayaran kepada bank konvensional yang secara otomatis mengenakan bunga atas keterlambatan membayar. Dengan kata lain, seringkali pembayaran kepada bank syariah dikebelakangkan, bahkan kalau perlu mengemplang. Akibatnya dapat diduga, bank syariah mengalami penurunan pendapatan yang signifikan. Padahal pendapatan dalam bank syariah berbanding lurus dengan keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah.
Dalam pembahasan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) untuk Perbankan Syariah keluhan ini seakan telah menemukan jawabannya, meskipun masalah sangsi muncul menjadi perdebatan hangat. Referensi yang digunakan tim perumus, standar akuntansi terbitan AAOIFI memberikan pilihan-pilihan yang, meskipun tidak menguntungkan bank, tapi jelas-jelas membolehkan sangsi. Masalahnya bagi akuntansi adalah kalau boleh dikenakan sangsi berupa uang, uang itu menjadi milik siapa, bank atau diberikan kepada dana sosial? Perlu dicatat bahwa hasil lokakarya pengembangan produk pembiayaan yang dilakukan Bank Muamalat pada tahun 1997 mewanti-wanti isitilah wan prestasi dalam terminologi perjanjian di Indonesia.
Dalam bank syariah ada dua faktor yang menyebabkan wan prestasi, yaitu faktor diluar kekuasaan nasabah (force majeur) dan kesengajaan (moral hazard). Yang dibolehkan bagi bank untuk mengenakan sangsi adalah wan prestasi karena faktor kedua. Itupun dilakukan sekedar untuk memberi pelajaran agar nasabah lebih menghormati bank syariah. Untuk nasabah yang wan prestasi karena faktor diluar kekuasaannya, berlaku hukum yang ditarik dari AlQur'an surah Albaqarah ayat 280 tentang perintah memberi tangguh bagi orang-orang yang tidak mampu membayar karena terkena kesusahan. Ketika diajukan kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) masalah ini disepakati untuk dijadikan fatwa. Para ulama menggunakan hadist riwayat Imam Bukhari, Muslim dan lainnya yang menyatakan bahwa "orang mampu yang menunda pembayaran (dengan sengaja) adalah zalim." Hadist ini memperkuat hadist lain yang diriwayatkan Imam Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad yang menambahkan "dibolehkan menghukumnya." Itu sebabnya mengapa DSN mendukung adanya sangsi bagi nasabah yang mampu tapi sengaja memperlambat pembayaran atau malah menunggak. Sangsi ini didasarkan atas prinsip ta'zir, yaitu memberikan pelajaran kepada nasabah tersebut. Tapi DSN tidak setuju jika sangsi yang bersifat finansial ini menjadi milik bank, melainkan diberikan untuk kesejahteraan sosial. Lalu, apakah masalahnya selesai sampai disitu?
Ibarat bandul jam dinding yang bergerak ke arah sebaliknya, kini bank-bank syariah seperti merasa berada di atas angin. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak pihak melihat bank syariah sudah kelewatan. Hal itu terjadi karena pengenaan sangsi yang melewati batas, tanpa melihat lagi illat (sebab) pengenaan sangsi tersebut. Misalnya ada bank syariah yang mengenakan sangsi hanya karena nasabahnya terlambat membayar satu hari dari yang seharusnya, padahal alasannya dapat diterima yaitu jarak antara nasabah dengan bank menyebabkan nasabah mendapati jam operasi bank itu tutup ketika ia tiba disana. Ada juga bank syariah yang menyamarkan sangsi dengan biaya administrasi yang jumlahnya sama dengan biaya cicilan ditambah dengan tingkat sukubunga di pasar uang. Gawatnya lagi, sangsi itu tidak masuk ke dana sosial sebagaimana yang diharuskan oleh fatwa DSN, tetapi dimasukkan sebagai pendapatan lain-lain atau nama samaran lainnya. Yang penting bisa mendongkrak pendapatan bank. Hal ini menjadikan anggapan orang semakin kuat; bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Kalau sudah begini, apakah DSN harus menarik kembali fatwanya? Saya melihat DSN sudah melaksanakan fungsinya dengan baik. Tinggal kini pengawasan terhadap kesyariahan bank itu yang harus diperkuat, sehingga tidak terjadi kezaliman, baik dari sisi nasabah maupun pihak bank.
Wallahu A'lam.
Dimuat di Tabloid Fikri, Maret 2002
Cecep Maskanul Hakim
Telah lama para bankir di perbankan syariah mengeluhkan asumsi bahwa dalam bank syariah nasabah (pembiayaan) tidak boleh diberikan sangsi apabila terlambat membayar, atau malah menunggak. Asumsi itu muncul karena sangsi yang bersifat tambahan pembayaran dikhawatirkan menjadi riba, sesuatu yang menjadi tonggak larangan bagi perbankan syariah. Padahal dengan tidak adanya denda, para nasabah di Indonesia yang notabene biasanya mendapatkan kredit juga dari bank konvensional, cenderung mendahulukan pembayaran kepada bank konvensional yang secara otomatis mengenakan bunga atas keterlambatan membayar. Dengan kata lain, seringkali pembayaran kepada bank syariah dikebelakangkan, bahkan kalau perlu mengemplang. Akibatnya dapat diduga, bank syariah mengalami penurunan pendapatan yang signifikan. Padahal pendapatan dalam bank syariah berbanding lurus dengan keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah.
Dalam pembahasan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) untuk Perbankan Syariah keluhan ini seakan telah menemukan jawabannya, meskipun masalah sangsi muncul menjadi perdebatan hangat. Referensi yang digunakan tim perumus, standar akuntansi terbitan AAOIFI memberikan pilihan-pilihan yang, meskipun tidak menguntungkan bank, tapi jelas-jelas membolehkan sangsi. Masalahnya bagi akuntansi adalah kalau boleh dikenakan sangsi berupa uang, uang itu menjadi milik siapa, bank atau diberikan kepada dana sosial? Perlu dicatat bahwa hasil lokakarya pengembangan produk pembiayaan yang dilakukan Bank Muamalat pada tahun 1997 mewanti-wanti isitilah wan prestasi dalam terminologi perjanjian di Indonesia.
Dalam bank syariah ada dua faktor yang menyebabkan wan prestasi, yaitu faktor diluar kekuasaan nasabah (force majeur) dan kesengajaan (moral hazard). Yang dibolehkan bagi bank untuk mengenakan sangsi adalah wan prestasi karena faktor kedua. Itupun dilakukan sekedar untuk memberi pelajaran agar nasabah lebih menghormati bank syariah. Untuk nasabah yang wan prestasi karena faktor diluar kekuasaannya, berlaku hukum yang ditarik dari AlQur'an surah Albaqarah ayat 280 tentang perintah memberi tangguh bagi orang-orang yang tidak mampu membayar karena terkena kesusahan. Ketika diajukan kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) masalah ini disepakati untuk dijadikan fatwa. Para ulama menggunakan hadist riwayat Imam Bukhari, Muslim dan lainnya yang menyatakan bahwa "orang mampu yang menunda pembayaran (dengan sengaja) adalah zalim." Hadist ini memperkuat hadist lain yang diriwayatkan Imam Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad yang menambahkan "dibolehkan menghukumnya." Itu sebabnya mengapa DSN mendukung adanya sangsi bagi nasabah yang mampu tapi sengaja memperlambat pembayaran atau malah menunggak. Sangsi ini didasarkan atas prinsip ta'zir, yaitu memberikan pelajaran kepada nasabah tersebut. Tapi DSN tidak setuju jika sangsi yang bersifat finansial ini menjadi milik bank, melainkan diberikan untuk kesejahteraan sosial. Lalu, apakah masalahnya selesai sampai disitu?
Ibarat bandul jam dinding yang bergerak ke arah sebaliknya, kini bank-bank syariah seperti merasa berada di atas angin. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak pihak melihat bank syariah sudah kelewatan. Hal itu terjadi karena pengenaan sangsi yang melewati batas, tanpa melihat lagi illat (sebab) pengenaan sangsi tersebut. Misalnya ada bank syariah yang mengenakan sangsi hanya karena nasabahnya terlambat membayar satu hari dari yang seharusnya, padahal alasannya dapat diterima yaitu jarak antara nasabah dengan bank menyebabkan nasabah mendapati jam operasi bank itu tutup ketika ia tiba disana. Ada juga bank syariah yang menyamarkan sangsi dengan biaya administrasi yang jumlahnya sama dengan biaya cicilan ditambah dengan tingkat sukubunga di pasar uang. Gawatnya lagi, sangsi itu tidak masuk ke dana sosial sebagaimana yang diharuskan oleh fatwa DSN, tetapi dimasukkan sebagai pendapatan lain-lain atau nama samaran lainnya. Yang penting bisa mendongkrak pendapatan bank. Hal ini menjadikan anggapan orang semakin kuat; bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Kalau sudah begini, apakah DSN harus menarik kembali fatwanya? Saya melihat DSN sudah melaksanakan fungsinya dengan baik. Tinggal kini pengawasan terhadap kesyariahan bank itu yang harus diperkuat, sehingga tidak terjadi kezaliman, baik dari sisi nasabah maupun pihak bank.
Wallahu A'lam.
Dimuat di Tabloid Fikri, Maret 2002
No comments:
Post a Comment