(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Masa depan ekonomi dunia akan suram, selama paradigma yang sekarang masih dipegang. Paradigma bebas nilai yang mementingkan individu sebagai pelaku ekonomi dan pasar yang impersonal telah terbukti meluluhkan seluruh tatanan, keluarga, masyarakat bahkan negara. Kini alternatif satu-satunya hanya Islam. Cepat atau lambat, Islam akan tampil sebagai penyelamat. Tidak ada yang bisa membantahnya, tidak di timur, juga tidak di Barat.
Pakar ekonomi Islam dari Islamic Development Bank (IDB), Umar Chapra mengatakan hal itu dalam seminar yang diadakan Bank Indonesia minggu lalu (24/10). Buku terbarunya, The Future of Economics, Islamic Perspective, yang diterjemahkan oleh teman-teman di Syariah Economics and Banking Institute (SEBI) menjadi modal buat beasiswa "Umar Chapra" untuk para mahasiswa Indonesia yang ingin mempelajari dan mendalami ekonomi Islam. Saya terharu, Chapra dan teman-teman SEBI telah mencontohkan sebuah usaha luhur di negeri yang pelit untuk anggaranpendidikannya, apatah lagi memberikan beasiswa bagi mahasiswanya.
Chapra membuktikan bahwa Pareto Optimality, yang dianggap sebagai akhir dari pilihan ekonomi, merupakan akhir dari pikiran rasional yang sudah basi. Hal ini karena ekonomi konvensional menganggap materi satu-satunya pemuas kebutuhan manusia. Ketika pilihan sudah tidak lagi mengarah pada kwadran positif-positif, ekonomi konvensional mengklaim itulah akhir dari kepuasan manusia. Bisa jadi manusia kemudian kehilangan arah (disorientasi), mencari cara-cara yang tidak etis untuk mendapatkannya. Islam, kata Chapra, memberikan solusi lain. Bahwa falah (kebahagiaan, kepuasan) bukan semata dari materi. Ada nilai lain yang lebih tinggi dari itu. Tidak usah jauh-jauh, nilai sebagai hamba Allah saja sudah melebihi kebahagiaan dan kepuasan dari manapun.
Mengutip teori Ibn Khaldun tentang pasang-surut peradaban, Chapra menyimpulkan bahwa naik turunnya sebuah ekonomi merupakan suatu gejala alam yang tadinya berusaha dilawan oleh para ekonom barat. Tapi, walau bagaimanapun, manusia memiliki batasan, sebagaimana alam juga memiliki sifat-sifatnya. Memaksakan sifat keterbatasan alam kepada hal yang diluar kemampuannya akan menciptakan ketidakseimbangan. Dan itulah yang terjadi saat ini. Jika Ibn Khaldun meramalkan manusia akan mencari sumber selain dari dunia ini, ramalan itu belum dapat dibuktikan oleh Barat.
Ada kemajuan dalam pemikiran Chapra kali ini, terutama menyangkut pemerintah sebagai regulator ekonomi. Ia memasukkan faktor pemerintah sebagai salah satu, bukan satu-satunya variable yang perlu dibenahi. Kalau dalam bukunya Islam and Economic Challange Chapra menginginkan adanya suatu pemerintahan Islam yang bersumber kepada ajaran Islam, kali ini Chapra hanya berkomentar bahwa pemerintahan yang korup, tidak aspiratif, otoriter dan penentu segala kebijakan harus sudah dihindari. Pemerintah harus bersikap bijak dan bertindak sesuai dengan prinsip dalam wilayatul hisbah, memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai peraturan.
Bagi umat Islam di Indonesia, ungkapan Chapra sudah lama dimafhumi. Krisis yang menghantam dunia perbankan dan kemudian menjalar jadi krisis ekonomi dan kemanusiaan, berakar dari satu hal: hilangnya akar budaya Islam di semua lini. Ekonomi yang mengekor dan bergantung ke dunia barat sampai sekecil-kecilnya, sikap hidup konsumtif dan menjadikan materi segala-galanya (bahkan bang Taufiq Ismail melihat sila pertama Pancasila dalam realitas berubah menjadi Keuangan yang Maha Kuasa) dan distribusi kekayaan yang tidak merata. Bahkan politik, yang dalam Islam merupakan proses luhur bagi merumuskan keputusan terbaik, telah dijadikan ajang cari duit oleh para pelakunya. Jangan heran kemudian sebagian besarummat menuntut diberlakukannya syariat Islam di tanah air.
Kata bang 'Imaduddin 'Abdulrahim, masyarakat Indonesia telah salah memilih terjemahan untuk government. Disini kata itu diartikan sebagai pemerintah, yang berarti memiliki kekuasaan untuk memberi perintah. Maka tidak heran jika yang terpilih jadi pemerintah bisa semena-mena, mulai dari presiden sampai ketua RT. Padahal rakyat Amerika justru memakai kata administration untuk pemerintahnya, yang berarti hanya melakukan pencatatan dan pelayanan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang diberikan Nabi SAW, bahwa pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (sayyidul ummah khaadimuhum). Menjadi pemimpin masyarakat harus memiliki sikap melayani, bukan ngebosi.
Sikap melayani masyarakat timbul bila posisi yang dipegang dianggap sebagai amanah yang harus dilaksanakan, bukan alat untuk mencari uang. Apabila dilaksanakan untuk mencari sesuatu yang lain, maka itu artinya khianat. Dan khianat adalah tanda orang munafiq. Di Indonesia, sebuah proyek pembangunan diartikan sebagai sebuah proyek bagi-bagi duit bagi para pejabat yang menanganinya. Dana proyek yang tersisa untuk realisasinya paling-paling hanya 50% dari jumlah awalnya. Kalau sudah begini, jangan berharap hasil pembangunan bisa bertahan lama, karena kualitasnya sudah turun menjadi setengahnya. Teori ekonomi mana yang mengajarkan biaya murah bisa mendapatkan kualitas tinggi?
Ilmu ekonomi memang sudah ditakdirkan bertujuan untuk mencari keuntungan materi. Tapi bila dilepas tanpa kendali, maka semua hal bisa dijadikan obyek ekonomi, termasuk jabatan dan kekuasaan. Celakanya hal itu terjadi di Indonesia. Para pelaku politik ternyata menjadi pelaku ekonomi yang piawai, mencari keuntungan materi atas jabatan yang dipegang. Jabatan telah menjadi komoditi yang dapat dibeli dengan pembayaran tertentu. Dengan kata lain, Indonesia lebih kapitalis dari orang kapitalis sendiri. Padahal kalau kita kembali ke khazanah Islam, kita akan menyimak ucapan Umar bin Khattab: Demi Allah, (menjadi khalifah) ini adalah sebuah penderitaan. Tidak akan kuizinkan keturunan Umar bin Khattab mengalaminya untuk kedua kali. Mazhab Neo-Klasik, salah satu aliran ekonomi moderen, menyatakan kutukannya kepada campur tangan pemerintah dalam ekonomi. Padahal campur tangan pemerintah, menurut Keynes merupakan suatu yang mutlak diperlukan, apalagi ketika investasi mengalami kemunduran. Asumsinya, tentu pemerintah yang bersih dari korupsi dan suap-suapan.
Di Barat, persoalan administrasi sudah selesai, sehingga tidak ada cerita pejabat yang korupsi. Dasar mereka melakukan sesuatu adalah sederhana, common sense atau consciense, kata lain dari hati nurani. Dalam terminologi hadis, hati nurani adalah dhamir (Is'al dhomirak). Semua orang mengikuti nalar ini: Kalau orang lain sakit hati karena miliknya dicuri, iapun merasakan hal yang sama kalau miliknya diambil tanpa permisi. Apalagi kalau yang dicuri milik orang banyak. Nah, kalau di Barat saja yang masalah mendasarnya sudah terselesaikan, seperti kata Chapra, masih menyisakan masalah (sehingga ekonomi masa depan akan suram), bagaimana pula halnya dengan Indonesia? Jangan-jangan kita akan memang akan kiamat duluan sebelum yang lainnya.
Dimuat di Tabloid Fikri, Oktober 2002
Cecep Maskanul Hakim
Masa depan ekonomi dunia akan suram, selama paradigma yang sekarang masih dipegang. Paradigma bebas nilai yang mementingkan individu sebagai pelaku ekonomi dan pasar yang impersonal telah terbukti meluluhkan seluruh tatanan, keluarga, masyarakat bahkan negara. Kini alternatif satu-satunya hanya Islam. Cepat atau lambat, Islam akan tampil sebagai penyelamat. Tidak ada yang bisa membantahnya, tidak di timur, juga tidak di Barat.
Pakar ekonomi Islam dari Islamic Development Bank (IDB), Umar Chapra mengatakan hal itu dalam seminar yang diadakan Bank Indonesia minggu lalu (24/10). Buku terbarunya, The Future of Economics, Islamic Perspective, yang diterjemahkan oleh teman-teman di Syariah Economics and Banking Institute (SEBI) menjadi modal buat beasiswa "Umar Chapra" untuk para mahasiswa Indonesia yang ingin mempelajari dan mendalami ekonomi Islam. Saya terharu, Chapra dan teman-teman SEBI telah mencontohkan sebuah usaha luhur di negeri yang pelit untuk anggaranpendidikannya, apatah lagi memberikan beasiswa bagi mahasiswanya.
Chapra membuktikan bahwa Pareto Optimality, yang dianggap sebagai akhir dari pilihan ekonomi, merupakan akhir dari pikiran rasional yang sudah basi. Hal ini karena ekonomi konvensional menganggap materi satu-satunya pemuas kebutuhan manusia. Ketika pilihan sudah tidak lagi mengarah pada kwadran positif-positif, ekonomi konvensional mengklaim itulah akhir dari kepuasan manusia. Bisa jadi manusia kemudian kehilangan arah (disorientasi), mencari cara-cara yang tidak etis untuk mendapatkannya. Islam, kata Chapra, memberikan solusi lain. Bahwa falah (kebahagiaan, kepuasan) bukan semata dari materi. Ada nilai lain yang lebih tinggi dari itu. Tidak usah jauh-jauh, nilai sebagai hamba Allah saja sudah melebihi kebahagiaan dan kepuasan dari manapun.
Mengutip teori Ibn Khaldun tentang pasang-surut peradaban, Chapra menyimpulkan bahwa naik turunnya sebuah ekonomi merupakan suatu gejala alam yang tadinya berusaha dilawan oleh para ekonom barat. Tapi, walau bagaimanapun, manusia memiliki batasan, sebagaimana alam juga memiliki sifat-sifatnya. Memaksakan sifat keterbatasan alam kepada hal yang diluar kemampuannya akan menciptakan ketidakseimbangan. Dan itulah yang terjadi saat ini. Jika Ibn Khaldun meramalkan manusia akan mencari sumber selain dari dunia ini, ramalan itu belum dapat dibuktikan oleh Barat.
Ada kemajuan dalam pemikiran Chapra kali ini, terutama menyangkut pemerintah sebagai regulator ekonomi. Ia memasukkan faktor pemerintah sebagai salah satu, bukan satu-satunya variable yang perlu dibenahi. Kalau dalam bukunya Islam and Economic Challange Chapra menginginkan adanya suatu pemerintahan Islam yang bersumber kepada ajaran Islam, kali ini Chapra hanya berkomentar bahwa pemerintahan yang korup, tidak aspiratif, otoriter dan penentu segala kebijakan harus sudah dihindari. Pemerintah harus bersikap bijak dan bertindak sesuai dengan prinsip dalam wilayatul hisbah, memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai peraturan.
Bagi umat Islam di Indonesia, ungkapan Chapra sudah lama dimafhumi. Krisis yang menghantam dunia perbankan dan kemudian menjalar jadi krisis ekonomi dan kemanusiaan, berakar dari satu hal: hilangnya akar budaya Islam di semua lini. Ekonomi yang mengekor dan bergantung ke dunia barat sampai sekecil-kecilnya, sikap hidup konsumtif dan menjadikan materi segala-galanya (bahkan bang Taufiq Ismail melihat sila pertama Pancasila dalam realitas berubah menjadi Keuangan yang Maha Kuasa) dan distribusi kekayaan yang tidak merata. Bahkan politik, yang dalam Islam merupakan proses luhur bagi merumuskan keputusan terbaik, telah dijadikan ajang cari duit oleh para pelakunya. Jangan heran kemudian sebagian besarummat menuntut diberlakukannya syariat Islam di tanah air.
Kata bang 'Imaduddin 'Abdulrahim, masyarakat Indonesia telah salah memilih terjemahan untuk government. Disini kata itu diartikan sebagai pemerintah, yang berarti memiliki kekuasaan untuk memberi perintah. Maka tidak heran jika yang terpilih jadi pemerintah bisa semena-mena, mulai dari presiden sampai ketua RT. Padahal rakyat Amerika justru memakai kata administration untuk pemerintahnya, yang berarti hanya melakukan pencatatan dan pelayanan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang diberikan Nabi SAW, bahwa pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (sayyidul ummah khaadimuhum). Menjadi pemimpin masyarakat harus memiliki sikap melayani, bukan ngebosi.
Sikap melayani masyarakat timbul bila posisi yang dipegang dianggap sebagai amanah yang harus dilaksanakan, bukan alat untuk mencari uang. Apabila dilaksanakan untuk mencari sesuatu yang lain, maka itu artinya khianat. Dan khianat adalah tanda orang munafiq. Di Indonesia, sebuah proyek pembangunan diartikan sebagai sebuah proyek bagi-bagi duit bagi para pejabat yang menanganinya. Dana proyek yang tersisa untuk realisasinya paling-paling hanya 50% dari jumlah awalnya. Kalau sudah begini, jangan berharap hasil pembangunan bisa bertahan lama, karena kualitasnya sudah turun menjadi setengahnya. Teori ekonomi mana yang mengajarkan biaya murah bisa mendapatkan kualitas tinggi?
Ilmu ekonomi memang sudah ditakdirkan bertujuan untuk mencari keuntungan materi. Tapi bila dilepas tanpa kendali, maka semua hal bisa dijadikan obyek ekonomi, termasuk jabatan dan kekuasaan. Celakanya hal itu terjadi di Indonesia. Para pelaku politik ternyata menjadi pelaku ekonomi yang piawai, mencari keuntungan materi atas jabatan yang dipegang. Jabatan telah menjadi komoditi yang dapat dibeli dengan pembayaran tertentu. Dengan kata lain, Indonesia lebih kapitalis dari orang kapitalis sendiri. Padahal kalau kita kembali ke khazanah Islam, kita akan menyimak ucapan Umar bin Khattab: Demi Allah, (menjadi khalifah) ini adalah sebuah penderitaan. Tidak akan kuizinkan keturunan Umar bin Khattab mengalaminya untuk kedua kali. Mazhab Neo-Klasik, salah satu aliran ekonomi moderen, menyatakan kutukannya kepada campur tangan pemerintah dalam ekonomi. Padahal campur tangan pemerintah, menurut Keynes merupakan suatu yang mutlak diperlukan, apalagi ketika investasi mengalami kemunduran. Asumsinya, tentu pemerintah yang bersih dari korupsi dan suap-suapan.
Di Barat, persoalan administrasi sudah selesai, sehingga tidak ada cerita pejabat yang korupsi. Dasar mereka melakukan sesuatu adalah sederhana, common sense atau consciense, kata lain dari hati nurani. Dalam terminologi hadis, hati nurani adalah dhamir (Is'al dhomirak). Semua orang mengikuti nalar ini: Kalau orang lain sakit hati karena miliknya dicuri, iapun merasakan hal yang sama kalau miliknya diambil tanpa permisi. Apalagi kalau yang dicuri milik orang banyak. Nah, kalau di Barat saja yang masalah mendasarnya sudah terselesaikan, seperti kata Chapra, masih menyisakan masalah (sehingga ekonomi masa depan akan suram), bagaimana pula halnya dengan Indonesia? Jangan-jangan kita akan memang akan kiamat duluan sebelum yang lainnya.
Dimuat di Tabloid Fikri, Oktober 2002
No comments:
Post a Comment