Cecep Maskanul Hakim
I. Pendahuluan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undangundang ini perbankan syariah diberikan perlakuan yang sama equal treatment dengan perbankan konvensional. Padahal jika dilihat jumlahnya, ketika undang-undang itu disahkan, baru ada satu bank syariah –Bank Muamalat- dan sekitar 70 BPR Syariah.(1)
Disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 telah membuka kesempatan lebih luas bagi bank syariah untuk berkembang. Undang-undang ini bahkan tidak saja menyebut bank syariah secara berdampingan dengan bank konvensional dalam pasal demi pasal, tetapi juga menyatakan secara rinci prinsip produk perbankan syariah, seperti Murabahah, Salam, Istisna, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah; padahal dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, nama syariah pun sama sekali tidak disebut.
Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebenarnya telah cukup memberikan keleluasaan bagi bank syariah untuk mengembangkan sendiri produknya, sebab undang-undang itu hanya mengikat sistem perbankan konvensional. Hal itu dapat dilihat, baik dari sisi teoritis maupun praktis, perbankan syariah telah mendapat tempat khusus. Sebagai contoh dalam perpajakan ada ketentuan yang tidak mengenakan pajak jual-beli atas penjualan oleh sebuah bank syariah, sepanjang penjualan itu merupakan bisnis murni bank syariah, karena memang prinsip operasinya mengharuskan seperti itu. Oleh karena itu secara teoritis semestinya produk bank syariah telah berkembang karena Bank Muamalat telah didirikan sejak tahun 1992. Tetapi mengapa hanya Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil saja yang terus-menerus dipergunakan, seperti tidak ada produk lain yang bisa dikembangkan?
Nampaknya karena kritik tersebut, pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan workshop intern untuk mengembangkan sendiri produknya, dan tidak lagi “mengekor”kepada produk-produk Bank Islam Malaysia Berhad. Para narasumber didatangkan dan berbagai sumber digali, baik dalam bidang fiqih, ekonomi, perbankan maupun akuntansi.
Semua kemungkinan dijajaki dan diuji, paling tidak dalam tataran teori. Hasilnya lumayan mengejutkan. Dari lokakarya itu ditemukan bahwa selama ini apa yang diterapkan dalam produk-produk, baik liabilitas, aset maupun jasa ternyata telah mengambil jalan yang lumayan berbeda dari produk asli syariah. Manajemen kemudian bertekad untuk memperbaiki yang ada dan mengembangkan produk-produk syariah yang selama ini tidak “tersentuh.” Ternyata pengembangan produk syariah ke perbankan tidak semudah yang diduga. Perdebatan yang tadinya hanya berkisar tentang hal-hal kecil seperti penentuan harga terhadap nasabah, berkembang menjadi masalah berat seperti time value of money, economic cycle, posisi harta dalam Islam, peran hakim syariah, dan sebagainya. Selain itu sumber daya manusia juga bukan masalah kecil. Dengan beragam latar belakang pendidikan, pengalaman dan bidang kerja para karyawan, pengembangan produk tidak lagi menjadi tanggungjawab sebuah divisi, tetapi inter-divisi dan bahkan bank secara keseluruhan.
Tulisan ini berusaha mengungkap problematika yang dihadapi dalam mengembangkan produk pada bank Syariah. Sebagian besar bahan tulisan ini dirangkum dari pengalaman pribadi penulis yang pernah bekerja di Bank Muamalat sebagai staf yang membidangi pengembangan produk aset; sedangkan referensi yang dikutip merupakan tambahan yang kebetulan sesuai.
II. Pendekatan yang berbeda-beda.
Sebelum membahas problematika yang terjadi dalam pengembangan bank syariah, terlebih dahulu perlu dilihat pendekatan yang mempengaruhi pola pengembangan produk bank syariah. Pendekatan ini membentuk paradigma yang akhirnya memberi arah bagi perkembangan produk itu. Ketika pendekatan ini tidak satu dan berbeda, tetapi memerlukan suatu penetapan keputusan (decision making), maka yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan, seberapapun kecilnya. Misalnya, jika kemungkinan trade-off itu akan terjadi antara kepentingan nasabah dengan bank, maka secara intuitif kepentingan bank lebih dahulu dilindungi, mengingat yang membuat produk ini adalah orang bank itu sendiri.
1. Antara Akomodatif dan Asimilatif.
Pergumulan pendekatan yang sekarang masih berlanjut adalah antara metode “akomodatif” dengan “asimilatif.”(2) Metode akomodatif menekankan cara-cara pragmatis dalam pengembangan bank syariah. Metode ini berangkat dari asumsi bahwa saat ini tidak ada satupun situasi ideal bagi bank syariah untuk melaksanakan secara murni apa yang terdapat dalam syariah. Karena itu bank syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam segala operasionalnya, baik produknya maupun transaksinya.
Metode ini mengambil dasarnya dari kaidah usul Fiqih: “Segala sesuatu dalam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Akibatnya tidak mengherankan jika kemudian yang muncul ke permukaan adalah bank syariah yang produknya merupakan fotokopi produk konvensional dengan perubahan sedikit disana-sini. Misalnya, jika di bank konvensional ada “kredit modal kerja” maka di bank syariah ada “pembiayaan modal kerja” dengan spesifikasi yang nyaris tidak berbeda.
Jika terdapat bahwa produk Syariah tidak dapat mengakomodir produk perbankan, maka menurut metode ini produk syariah, harus “direvisi” atau disesuaikan kedalam produk perbankan. Maka tidak heran misalnya sampai saat ini banyak bank syariah tetap meminta jaminan dari nasabah ketika ia memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah.
Padahal hampir seluruh ulama sepakat bahwa apabila seseorang melakukan Mudharabah, pemilik modal/dana tidak boleh meminta jaminan dari pelaksana (mudharib).(3) Metode asimilatif berfikir sebaliknya. Bank syariah merupakan salah satu personifikasi atau invidividu abstrak(4) dari orang yang melakukan kontrak (akad) syariah-muamalah.
Disebut salah satu disini karena pelaksanaan akad syariah bukan hanya dapat dilaksanakan oleh bank, tetapi bisa juga oleh lembaga lain, seperti multifinance, asuransi, perusahaan sekuriti dan sebagainya. Konsekwensinya, semua produk bank syariah adalah penjelmaan dari produk syariah. Jika misalnya bank syariah melakukan Murabahah (jual beli yang keuntungannya disepakati oleh pembeli dan penjual) maka bank harus melakukan jual beli dalam arti yang sebenarnya. Artinya bank memang melakukan penjualan barang kepada nasabah dengan akte jual beli dan syarat-syarat sebagaimana lazimnya sebuah transaksi penjualan.
Jika kemudian produk bank tidak sesuai dengan syariah, maka suka atau tidak suka produk itu ditinggalkan. Sebab, berusaha untuk mencocok-cocokkannya dengan produk syariah akan membawa dampak kepada ketidakmurnian produk syariah. Padahal produk syariah sudah sedemikian lengkap dan baku. Metode asimilatif memandang bahwa bank adalah semata-mata alat penerapan dari produk syariah yang tidak memiliki hak kapabilitas merubah atau merivisi produk Syariah. Akan banyak kerancuan yang terjadi jika produk syariah direvisi menurut sifat yang ada dalam produk perbankan.
Jika yang terjadi produk syariah tidak diterapkan karena ketentuan dalam hukum positif tidak mengizinkan, maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama untuk sementara produk syariah disesuaikan dengan revisi seminimal mungkin. Kedua harus ada upaya jangka panjang untuk mengamandir hukum positif agar produk syariah dapat diakomodir didalamnya. Sebab, produk perbankan syariah, sebagai penjelmaan produk syariah, memilikikarakter unik yang berbeda dengan bank konvensional.
2. Antara Moneter dan Riil
Pendekatan yang juga mempengaruhi pengembangan produk bank syariah adalah ambivalensi bank syariah yang berada diantara sektor riil dan moneter. Disatu sisi, kata “bank” sendiri sudah menunjukkan bahwa lembaga ini memang bergerak di bidang finansial alias moneter. Adalah logis jika kemudian produk-produknya, termasuk dalam hal ini produk bank syariah, mengikuti perkembangan produk finansial. Disisi lain para penulis ekonomi Islam umumnya menggariskan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter merupakan bayangan atau cermin dari sektor riil. Jika sektor riilnya tidak ada maka bagaimana ada sektor moneter? Oleh karena itu penciptaan produk finansial yang terlepas dari produk riil akan mengakibatkan derivasi yang menyebabkan timbulnya bubble economics.
Ambivalensi seperti ini mengakibatkan pengembangan produk, terutama derivative, menjadi lambat jika tidak terhenti sama sekali. Ada dua kutub yang sama-sama dipelajari bank syariah di Indonesia dan masing-masing memiliki pengaruhnya, yaitu Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan bank-bank Islam Timur Tengah. BIMB, meskipun banyak dikritik karena sikap akomodatifnya terhadap produk derivatif, berhasil merekayasa banyak produk sektor perbankan dan keuangan Islam. Misalnya ada Pasar Uang Antar Bank Islam, Obligasi Islam, Islamic Futures, Islamic Option, Islamic Swap, Islamic Securitization dan sebagainya.(5) Sementara bank-bank di Timur Tengah, meskipun mengklaim sebagai pelaksana produk syariah secara konsisten, lambat mengembangkan pasar uangnya. Apatah lagi produk-produk derivatifnya.
III. Problem Dalam Pengembangan Produk
Paradigma yang harus dipegang dalam pengembangan produk adalah bahwa berbeda dengan yang ada dalam bank konvensional, yang memakai satu jenis transaksi yaitu pinjaman, dalam bank syariah produk-produk harus dikembangkan mengikuti karakter dan sifat produk syariah yang berbeda satu sama lain. Resiko dan jangka waktu merupakan faktor kedua sesudah karakter dan sifat itu diletakkan. Misalnya, karakter produk Murabahah adalah jual beli barang. Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Bank boleh meminta jaminan tambahan selain barang yang dibeli. Ketika produk ini diterapkan pada pembiayaan konstruksi, tentu tidak tepat. Karena harus ada barang yang diperjual belikan, bukan proyek yang bentuknya tidak nyata. Jika dicocok-cocokkan dengan menjual beli bahan-bahan konstruksi seperti batu, pasir, semen dan lain-lain, bank akan mendapat kesulitan dalam perincian barang. Kalau memaksakan juga, ada sesuatu yang tidak bisa diperjual belikan, seperti tenaga kerja, dan untuk itu harus digunakan produk lain yaitu Ijarah (sewa). Kalau sudah begini artinya Murabahah tidak cocok untuk pembiayaan konstruksi. Ada yang lebih cocok, misalnya Istisna, yaitu produk Syariah lain untuk jual beli, dimana bank bertindak sebagai pembeli barang yang akan dibangun/ dibuat. Bank membayar secara bertahap kepada kontraktor dan setelah selesai bank menjualnya kepada bohir.
Jika paradigma ini tidak dipegang, maka kecendrungan bankir adalah membuat produk yang lebih dekat dengan produk konvensional. Alasannya sederhana, lebih mudah dihitung, lebih mudah dibandingkan dan jelas ukurannya. Tabel 1 memberikan perbandingan contoh produk syariah dan poduk keuangan dan perbankan.
1. Syariah versus Undang-undang dan Peraturan
Seperti yang disinggung sedikit dimuka, kendala yang dihadapi bank syariah dalam mengembangkan produknya diantaranya jika terjadi ketidakserasian antara aturan syariah dengan aturan yang berlaku dalam hukum positif. Memilih diantara kedua ekstrim itu memiliki konsekwensi masing-masing. Tabel 2 memberikan contoh kendala penerapan produk-produk syariah dalam produk perbankan karena perbedaan antara hukum syariah dan perbankan.
2. Diversifikasi Produk
Kemana arah pengembangan produk bank syariah? Pertanyaan ini sering ditanya mengingat berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992 diiringi sejumlah harapan dari masyarakat muslim yang kebanyakan kaum menengah kebawah. Dengan kata lain bank ini diharapkan untuk menjadi bank pembangunan. Padahal status bank ini adalah swasta yang tentunya berorientasi kepada komersial. Karena itu suka atau tidak suka produk bank syariah harus dikembangkan ke dua arah ini.
Tuntutan masyarakat agar ada bank syariah di daerahnya juga menjadi sumber diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang lebih mengedepankan budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk pembiayaan dengan jangka waktu lebih panjang karena tidak mungkin mereka dapat mengembalikan dana pembiayaan dalam jangka waktu satu-dua tahun, padahal hasil perkebunan baru dapat dinikmati setelah 5 tahun.(6) Ini berarti bahwa produk syariah harus diarahkan ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan menjadi instrumen pasar uang antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya menjaga likuiditas. Sedangkan di daerah perkotaan, orang lebih suka dengan jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan demikian kategori pengembangan produk harus ditambah dengan investasi dan retail.
Segmentasi jenis usaha merupakan faktor lain. Produk untuk perdagangan tentu berbeda dengan produk konsumtif. Produk untuk sektor modal produksi tentu berbeda dengan sektor distribusi. Begitu pula produk untuk pertambangan bisa berbeda dengan produk untuk konstruksi. Sebagai contoh, kekeliruan bank syariah selama ini terlihat ketikamenerapkan Murabahah, yang merupakan produk syariah untuk jual beli barang sekali jalan (one shot deal), pada sektor perdagangan. Akibatnya Murabahah menjadi revolving, karakter yang hanya dimiliki oleh Mudharabah dan Musyarakah.
Berbeda pula halnya jika kategori produk menurut resiko. Produk untuk pembangunan masyarakat menengah ke bawah secara relatif lebih beresiko ketimbang untuk masyarakat bisnis. Produk untuk peningkatan kesejahteraan seperti ini harus sederhana, mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit. Sulitnya adalah produk syariah apa yang cocok, karena bisa jadi segmennya bermacam-macam. Misalnya untuk pertanian (padi) produk Salam dapat digunakan. Tapi untuk asongan, kelontongan, kerajinan dan sebagainya harus juga dicarikan padanannya. Suka atau tidak, semua produk harus disimulasi untuk menghasilkanproduk yang tepat dalam kategori ini.
Tabel 1
Contoh Produk Syariah dan Keuangan
PRODUK SYARIAH
Jual Beli
1. Murabahah: Jual beli yang keuntungannya disepakati penjual dan pembeli
2. Musawamah: Jual beli yang keuntungannya hanya diketahui penjual
3. Tauliah: Jual beli yang tidak ada keuntungan bagi penjual. (komisi)
4. Muwadhaah: Jual beli yang harganya dibawah harga jual (diskon)
5. Mutlaq: Tukar menukar uang dengan barang
6. Muqayadhah: Tukar menukar barang dengan barang
7. Sarf: Tukar menukar uang dengan uang
8. Salam: Jual beli yang harga dibayar lebih dulu, barang diserahkan kemudian
9. Istisna: Jual beli yang harga dapat dicicil, barang dibuat dan diserahkan kemudian
10. Wafa: Jual beli yang diiringi syarat untuk dibeli kembali
11. Urbun: Jual beli yang jika tidak diteruskan uang muka jadi milik penjual
Bagi Untung/Bagi Hasil
1. Mudharabah: Perkongsian pemodal (sahibul mal) dan pengelola (mudharib), keuntungan dibagi menurut porsi yang disepakati sebelumnya sedangkan jika usaha rugi ditanggung pemodal.
2. Musyarakah: Perkongsian para pemodal, keuntungan dibagi menurut porsi yang disepakati sebelumnya, kerugian ditanggung bersama berdasarkan proporsi modal.
3. Muzaraah: Perkongsian pemilik tanah pertanian dan pengelola, pembagian hasil menurut porsi yang disepakati sebelumnya.
4. Musaqat: Perkongsian pemilik tanah perkebunan dan pengelola, pembagian menurut porsi yang disepakati sebelumnya.
PRODUK PERBANKAN
Simpanan
1. Giro
2. Tabungan
3. Deposito
Jasa
1. Transfer
2. Inkaso
3. ATM
Pembiayaan
1. Kredit Investasi
2. Kredit Modal Kerja
3. Kredit Konstruksi
Pembangunan
1. Kredit Usaha Kecil
2. Kredit Usaha Tani
3. Kredit untuk Koperasi
Konsumsi
1. Kredit pemilikan rumah
2. Kredit pemilikan kendaraan
Kredit Ekspor
1. Letter of Credit
2. Garansi Bank
Treasury
1. Spot
2. Forward
3. Swap
4. Option
Jasa
1. Ijarah: Sewa menyewa
2. Wadiah: Titipan
3. Wakalah: Perwakilan
4. Kafalah: Penjaminan
5. Hiwalah: Anjak Piutang
6. Ju’alah: Jasa khusus, sayembara
7. Qardh: Pinjaman
8. Rahn: Gadai
Menurut pengalaman, para praktisi bank syariah dalam berhubungan nasabah pembiayaan, produk itu dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah terjalin diantara keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung diberikan pembiayaan dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau Musyarakah. Tetapi diberikan produk jual beli, seperti Murabahah (atau Bai’ Bithaman Ajil menurut BIMB), Salam dan Istisna. Karena dalam produk ini bank dapat menerapkan semua prinsip perbankan murni, seperti hutang, kewajiban cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan tambahan dan sebagainya.
Tabel 2
Contoh Kendala penerapan produk Syariah dalam perbankan
1. Produk Syariah: Mudharabah Musyarakah
Hukum Syariah: Dana (modal) tidak boleh dijamin Dijamin (liabilitas, deposito/tabungan)
Hukum Positif/ Perbankan: Bank boleh meminta jaminan tergantung resiko (Asset) Bank harus menanggung semua kewajiban
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Tidak berbeda dengan bank konvensional
2. Produk Syariah: Murabahah
Hukum Syariah: Bank menjual kepada nasabah, Tidak boleh diwakilkan kepada nasabah yang mengajukan pembiayaan untuk membeli barang.
Hukum Positif/ Perbankan: Jika dilakukan jual beli harus ada akta jual beli. Harus ada bukti penerimaan uang oleh nasabah Bank akan terkena pajak pembelian.
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Tanda terima barang oleh nasabah tidak bisa dijadikan bukti.
3. Produk Syariah: Salam
Hukum Syariah: Setelah dibayar, petani berhutang gabah yang akan diantar kemudian.
Hukum Positif/ Perbankan: Petani berhutang uang, harus mengembalikan uang
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Resiko harga bagah yang fluktuatif akan merugikan bank
4. Produk Syariah: Istisna
Hukum Syariah: Setelah dibayar (sebagian), penjual (Nasabah) berhutang barang yang akan diantar kemudian.
Hukum Positif/ Perbankan: Penjual berhutang uang, harus mengembalikan uang
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Jika barang itu pesanan bohir, bank beresiko tidak dibayar bila terdapat cacat pada barang.
5. Produk Syariah: Ijarah Muntahia Bittamliik
Hukum Syariah: Syariah hanya mengenal Operating Lease.
Jika ada opsi beli, maka itu hanya mengikat bila diakadkan di akhir masa sewa (tidak boleh dua akad/kontrak dijadikan satu).
Hukum Positif/ Perbankan: Operating Lease adalah produk perusahaan jasa. Finance & Capital Lease adalah produk perusahaan keuangan. Opsi bersifat mengikat jika dimasukkan dalam perjanjian.
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Bank sulit mengeluarkan nasabah yang menyewa dari rumahnya. Merugikan salah satu pihak bila opsi tidak dilaksanakan.
Ketika melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah sudah dapat dilihat, bank kemudian menawarkan produk yang lebih beresiko, seperti Mudharabah. Pada produk ini bank tidak dapat lagi membebankan resiko pada nasabah, karena sepenuhnya ditanggung oleh bank. Kredibilitas, integritas dan accountibilitas nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan produk inipun nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya, yaitu Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah telah mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa kewajiban memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya diberikan untuk kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak bisa dilayani oleh produk lain dan kemungkinan besar tidak akan macet.
Kritik terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya mereka saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap sebelumnya, seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah, karena menyangkut pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan syariah akan melestarikan status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya strata masyarakat atas saja yang dapat menikmati fasilitas perbankan.
Para bankir syariah sering mengeluh bahwa bank syariah terlalu banyak mengembangkan produk pembiayaan dan tertinggal dalam produk interbank (institutional) dan treasury. Mereka berfikir bahwa produk interbank memiliki spesifikasi berbeda dengan produk pembiayaan. Padahal jika mereka kembali kepada dasar produk perbankan, yaitu produk syariah, produk interbank dan treasuri akan mereka disain dengan mudah. Inti produk syariah dalam hal ini adalah menjelaskan hubungan (muamalah) yang melibatkan harta dan menjelaskan hak dan kewajiban pihak-pihak yang melakukan transaksi. Tinggal dipertemukan antara transaksi interbank dengan produk syariah yang memiliki karakter yang sesuai. Misalnya jika bank melakukan transaksi dengan bank lainnya menggunakan pinjaman, maka produk yang bisa digunakan adalah Qardh dan tidak boleh ada imbalan yang diperjanjikan. Jika dari dana itu dituntut imbalan, transaksi itu harus menggunakan produk Mudharabah, yang memungkinkan adanya keuntungan yang didapat, disamping juga kemungkinan kerugian. Spesifikasi produk treasury dan institutional banking pada Mudharabah ini adalah porsi bagi-hasil/ bagi-untung yang memiliki dana lebih besar (misalnya 70:30) dari yang biasa disepakati untuk nasabah deposan (misalnya 60:40). Yang kedua biasanya mudharabah dan pinjaman dalam transaksi treasury berjangka waktu lebih pendek dari produk liabilitas lainnya.
3. Penentuan Harga (Pricing)
Hal yang paling banyak mengundang perdebatan adalah penentuan harga, terutama untuk produk pembiayaan. Hal ini disebabkan adanya faktor rujukan (benchmark) sebagai bahan perbandingan. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar dijalankan, para bankir tidak akan menghadapi kesulitan.
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Untuk produk jual beli seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya dalam perbankan konvensional, misalnya 12%. Tingkat keuntungan ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah. Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per annum. Dalam syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu akad.
Artinya jika bank dan nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 % per annum dari harga beli sebesar Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya tidak lagi sebesar harga beli + 24 %, tetapi harga beli + 30 %. Itu sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat, karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga dalam bank konvensional.
Issue keterpisahan pasar finansial dari pasar riil timbul lagi dalam pembahasan rujukan benchmark. Dalam suatu pembahasan produk, para dealer treasury mengajukan penetapan fatwa Dewan Pengawas Syariah atas transaksi forward. Ketika ditanya bagaimana menghitung harga beli valuta asing sesudah jangka waktu 30 hari, para dealer memberikan rumus sebagai berikut:
Nominal Valuta Asing x Nilai Tukar [ 1 + ( 30/360 x 15%)]
Para ulama terkejut ketika mengetahui bahwa 15% itu tingkat bunga pasar, dan mereka bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dijadikan dasar perhitungan. Apakah tidak ada alternatif lain? Celakanya masalah rujukan ini bukan saja masalah nasional, tetapi juga merupakan fenomena internasional. Saat ini kritik tajam dilontarkan kepada bank syariah karena menjadikan pasar uang sebagai rujukannya. Islamic Development Bank, misalnya, masih menggunakan London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR) sebagai rujukan cost of fund dari dana yang diberikan. Padahal rujukan itu tentunya didapat dari tingkat bunga.
Karena itu sebuah rujukan khusus bagi bank syariah masih dinantikan sebagai pengganti pasar uang antar bank. Pernah ada usulan agar tingkat harga bank syariah merujuk kepada tingkat harga di pasar riil dengan masing-masing sektornya. Misalnya tingkat keuntungan pada sektor konstruksi adalah 20%. Maka bank dapat mengenakan tingkat harga untuk jual beli konstruksi pada sekitar tingkat itu. Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih mendalam, karena akan timbul berbagai masalah, diantaranya kecemburuan antarsektoral.
Misalnya, bisa saja nasabah yang membeli barang konsumtif dengan cara Murabahah merasa dirugikan karena dikenakan tingkat harga lebih tinggi dari mereka yang membeli barang modal, juga dengan cara Murabahah, dengan tingkat harga yang lebih rendah.
Kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan produk jual beli dari produk bagi hasil membawa ekses pada penentuan tingkat harga ini. Tingkat keuntungan yang ditentukan untuk produk jual beli, akhirnya menjadi cost of fund untuk semua produk, termasuk produk bagi hasil. Celakanya, hal itu juga dihitung dengan metode per annum. Maka tidak heran jika ada Mudharabah dengan bagi hasil yang dibebankan kepada nasabah setara 20% per annum!
Artinya nasabah sebagai mudharib harus membayar bagi hasil kepada bank setara 20% pertahun! Jika nasabah mendapat keuntungan lebih dari itu, ia hanya membayar 20%nya, sedangkan jika ia rugi maka ia harus tetap membayar setara itu. Padahal Mudharabah adalah produk bagi hasil yang kondisi pendapatannya tidak fixed, tergantung situasi bisnis.
Kerancuan ini timbul karena bank menganggap cost of fund sebagai target yang wajib dipenuhi untuk mencapai tingkat keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah penyimpan, tanpa memilah produk syariah tertentu yang memiliki karakter seperti itu.
Jika demikian halnya, maka prinsip perbankan syariah hanya tersisa pada nama produk, karena pada dasarnya paradigma konvensional juga yang diterapkan. Itu terlihat pada proses yang dilakukan para bankir syariah dalam menetapkan asset liability management.
Mereka menentukan dulu berapa tingkat keuntungan yang harus diberikan kepada nasabah penyimpan (dengan rujukan tingkat bunga yang diberikan bank konvensional), lalu menetapkan tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan (dengan rujukan yang sama). Dengan kata lain, sebenarnya para bankir syariah selama ini menerapkan konsep biaya (cost concept). Padahal jika paradigma ini dirubah dengan konsep pendapatan (revenue concept) maka bank sebagai mudharib tidak memiliki kewajiban untuk memberikan keuntungan jika memang belum bisa memperolehnya. Artinya cost of fund bank adalah nol. Demikian pula jika bank sebagai penerima titipan untuk penerapan wadiah pada produk giro.(7) Karena itu bank syariah bebas menetapkan keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan, bahkan bisa lebih murah dari bank konvensional.
4. Sumber Daya Manusia
Masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang paling rumit bukan saja dalam pengembangan produk, tapi dalam bank syariah secara keseluruhan. Bahkan problem ini juga bukan saja masalah lokal tetapi juga bank syariah di dunia Islam internasional.(8)
Pendidikan yang dikelola pemerintah di dunia Islam umumnya mengikuti pola bekas penjajah, yaitu memisahkan kehidupan ilmu dan keduniaan dari agama. Akibatnya para lulusan sekolah itu menguasai ilmu pengetahuan dan sedikit saja yang memahami masalah agama. Disisi lain pesantren sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu berbasis agama tidak mengembangkan ilmu-ilmu ‘aqli (rasio), sehingga para lulusannya mahir dalam fiqih, usul fiqih, hadist dan sebagainya namun lemah dalam ilmu kealaman seperti fisika, biologi, matematika dan lain-lain.
Hal yang sama terjadi dalam perbankan syariah. Ketika diminta mengembangkan suatu produk, biasanya terjadi perdebatan yang cukup panjang antara orang-orang yang berlatar belakang perbankan murni dengan yang beratar belakang syariah. Jarang didapati dalam satu bank SDM yang memahami kedua ilmu dasar ini, apatah lagi tentang perbankan syariah yang relatif baru di Indonesia.
IV. Alokasi Penelitian dan Pendidikan
Di kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya, penelitian dan pengembangan (research and development) belum mendapat prioritas tinggi.(9) Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan konferensi untuk membahas issu. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas pendidikan lanjutan untuk para karyawannya. Padahal di negara maju keduanya dianggap sebagai investasi yang dapat diambil manfaatnya dalam jangka panjang.
Alokasi pendidikan, kalaupun ada biasanya diberikan bank syariah untuk mengirimkan karyawannya ke pelatihan-pelatihan. Namun substansi pelatihan seringkali diprioritaskan kepada masalah teknis perbankan, sementara materi syariahnya diletakkan pada prioritas berikutnya. Padahal semestinya jika sumber daya manusia di bank syariah ingin maju, maka kedua muatan ini harus berimbang. Bahkan menurut pengalaman, lebih mudah menjadikan seorang yang memiliki disiplin ilmu syariah menjadi seorang bankir, daripada melakukan hal sebaliknya. Ada kecendrungan dari kalangan bankir syariah sendiri untuk menganggap masalah syariah adalah masalah sepele. Bahkan ada yang menganggap masalah syariah bukan urusan mereka, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada para ulama di Dewan Pengawas Syariah. Jika sudah begini, sumber daya manusia di bank syariah tidak pernah berkembang, karena melestarikan dikotomi apa yang disebut ilmu dunia dan ilmu agama. Ilmu dunia adalah ilmu-ilmu yang dianggap mengurus maslah keduniawian semata, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya, sedangkan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang mempelajari masalah keagamaan, seperti Qur’an, Hadist, Tafsir, Fiqih, Usul Fiqih dan sebagainya.
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak diantara kedua aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun undang-undang bank syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah dapat menunjukkan ciri khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional.
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori, tetapi harus mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di dunia konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang paling jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada dalam penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan. Untuk itu Perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi dan ilmu agama sejak dini sekali dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya bahkan samnpai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan syariah semata, tapi tugas ummat Islam secara
nasional.
End Note
(1) Bandingkan dengan 400 bank konvensional dan 8000 BPR konvensional.
(2) Abdullah Saeed dari University Melbourne membagi pendekatan ini menjadi tiga, yaitu idealis, pragmatis dan maslaha oriented. Dua yang pertama merupakan nama lain dari akomodasi dan asimilasi, sedangkan pendekatan maslaha oriented yang berprinsip diantaranya bahwa bunga bukan riba sebagaimana yang dimaksud dalam Islam, penulis tidak membahasnya karena tidak terlalu relevan. Lihat Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper
dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
(3) Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus, 1989.
(4)Tentang kedudukan individu abstrak atau abstract personality (yang dalam bahasa Arabnya Syakhsiyyah I’tibariyyah atau Syakhsyiyyah Hukmiyyah) dalam syariah, lihat Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh al’Aam, Vol.III hal. 256 dan Wahbah Zuhaily, ibid, Vol. IV hal 11. Lihat juga Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, tentang Reksadana Syariah, hal 199.
(5) Lihat Dr. Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya Ulama tentang Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
(6) Mungkin itulah sebabnya kebanyakan bank pertanian kurang berhasil karena pola perbankan kurang cocok untuk
produk perkebunan
(7) Bank biasanya menerapkan produk syariah wadiah yad dhamanah untuk giro dan sebagian tabungan, dan produk mudharabah pada deposito dan sebagian tabungan lainnya.
(8) Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
(9) Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and Methodology in Islamic Bank, Syed Omar & (ed.), Pelanduk Publication, Selangor 1992.
________________________
Daftar Pustaka
-Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya
Ulama tentang Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
-Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental
-Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
-Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
-Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and
Methodology in Islamic Bank, Syed Omar & Aidit Ghazali (ed.), Pelanduk Publication, Selangor, 1992.
-Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1999
-Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh al’Aam, Vol.III
-Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus, 1989
I. Pendahuluan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undangundang ini perbankan syariah diberikan perlakuan yang sama equal treatment dengan perbankan konvensional. Padahal jika dilihat jumlahnya, ketika undang-undang itu disahkan, baru ada satu bank syariah –Bank Muamalat- dan sekitar 70 BPR Syariah.(1)
Disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 telah membuka kesempatan lebih luas bagi bank syariah untuk berkembang. Undang-undang ini bahkan tidak saja menyebut bank syariah secara berdampingan dengan bank konvensional dalam pasal demi pasal, tetapi juga menyatakan secara rinci prinsip produk perbankan syariah, seperti Murabahah, Salam, Istisna, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah; padahal dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, nama syariah pun sama sekali tidak disebut.
Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebenarnya telah cukup memberikan keleluasaan bagi bank syariah untuk mengembangkan sendiri produknya, sebab undang-undang itu hanya mengikat sistem perbankan konvensional. Hal itu dapat dilihat, baik dari sisi teoritis maupun praktis, perbankan syariah telah mendapat tempat khusus. Sebagai contoh dalam perpajakan ada ketentuan yang tidak mengenakan pajak jual-beli atas penjualan oleh sebuah bank syariah, sepanjang penjualan itu merupakan bisnis murni bank syariah, karena memang prinsip operasinya mengharuskan seperti itu. Oleh karena itu secara teoritis semestinya produk bank syariah telah berkembang karena Bank Muamalat telah didirikan sejak tahun 1992. Tetapi mengapa hanya Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil saja yang terus-menerus dipergunakan, seperti tidak ada produk lain yang bisa dikembangkan?
Nampaknya karena kritik tersebut, pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan workshop intern untuk mengembangkan sendiri produknya, dan tidak lagi “mengekor”kepada produk-produk Bank Islam Malaysia Berhad. Para narasumber didatangkan dan berbagai sumber digali, baik dalam bidang fiqih, ekonomi, perbankan maupun akuntansi.
Semua kemungkinan dijajaki dan diuji, paling tidak dalam tataran teori. Hasilnya lumayan mengejutkan. Dari lokakarya itu ditemukan bahwa selama ini apa yang diterapkan dalam produk-produk, baik liabilitas, aset maupun jasa ternyata telah mengambil jalan yang lumayan berbeda dari produk asli syariah. Manajemen kemudian bertekad untuk memperbaiki yang ada dan mengembangkan produk-produk syariah yang selama ini tidak “tersentuh.” Ternyata pengembangan produk syariah ke perbankan tidak semudah yang diduga. Perdebatan yang tadinya hanya berkisar tentang hal-hal kecil seperti penentuan harga terhadap nasabah, berkembang menjadi masalah berat seperti time value of money, economic cycle, posisi harta dalam Islam, peran hakim syariah, dan sebagainya. Selain itu sumber daya manusia juga bukan masalah kecil. Dengan beragam latar belakang pendidikan, pengalaman dan bidang kerja para karyawan, pengembangan produk tidak lagi menjadi tanggungjawab sebuah divisi, tetapi inter-divisi dan bahkan bank secara keseluruhan.
Tulisan ini berusaha mengungkap problematika yang dihadapi dalam mengembangkan produk pada bank Syariah. Sebagian besar bahan tulisan ini dirangkum dari pengalaman pribadi penulis yang pernah bekerja di Bank Muamalat sebagai staf yang membidangi pengembangan produk aset; sedangkan referensi yang dikutip merupakan tambahan yang kebetulan sesuai.
II. Pendekatan yang berbeda-beda.
Sebelum membahas problematika yang terjadi dalam pengembangan bank syariah, terlebih dahulu perlu dilihat pendekatan yang mempengaruhi pola pengembangan produk bank syariah. Pendekatan ini membentuk paradigma yang akhirnya memberi arah bagi perkembangan produk itu. Ketika pendekatan ini tidak satu dan berbeda, tetapi memerlukan suatu penetapan keputusan (decision making), maka yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan, seberapapun kecilnya. Misalnya, jika kemungkinan trade-off itu akan terjadi antara kepentingan nasabah dengan bank, maka secara intuitif kepentingan bank lebih dahulu dilindungi, mengingat yang membuat produk ini adalah orang bank itu sendiri.
1. Antara Akomodatif dan Asimilatif.
Pergumulan pendekatan yang sekarang masih berlanjut adalah antara metode “akomodatif” dengan “asimilatif.”(2) Metode akomodatif menekankan cara-cara pragmatis dalam pengembangan bank syariah. Metode ini berangkat dari asumsi bahwa saat ini tidak ada satupun situasi ideal bagi bank syariah untuk melaksanakan secara murni apa yang terdapat dalam syariah. Karena itu bank syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam segala operasionalnya, baik produknya maupun transaksinya.
Metode ini mengambil dasarnya dari kaidah usul Fiqih: “Segala sesuatu dalam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Akibatnya tidak mengherankan jika kemudian yang muncul ke permukaan adalah bank syariah yang produknya merupakan fotokopi produk konvensional dengan perubahan sedikit disana-sini. Misalnya, jika di bank konvensional ada “kredit modal kerja” maka di bank syariah ada “pembiayaan modal kerja” dengan spesifikasi yang nyaris tidak berbeda.
Jika terdapat bahwa produk Syariah tidak dapat mengakomodir produk perbankan, maka menurut metode ini produk syariah, harus “direvisi” atau disesuaikan kedalam produk perbankan. Maka tidak heran misalnya sampai saat ini banyak bank syariah tetap meminta jaminan dari nasabah ketika ia memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah.
Padahal hampir seluruh ulama sepakat bahwa apabila seseorang melakukan Mudharabah, pemilik modal/dana tidak boleh meminta jaminan dari pelaksana (mudharib).(3) Metode asimilatif berfikir sebaliknya. Bank syariah merupakan salah satu personifikasi atau invidividu abstrak(4) dari orang yang melakukan kontrak (akad) syariah-muamalah.
Disebut salah satu disini karena pelaksanaan akad syariah bukan hanya dapat dilaksanakan oleh bank, tetapi bisa juga oleh lembaga lain, seperti multifinance, asuransi, perusahaan sekuriti dan sebagainya. Konsekwensinya, semua produk bank syariah adalah penjelmaan dari produk syariah. Jika misalnya bank syariah melakukan Murabahah (jual beli yang keuntungannya disepakati oleh pembeli dan penjual) maka bank harus melakukan jual beli dalam arti yang sebenarnya. Artinya bank memang melakukan penjualan barang kepada nasabah dengan akte jual beli dan syarat-syarat sebagaimana lazimnya sebuah transaksi penjualan.
Jika kemudian produk bank tidak sesuai dengan syariah, maka suka atau tidak suka produk itu ditinggalkan. Sebab, berusaha untuk mencocok-cocokkannya dengan produk syariah akan membawa dampak kepada ketidakmurnian produk syariah. Padahal produk syariah sudah sedemikian lengkap dan baku. Metode asimilatif memandang bahwa bank adalah semata-mata alat penerapan dari produk syariah yang tidak memiliki hak kapabilitas merubah atau merivisi produk Syariah. Akan banyak kerancuan yang terjadi jika produk syariah direvisi menurut sifat yang ada dalam produk perbankan.
Jika yang terjadi produk syariah tidak diterapkan karena ketentuan dalam hukum positif tidak mengizinkan, maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama untuk sementara produk syariah disesuaikan dengan revisi seminimal mungkin. Kedua harus ada upaya jangka panjang untuk mengamandir hukum positif agar produk syariah dapat diakomodir didalamnya. Sebab, produk perbankan syariah, sebagai penjelmaan produk syariah, memilikikarakter unik yang berbeda dengan bank konvensional.
2. Antara Moneter dan Riil
Pendekatan yang juga mempengaruhi pengembangan produk bank syariah adalah ambivalensi bank syariah yang berada diantara sektor riil dan moneter. Disatu sisi, kata “bank” sendiri sudah menunjukkan bahwa lembaga ini memang bergerak di bidang finansial alias moneter. Adalah logis jika kemudian produk-produknya, termasuk dalam hal ini produk bank syariah, mengikuti perkembangan produk finansial. Disisi lain para penulis ekonomi Islam umumnya menggariskan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter merupakan bayangan atau cermin dari sektor riil. Jika sektor riilnya tidak ada maka bagaimana ada sektor moneter? Oleh karena itu penciptaan produk finansial yang terlepas dari produk riil akan mengakibatkan derivasi yang menyebabkan timbulnya bubble economics.
Ambivalensi seperti ini mengakibatkan pengembangan produk, terutama derivative, menjadi lambat jika tidak terhenti sama sekali. Ada dua kutub yang sama-sama dipelajari bank syariah di Indonesia dan masing-masing memiliki pengaruhnya, yaitu Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan bank-bank Islam Timur Tengah. BIMB, meskipun banyak dikritik karena sikap akomodatifnya terhadap produk derivatif, berhasil merekayasa banyak produk sektor perbankan dan keuangan Islam. Misalnya ada Pasar Uang Antar Bank Islam, Obligasi Islam, Islamic Futures, Islamic Option, Islamic Swap, Islamic Securitization dan sebagainya.(5) Sementara bank-bank di Timur Tengah, meskipun mengklaim sebagai pelaksana produk syariah secara konsisten, lambat mengembangkan pasar uangnya. Apatah lagi produk-produk derivatifnya.
III. Problem Dalam Pengembangan Produk
Paradigma yang harus dipegang dalam pengembangan produk adalah bahwa berbeda dengan yang ada dalam bank konvensional, yang memakai satu jenis transaksi yaitu pinjaman, dalam bank syariah produk-produk harus dikembangkan mengikuti karakter dan sifat produk syariah yang berbeda satu sama lain. Resiko dan jangka waktu merupakan faktor kedua sesudah karakter dan sifat itu diletakkan. Misalnya, karakter produk Murabahah adalah jual beli barang. Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Bank boleh meminta jaminan tambahan selain barang yang dibeli. Ketika produk ini diterapkan pada pembiayaan konstruksi, tentu tidak tepat. Karena harus ada barang yang diperjual belikan, bukan proyek yang bentuknya tidak nyata. Jika dicocok-cocokkan dengan menjual beli bahan-bahan konstruksi seperti batu, pasir, semen dan lain-lain, bank akan mendapat kesulitan dalam perincian barang. Kalau memaksakan juga, ada sesuatu yang tidak bisa diperjual belikan, seperti tenaga kerja, dan untuk itu harus digunakan produk lain yaitu Ijarah (sewa). Kalau sudah begini artinya Murabahah tidak cocok untuk pembiayaan konstruksi. Ada yang lebih cocok, misalnya Istisna, yaitu produk Syariah lain untuk jual beli, dimana bank bertindak sebagai pembeli barang yang akan dibangun/ dibuat. Bank membayar secara bertahap kepada kontraktor dan setelah selesai bank menjualnya kepada bohir.
Jika paradigma ini tidak dipegang, maka kecendrungan bankir adalah membuat produk yang lebih dekat dengan produk konvensional. Alasannya sederhana, lebih mudah dihitung, lebih mudah dibandingkan dan jelas ukurannya. Tabel 1 memberikan perbandingan contoh produk syariah dan poduk keuangan dan perbankan.
1. Syariah versus Undang-undang dan Peraturan
Seperti yang disinggung sedikit dimuka, kendala yang dihadapi bank syariah dalam mengembangkan produknya diantaranya jika terjadi ketidakserasian antara aturan syariah dengan aturan yang berlaku dalam hukum positif. Memilih diantara kedua ekstrim itu memiliki konsekwensi masing-masing. Tabel 2 memberikan contoh kendala penerapan produk-produk syariah dalam produk perbankan karena perbedaan antara hukum syariah dan perbankan.
2. Diversifikasi Produk
Kemana arah pengembangan produk bank syariah? Pertanyaan ini sering ditanya mengingat berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992 diiringi sejumlah harapan dari masyarakat muslim yang kebanyakan kaum menengah kebawah. Dengan kata lain bank ini diharapkan untuk menjadi bank pembangunan. Padahal status bank ini adalah swasta yang tentunya berorientasi kepada komersial. Karena itu suka atau tidak suka produk bank syariah harus dikembangkan ke dua arah ini.
Tuntutan masyarakat agar ada bank syariah di daerahnya juga menjadi sumber diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang lebih mengedepankan budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk pembiayaan dengan jangka waktu lebih panjang karena tidak mungkin mereka dapat mengembalikan dana pembiayaan dalam jangka waktu satu-dua tahun, padahal hasil perkebunan baru dapat dinikmati setelah 5 tahun.(6) Ini berarti bahwa produk syariah harus diarahkan ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan menjadi instrumen pasar uang antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya menjaga likuiditas. Sedangkan di daerah perkotaan, orang lebih suka dengan jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan demikian kategori pengembangan produk harus ditambah dengan investasi dan retail.
Segmentasi jenis usaha merupakan faktor lain. Produk untuk perdagangan tentu berbeda dengan produk konsumtif. Produk untuk sektor modal produksi tentu berbeda dengan sektor distribusi. Begitu pula produk untuk pertambangan bisa berbeda dengan produk untuk konstruksi. Sebagai contoh, kekeliruan bank syariah selama ini terlihat ketikamenerapkan Murabahah, yang merupakan produk syariah untuk jual beli barang sekali jalan (one shot deal), pada sektor perdagangan. Akibatnya Murabahah menjadi revolving, karakter yang hanya dimiliki oleh Mudharabah dan Musyarakah.
Berbeda pula halnya jika kategori produk menurut resiko. Produk untuk pembangunan masyarakat menengah ke bawah secara relatif lebih beresiko ketimbang untuk masyarakat bisnis. Produk untuk peningkatan kesejahteraan seperti ini harus sederhana, mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit. Sulitnya adalah produk syariah apa yang cocok, karena bisa jadi segmennya bermacam-macam. Misalnya untuk pertanian (padi) produk Salam dapat digunakan. Tapi untuk asongan, kelontongan, kerajinan dan sebagainya harus juga dicarikan padanannya. Suka atau tidak, semua produk harus disimulasi untuk menghasilkanproduk yang tepat dalam kategori ini.
Tabel 1
Contoh Produk Syariah dan Keuangan
PRODUK SYARIAH
Jual Beli
1. Murabahah: Jual beli yang keuntungannya disepakati penjual dan pembeli
2. Musawamah: Jual beli yang keuntungannya hanya diketahui penjual
3. Tauliah: Jual beli yang tidak ada keuntungan bagi penjual. (komisi)
4. Muwadhaah: Jual beli yang harganya dibawah harga jual (diskon)
5. Mutlaq: Tukar menukar uang dengan barang
6. Muqayadhah: Tukar menukar barang dengan barang
7. Sarf: Tukar menukar uang dengan uang
8. Salam: Jual beli yang harga dibayar lebih dulu, barang diserahkan kemudian
9. Istisna: Jual beli yang harga dapat dicicil, barang dibuat dan diserahkan kemudian
10. Wafa: Jual beli yang diiringi syarat untuk dibeli kembali
11. Urbun: Jual beli yang jika tidak diteruskan uang muka jadi milik penjual
Bagi Untung/Bagi Hasil
1. Mudharabah: Perkongsian pemodal (sahibul mal) dan pengelola (mudharib), keuntungan dibagi menurut porsi yang disepakati sebelumnya sedangkan jika usaha rugi ditanggung pemodal.
2. Musyarakah: Perkongsian para pemodal, keuntungan dibagi menurut porsi yang disepakati sebelumnya, kerugian ditanggung bersama berdasarkan proporsi modal.
3. Muzaraah: Perkongsian pemilik tanah pertanian dan pengelola, pembagian hasil menurut porsi yang disepakati sebelumnya.
4. Musaqat: Perkongsian pemilik tanah perkebunan dan pengelola, pembagian menurut porsi yang disepakati sebelumnya.
PRODUK PERBANKAN
Simpanan
1. Giro
2. Tabungan
3. Deposito
Jasa
1. Transfer
2. Inkaso
3. ATM
Pembiayaan
1. Kredit Investasi
2. Kredit Modal Kerja
3. Kredit Konstruksi
Pembangunan
1. Kredit Usaha Kecil
2. Kredit Usaha Tani
3. Kredit untuk Koperasi
Konsumsi
1. Kredit pemilikan rumah
2. Kredit pemilikan kendaraan
Kredit Ekspor
1. Letter of Credit
2. Garansi Bank
Treasury
1. Spot
2. Forward
3. Swap
4. Option
Jasa
1. Ijarah: Sewa menyewa
2. Wadiah: Titipan
3. Wakalah: Perwakilan
4. Kafalah: Penjaminan
5. Hiwalah: Anjak Piutang
6. Ju’alah: Jasa khusus, sayembara
7. Qardh: Pinjaman
8. Rahn: Gadai
Menurut pengalaman, para praktisi bank syariah dalam berhubungan nasabah pembiayaan, produk itu dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah terjalin diantara keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung diberikan pembiayaan dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau Musyarakah. Tetapi diberikan produk jual beli, seperti Murabahah (atau Bai’ Bithaman Ajil menurut BIMB), Salam dan Istisna. Karena dalam produk ini bank dapat menerapkan semua prinsip perbankan murni, seperti hutang, kewajiban cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan tambahan dan sebagainya.
Tabel 2
Contoh Kendala penerapan produk Syariah dalam perbankan
1. Produk Syariah: Mudharabah Musyarakah
Hukum Syariah: Dana (modal) tidak boleh dijamin Dijamin (liabilitas, deposito/tabungan)
Hukum Positif/ Perbankan: Bank boleh meminta jaminan tergantung resiko (Asset) Bank harus menanggung semua kewajiban
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Tidak berbeda dengan bank konvensional
2. Produk Syariah: Murabahah
Hukum Syariah: Bank menjual kepada nasabah, Tidak boleh diwakilkan kepada nasabah yang mengajukan pembiayaan untuk membeli barang.
Hukum Positif/ Perbankan: Jika dilakukan jual beli harus ada akta jual beli. Harus ada bukti penerimaan uang oleh nasabah Bank akan terkena pajak pembelian.
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Tanda terima barang oleh nasabah tidak bisa dijadikan bukti.
3. Produk Syariah: Salam
Hukum Syariah: Setelah dibayar, petani berhutang gabah yang akan diantar kemudian.
Hukum Positif/ Perbankan: Petani berhutang uang, harus mengembalikan uang
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Resiko harga bagah yang fluktuatif akan merugikan bank
4. Produk Syariah: Istisna
Hukum Syariah: Setelah dibayar (sebagian), penjual (Nasabah) berhutang barang yang akan diantar kemudian.
Hukum Positif/ Perbankan: Penjual berhutang uang, harus mengembalikan uang
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Jika barang itu pesanan bohir, bank beresiko tidak dibayar bila terdapat cacat pada barang.
5. Produk Syariah: Ijarah Muntahia Bittamliik
Hukum Syariah: Syariah hanya mengenal Operating Lease.
Jika ada opsi beli, maka itu hanya mengikat bila diakadkan di akhir masa sewa (tidak boleh dua akad/kontrak dijadikan satu).
Hukum Positif/ Perbankan: Operating Lease adalah produk perusahaan jasa. Finance & Capital Lease adalah produk perusahaan keuangan. Opsi bersifat mengikat jika dimasukkan dalam perjanjian.
Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah: Bank sulit mengeluarkan nasabah yang menyewa dari rumahnya. Merugikan salah satu pihak bila opsi tidak dilaksanakan.
Ketika melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah sudah dapat dilihat, bank kemudian menawarkan produk yang lebih beresiko, seperti Mudharabah. Pada produk ini bank tidak dapat lagi membebankan resiko pada nasabah, karena sepenuhnya ditanggung oleh bank. Kredibilitas, integritas dan accountibilitas nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan produk inipun nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya, yaitu Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah telah mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa kewajiban memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya diberikan untuk kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak bisa dilayani oleh produk lain dan kemungkinan besar tidak akan macet.
Kritik terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya mereka saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap sebelumnya, seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah, karena menyangkut pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan syariah akan melestarikan status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya strata masyarakat atas saja yang dapat menikmati fasilitas perbankan.
Para bankir syariah sering mengeluh bahwa bank syariah terlalu banyak mengembangkan produk pembiayaan dan tertinggal dalam produk interbank (institutional) dan treasury. Mereka berfikir bahwa produk interbank memiliki spesifikasi berbeda dengan produk pembiayaan. Padahal jika mereka kembali kepada dasar produk perbankan, yaitu produk syariah, produk interbank dan treasuri akan mereka disain dengan mudah. Inti produk syariah dalam hal ini adalah menjelaskan hubungan (muamalah) yang melibatkan harta dan menjelaskan hak dan kewajiban pihak-pihak yang melakukan transaksi. Tinggal dipertemukan antara transaksi interbank dengan produk syariah yang memiliki karakter yang sesuai. Misalnya jika bank melakukan transaksi dengan bank lainnya menggunakan pinjaman, maka produk yang bisa digunakan adalah Qardh dan tidak boleh ada imbalan yang diperjanjikan. Jika dari dana itu dituntut imbalan, transaksi itu harus menggunakan produk Mudharabah, yang memungkinkan adanya keuntungan yang didapat, disamping juga kemungkinan kerugian. Spesifikasi produk treasury dan institutional banking pada Mudharabah ini adalah porsi bagi-hasil/ bagi-untung yang memiliki dana lebih besar (misalnya 70:30) dari yang biasa disepakati untuk nasabah deposan (misalnya 60:40). Yang kedua biasanya mudharabah dan pinjaman dalam transaksi treasury berjangka waktu lebih pendek dari produk liabilitas lainnya.
3. Penentuan Harga (Pricing)
Hal yang paling banyak mengundang perdebatan adalah penentuan harga, terutama untuk produk pembiayaan. Hal ini disebabkan adanya faktor rujukan (benchmark) sebagai bahan perbandingan. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar dijalankan, para bankir tidak akan menghadapi kesulitan.
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Untuk produk jual beli seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya dalam perbankan konvensional, misalnya 12%. Tingkat keuntungan ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah. Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per annum. Dalam syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu akad.
Artinya jika bank dan nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 % per annum dari harga beli sebesar Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya tidak lagi sebesar harga beli + 24 %, tetapi harga beli + 30 %. Itu sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat, karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga dalam bank konvensional.
Issue keterpisahan pasar finansial dari pasar riil timbul lagi dalam pembahasan rujukan benchmark. Dalam suatu pembahasan produk, para dealer treasury mengajukan penetapan fatwa Dewan Pengawas Syariah atas transaksi forward. Ketika ditanya bagaimana menghitung harga beli valuta asing sesudah jangka waktu 30 hari, para dealer memberikan rumus sebagai berikut:
Nominal Valuta Asing x Nilai Tukar [ 1 + ( 30/360 x 15%)]
Para ulama terkejut ketika mengetahui bahwa 15% itu tingkat bunga pasar, dan mereka bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dijadikan dasar perhitungan. Apakah tidak ada alternatif lain? Celakanya masalah rujukan ini bukan saja masalah nasional, tetapi juga merupakan fenomena internasional. Saat ini kritik tajam dilontarkan kepada bank syariah karena menjadikan pasar uang sebagai rujukannya. Islamic Development Bank, misalnya, masih menggunakan London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR) sebagai rujukan cost of fund dari dana yang diberikan. Padahal rujukan itu tentunya didapat dari tingkat bunga.
Karena itu sebuah rujukan khusus bagi bank syariah masih dinantikan sebagai pengganti pasar uang antar bank. Pernah ada usulan agar tingkat harga bank syariah merujuk kepada tingkat harga di pasar riil dengan masing-masing sektornya. Misalnya tingkat keuntungan pada sektor konstruksi adalah 20%. Maka bank dapat mengenakan tingkat harga untuk jual beli konstruksi pada sekitar tingkat itu. Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih mendalam, karena akan timbul berbagai masalah, diantaranya kecemburuan antarsektoral.
Misalnya, bisa saja nasabah yang membeli barang konsumtif dengan cara Murabahah merasa dirugikan karena dikenakan tingkat harga lebih tinggi dari mereka yang membeli barang modal, juga dengan cara Murabahah, dengan tingkat harga yang lebih rendah.
Kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan produk jual beli dari produk bagi hasil membawa ekses pada penentuan tingkat harga ini. Tingkat keuntungan yang ditentukan untuk produk jual beli, akhirnya menjadi cost of fund untuk semua produk, termasuk produk bagi hasil. Celakanya, hal itu juga dihitung dengan metode per annum. Maka tidak heran jika ada Mudharabah dengan bagi hasil yang dibebankan kepada nasabah setara 20% per annum!
Artinya nasabah sebagai mudharib harus membayar bagi hasil kepada bank setara 20% pertahun! Jika nasabah mendapat keuntungan lebih dari itu, ia hanya membayar 20%nya, sedangkan jika ia rugi maka ia harus tetap membayar setara itu. Padahal Mudharabah adalah produk bagi hasil yang kondisi pendapatannya tidak fixed, tergantung situasi bisnis.
Kerancuan ini timbul karena bank menganggap cost of fund sebagai target yang wajib dipenuhi untuk mencapai tingkat keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah penyimpan, tanpa memilah produk syariah tertentu yang memiliki karakter seperti itu.
Jika demikian halnya, maka prinsip perbankan syariah hanya tersisa pada nama produk, karena pada dasarnya paradigma konvensional juga yang diterapkan. Itu terlihat pada proses yang dilakukan para bankir syariah dalam menetapkan asset liability management.
Mereka menentukan dulu berapa tingkat keuntungan yang harus diberikan kepada nasabah penyimpan (dengan rujukan tingkat bunga yang diberikan bank konvensional), lalu menetapkan tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan (dengan rujukan yang sama). Dengan kata lain, sebenarnya para bankir syariah selama ini menerapkan konsep biaya (cost concept). Padahal jika paradigma ini dirubah dengan konsep pendapatan (revenue concept) maka bank sebagai mudharib tidak memiliki kewajiban untuk memberikan keuntungan jika memang belum bisa memperolehnya. Artinya cost of fund bank adalah nol. Demikian pula jika bank sebagai penerima titipan untuk penerapan wadiah pada produk giro.(7) Karena itu bank syariah bebas menetapkan keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan, bahkan bisa lebih murah dari bank konvensional.
4. Sumber Daya Manusia
Masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang paling rumit bukan saja dalam pengembangan produk, tapi dalam bank syariah secara keseluruhan. Bahkan problem ini juga bukan saja masalah lokal tetapi juga bank syariah di dunia Islam internasional.(8)
Pendidikan yang dikelola pemerintah di dunia Islam umumnya mengikuti pola bekas penjajah, yaitu memisahkan kehidupan ilmu dan keduniaan dari agama. Akibatnya para lulusan sekolah itu menguasai ilmu pengetahuan dan sedikit saja yang memahami masalah agama. Disisi lain pesantren sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu berbasis agama tidak mengembangkan ilmu-ilmu ‘aqli (rasio), sehingga para lulusannya mahir dalam fiqih, usul fiqih, hadist dan sebagainya namun lemah dalam ilmu kealaman seperti fisika, biologi, matematika dan lain-lain.
Hal yang sama terjadi dalam perbankan syariah. Ketika diminta mengembangkan suatu produk, biasanya terjadi perdebatan yang cukup panjang antara orang-orang yang berlatar belakang perbankan murni dengan yang beratar belakang syariah. Jarang didapati dalam satu bank SDM yang memahami kedua ilmu dasar ini, apatah lagi tentang perbankan syariah yang relatif baru di Indonesia.
IV. Alokasi Penelitian dan Pendidikan
Di kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya, penelitian dan pengembangan (research and development) belum mendapat prioritas tinggi.(9) Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan konferensi untuk membahas issu. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas pendidikan lanjutan untuk para karyawannya. Padahal di negara maju keduanya dianggap sebagai investasi yang dapat diambil manfaatnya dalam jangka panjang.
Alokasi pendidikan, kalaupun ada biasanya diberikan bank syariah untuk mengirimkan karyawannya ke pelatihan-pelatihan. Namun substansi pelatihan seringkali diprioritaskan kepada masalah teknis perbankan, sementara materi syariahnya diletakkan pada prioritas berikutnya. Padahal semestinya jika sumber daya manusia di bank syariah ingin maju, maka kedua muatan ini harus berimbang. Bahkan menurut pengalaman, lebih mudah menjadikan seorang yang memiliki disiplin ilmu syariah menjadi seorang bankir, daripada melakukan hal sebaliknya. Ada kecendrungan dari kalangan bankir syariah sendiri untuk menganggap masalah syariah adalah masalah sepele. Bahkan ada yang menganggap masalah syariah bukan urusan mereka, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada para ulama di Dewan Pengawas Syariah. Jika sudah begini, sumber daya manusia di bank syariah tidak pernah berkembang, karena melestarikan dikotomi apa yang disebut ilmu dunia dan ilmu agama. Ilmu dunia adalah ilmu-ilmu yang dianggap mengurus maslah keduniawian semata, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya, sedangkan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang mempelajari masalah keagamaan, seperti Qur’an, Hadist, Tafsir, Fiqih, Usul Fiqih dan sebagainya.
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak diantara kedua aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun undang-undang bank syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah dapat menunjukkan ciri khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional.
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori, tetapi harus mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di dunia konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang paling jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada dalam penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan. Untuk itu Perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi dan ilmu agama sejak dini sekali dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya bahkan samnpai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan syariah semata, tapi tugas ummat Islam secara
nasional.
End Note
(1) Bandingkan dengan 400 bank konvensional dan 8000 BPR konvensional.
(2) Abdullah Saeed dari University Melbourne membagi pendekatan ini menjadi tiga, yaitu idealis, pragmatis dan maslaha oriented. Dua yang pertama merupakan nama lain dari akomodasi dan asimilasi, sedangkan pendekatan maslaha oriented yang berprinsip diantaranya bahwa bunga bukan riba sebagaimana yang dimaksud dalam Islam, penulis tidak membahasnya karena tidak terlalu relevan. Lihat Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper
dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
(3) Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus, 1989.
(4)Tentang kedudukan individu abstrak atau abstract personality (yang dalam bahasa Arabnya Syakhsiyyah I’tibariyyah atau Syakhsyiyyah Hukmiyyah) dalam syariah, lihat Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh al’Aam, Vol.III hal. 256 dan Wahbah Zuhaily, ibid, Vol. IV hal 11. Lihat juga Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, tentang Reksadana Syariah, hal 199.
(5) Lihat Dr. Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya Ulama tentang Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
(6) Mungkin itulah sebabnya kebanyakan bank pertanian kurang berhasil karena pola perbankan kurang cocok untuk
produk perkebunan
(7) Bank biasanya menerapkan produk syariah wadiah yad dhamanah untuk giro dan sebagian tabungan, dan produk mudharabah pada deposito dan sebagian tabungan lainnya.
(8) Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
(9) Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and Methodology in Islamic Bank, Syed Omar & (ed.), Pelanduk Publication, Selangor 1992.
________________________
Daftar Pustaka
-Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya
Ulama tentang Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
-Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental
-Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
-Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
-Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and
Methodology in Islamic Bank, Syed Omar & Aidit Ghazali (ed.), Pelanduk Publication, Selangor, 1992.
-Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1999
-Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh al’Aam, Vol.III
-Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus, 1989
No comments:
Post a Comment