(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Adalah suatu kelaziman dalam dunia perbankan apabila hendak memberikan kredit kepada nasabah ia mensyaratkan agar sebagian total kredit itu ditutup dari modal nasabah sendiri, yang dalam istilah perbankan dikenal degan self financing. Tapi cocokkah hal itu jika diterapkan dalam perbankan syariah?
Nampaknya konsep Self financing itu kini mendapat legitimasinya dalam bank syariah. Setidaknya untuk produk pembiayaan Murabahah (jual beli yang keuntungannya disepakati antara bank dan nasabah). Karena Murabahah itu jual beli, maka penjual (bank) dapat mensyaratkan sejumlah uang muka kepada pembeli (nasabah) apabila ingin membeli barang. Apabila transaksi ini jadi dilaksanakan, maka uang muka ini akan menjadi sebagian dari harga yang dibayar. Tetapi jika transaksinya batal, maka uang dikembalikan kepada nasabah setelah diperhitungkan biaya administrasi dan kerugian yang mungkin akan diderita bank akibat pembatalan itu? Banyak yang tidak mengetahui bahwa kesimpulan ini merupakan hasil dari proses perdebatan panjang baik di kalangan bankir, akuntan maupun ahli syariah. Konsep uang muka disebut dalam fiqih muamalat dengan arbun dan hanya dibolehkan di kalangan ulama Hambali. Sejatinya uang muka harus menjadi milik penjual apabila transaksi batal dilaksanakan. Tetapi para ulama melihat bahwa dalam prakteknya, perbankan syariah mengenakan uang muka sampai setengah dari harga yang disepakati, yang tentunya akan memberatkan nasabah. Oleh karena itu tidak adil jika uang muka itu semuanya harus jadi milik bank.
Jika diteliti lebih jauh, persoalan uang muka dalam murabahah juga muncul dari sifat Murabahah itu sendiri. Para ulama memperdebatkan apakah Murabahah yang dilakukan dengan pesanan -sebagaimana lazimnya dipraktekkan bank syariah-yang dikenal dalam fiqih sebagai Murabahah lil Amir bi syira, itu mengikat atau tidak. Hal ini karena Murabahah dengan pesanan terdiri dari dua bagian, yaitu transaksi antara pembeli akhir dengan penjual, dan transaksi penjual dengan pemasok (supplier). Sebagian ulama berpendapat bahwa janji yang dilakukan pembeli kepada penjual bahwa ia akan membeli barang darinya itu mengikat. Dengan demikian dalam kondisi seperti ini sebenarnya tidak diperlukan lagi uang muka dari pembeli sebagai tanda jadi. Sebab, apabila pembeli bisa dituntut apabila ingkar janji. Padahal barang yang dipesannya telah dipenuhi penjual. Sebagian ulama menganggap bahwa janji itu tidak mengikat dan penjual harus melakukan kontrak lagi dengan pembeli setelah barang itu tersedia. Termasuk yang memegang pendapat ini adalah Majma' Fiqih Islamy, semacam dewan syariahnya OKI, yang berpusat di Makkah AlMukarramah.
Sebenarnya konsep arbun dengan modifikasi ini telah diakomodir oleh Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) Bahrain dalam standar akuntansi yang diterbitkannya. Konsep itu dinamakan hamisy giddyah dan tidak akan ditemukan di kitab fiqih klasik manapun karena merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat dunia Arab-Islam. Tapi karena lebih maslahat bagi kedua pihak dalam melakukan transaksi, konsep ini dimasukkan ke dalam fatwa yang ditetapkan DSN. Penetapan ini tentu memiliki berbagai akibat. Para akuntan yang tengah membuat standar akuntansi bagi perbankan syariah harus membuat pos tersendiri untuk uang muka ini. Uang muka yang disediakan oleh nasabah pembiayaan Murabahah dibukukan sebagai uang muka. Apabila pembiayaan ditandatangani, bank membukukannya sebagai cicilan pertama. Jika transaksi batal dilaksanakan, uang muka yang dikembalikan harus dicatat pengganti beban yang dikeluarkan bank dalam membeli barang tersebut dari pemasok.
Masalah lain yang muncul adalah soal pemasaran. Meskipun fatwa uang muka Murabahah tidak termasuk dalam kategori wajib, artinya sekedar boleh, hal itu cukup menjadi legitimasi bagi bank syariah untuk mengenakan uang muka dari setiap transaksi pembiayaan Murabahah kepada nasabahnya. Ini tentu menjadi point negatif bagi nilai jual. Kalau sudah begini, tentu yang mengenakan uang muka paling rendahlah yang banyak dicari nasabah.
Dimuat di Tabloid Fikri, Februari 2002
Cecep Maskanul Hakim
Adalah suatu kelaziman dalam dunia perbankan apabila hendak memberikan kredit kepada nasabah ia mensyaratkan agar sebagian total kredit itu ditutup dari modal nasabah sendiri, yang dalam istilah perbankan dikenal degan self financing. Tapi cocokkah hal itu jika diterapkan dalam perbankan syariah?
Nampaknya konsep Self financing itu kini mendapat legitimasinya dalam bank syariah. Setidaknya untuk produk pembiayaan Murabahah (jual beli yang keuntungannya disepakati antara bank dan nasabah). Karena Murabahah itu jual beli, maka penjual (bank) dapat mensyaratkan sejumlah uang muka kepada pembeli (nasabah) apabila ingin membeli barang. Apabila transaksi ini jadi dilaksanakan, maka uang muka ini akan menjadi sebagian dari harga yang dibayar. Tetapi jika transaksinya batal, maka uang dikembalikan kepada nasabah setelah diperhitungkan biaya administrasi dan kerugian yang mungkin akan diderita bank akibat pembatalan itu? Banyak yang tidak mengetahui bahwa kesimpulan ini merupakan hasil dari proses perdebatan panjang baik di kalangan bankir, akuntan maupun ahli syariah. Konsep uang muka disebut dalam fiqih muamalat dengan arbun dan hanya dibolehkan di kalangan ulama Hambali. Sejatinya uang muka harus menjadi milik penjual apabila transaksi batal dilaksanakan. Tetapi para ulama melihat bahwa dalam prakteknya, perbankan syariah mengenakan uang muka sampai setengah dari harga yang disepakati, yang tentunya akan memberatkan nasabah. Oleh karena itu tidak adil jika uang muka itu semuanya harus jadi milik bank.
Jika diteliti lebih jauh, persoalan uang muka dalam murabahah juga muncul dari sifat Murabahah itu sendiri. Para ulama memperdebatkan apakah Murabahah yang dilakukan dengan pesanan -sebagaimana lazimnya dipraktekkan bank syariah-yang dikenal dalam fiqih sebagai Murabahah lil Amir bi syira, itu mengikat atau tidak. Hal ini karena Murabahah dengan pesanan terdiri dari dua bagian, yaitu transaksi antara pembeli akhir dengan penjual, dan transaksi penjual dengan pemasok (supplier). Sebagian ulama berpendapat bahwa janji yang dilakukan pembeli kepada penjual bahwa ia akan membeli barang darinya itu mengikat. Dengan demikian dalam kondisi seperti ini sebenarnya tidak diperlukan lagi uang muka dari pembeli sebagai tanda jadi. Sebab, apabila pembeli bisa dituntut apabila ingkar janji. Padahal barang yang dipesannya telah dipenuhi penjual. Sebagian ulama menganggap bahwa janji itu tidak mengikat dan penjual harus melakukan kontrak lagi dengan pembeli setelah barang itu tersedia. Termasuk yang memegang pendapat ini adalah Majma' Fiqih Islamy, semacam dewan syariahnya OKI, yang berpusat di Makkah AlMukarramah.
Sebenarnya konsep arbun dengan modifikasi ini telah diakomodir oleh Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) Bahrain dalam standar akuntansi yang diterbitkannya. Konsep itu dinamakan hamisy giddyah dan tidak akan ditemukan di kitab fiqih klasik manapun karena merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat dunia Arab-Islam. Tapi karena lebih maslahat bagi kedua pihak dalam melakukan transaksi, konsep ini dimasukkan ke dalam fatwa yang ditetapkan DSN. Penetapan ini tentu memiliki berbagai akibat. Para akuntan yang tengah membuat standar akuntansi bagi perbankan syariah harus membuat pos tersendiri untuk uang muka ini. Uang muka yang disediakan oleh nasabah pembiayaan Murabahah dibukukan sebagai uang muka. Apabila pembiayaan ditandatangani, bank membukukannya sebagai cicilan pertama. Jika transaksi batal dilaksanakan, uang muka yang dikembalikan harus dicatat pengganti beban yang dikeluarkan bank dalam membeli barang tersebut dari pemasok.
Masalah lain yang muncul adalah soal pemasaran. Meskipun fatwa uang muka Murabahah tidak termasuk dalam kategori wajib, artinya sekedar boleh, hal itu cukup menjadi legitimasi bagi bank syariah untuk mengenakan uang muka dari setiap transaksi pembiayaan Murabahah kepada nasabahnya. Ini tentu menjadi point negatif bagi nilai jual. Kalau sudah begini, tentu yang mengenakan uang muka paling rendahlah yang banyak dicari nasabah.
Dimuat di Tabloid Fikri, Februari 2002
No comments:
Post a Comment