(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Kata orang bijak, sejarah akan berulang. Sepekan setelah ditandatangani perjanjian waliamanat dan penjaminan emisi antara Indosat dengan Bank Rakyat Indonesia dan AAA securities, masing-masing selaku wali amanat (custodian) dan penjamin emisi (underwriter), milis akonomi-syariah@yahoogroups.com penuh dengan diskusi tentang obligasi mudharabah. Kebanyakan peserta mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah obligasi yang secara terminology mengacu pada surat hutang (dan bunga) bisa dipadukan dengan syariah yang nota bene tidak merestui adanya bunga dalam muamalah apapun. Apalagi memakai prinsip mudharabah yang membuka kemungkinan adanya pendapatan yang tidak pasti berdasarkan kondisi bisnis yang berjalan.
Sebagaimana dimaklumi, untuk pertama kalinya dalam sejarah pasar modal sebuah obligasi yang berdasarkan prinisip-prinsip syariah akan dilepas ke pasar. Karuan saja hal ini bikin kaget para pelaku. Apalagi penerbitnyapun tidak sembarangan, yaitu Indosat, perusahaan yang sahamnya dikenal menempati posisi blue chip, alias papan atas. Rupanya selama ini pasar modal seperti cuek terhadap produk keuangan syariah, meskipun sudah ada reksadana syariah yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan investasi. Apalagi ada kesan yang selalu dipelihara bahwa semua produk yang berbau syariah tidak profitable dan tidak professional.
Respon yang muncul pun beragam. Kebanyakan mendukung penerbitan ini sebagai suatu alternatif jitu ditengah lesunya pasar akibat upaya penyembuhan ekonomi yang tertatih-tatih. Ada juga yang pesimis tentang marketability produk ini, mengingat pasar modal penuh dengan tingkah laku spekulan yang tidak syariah. Malah tidak sedikit yang sinis, syariah koq dibawa-bawa ke dunia bisnis.
Bagi yang menyaksikan munculnya bank syariah pertama kali di negeri ini tentu ingat bagaimana respon pasar perbankan terhadapnya. Hal yang sama terulang pada obligasi syariah, tidak kurang dan tidak lebih.
Pertanyaan yang pertama kali muncul persis seperti pertanyaan para peserta milis, apa bisa sebuah bank digandengkan dengan kata "syariah" mengingat sejak jaman dulu kala orang mengindentikkan bank dengan bunga, sesuatu yang selalu dijauhkan oleh para ulama karena dekat dengan riba. Lalu ada pertanyaan profitability, kemudian marketability dan seterusnya.
Sekarang pertanyaan-pertanyaan itu seolah pergi bersama angin sejalan dengan pesatnya kemajuan perbankan syariah dalam tiga tahun belakangan ini. Yang tertinggal adalah pertanyaan tentang pengaturan sistemnya, yang bermakna bahwa sebuah proses kini telah sampai pada tahap pendalaman, bukan soal penerimaan.
Apakah hal yang sama akan terjadi pada obligasi syariah? Wallahu A'lam. Yang jelas menyusun obligasi syariah berarti juga suatu upaya meredifinisi makna obligasi itu dari surat hutang menjadi surat berharga yang tidak selalu berisi hutang. Dengan menempelkan produk Mudharabah pada obligasi, yang dalam terminologi Fiqih Muamalat berarti bagi untung/ hasil, maka surat berharga itu berisi modal investasi dengan keuntungan/hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati dimuka. Dengan kata lain, ada pengkayaan (enrichment) dalam definisi obligasi.
Sebagian pihak mengusulkan istilah obligasi diganti dengan kata sertifikat, sebagaimana yang digunakan di negara-negara lain seperti Bahrain dan Malaysia, untuk membedakannya dengan obligasi biasa. Rupanya mereka lupa bahwa otoritas pasar modal telah lam "mengubur" istilah sertifikat dari pasar modal, dan menjadikannya kata generik. Artinya apabila seseorang menyebut 'sertifikat' dalam dunia pasar modal, itu bisa berarti saham, bisa juga obligasi. Tetapi usulan itu patut didukung jika peraturan di negeri ini mengakomodir adanya dual sistem dalam pasar modal, sebagaimana yang sudah berjalan dalam perbankan.
Obligasi syariah perdana yang dilepas ke pasar ini menggunakan Mudharabah, karena dikhususkan untuk membiayai modal kerja pada bisnis tertentu. Padahal semua tahu bahwa obligasi ini dilepas berbarengan dengan obligasi biasa. Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana memisahkan dana yang didapat dari obligasi syariah dari dana yang diperoleh dari obligasi biasa? Pertanyaan ini cukup menggelitik, karena jawabannya akan tergantung kepada moral dan etika emiten dalam mengelolanya. Buat kita cukuplah pengalaman yang membuktikan bahwa para pelaku pasar umumnya amat hati-hati mengelola dana syariah, karena punya implikasi yang amat luas kepada masalah spiritual dan pendapat publik. Disamping itu, penerbitan ini juga didampingi Dewan Syariah Nasional yang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah syariah.
Walhasil, sebuah terobosan telah dilakukan. Kini tinggal bagaimana menjaganya serta mengembangkannya dengan produk lain, misalnya Obligasi Ijarah (leasing) dan Obligasi Murabahah (jual beli). Obligasi ini lebih marketable dan lebih mudah disusun, karena didasari pada kontrak-kontrak dengan berbasiskan transaksi riil dan berpendapatan pasti (Uqud Musamma, natural certainty contract). Kalau demikian halnya, maka pasar modal syariah bukan lagi sebuah mimpi, bahkan bisa lebih maju ketimbang negara jiran yang sudah sukses mengembangkannya lebih dulu.
Dimuat di Tabloid Fikri, September 2002
Cecep Maskanul Hakim
Kata orang bijak, sejarah akan berulang. Sepekan setelah ditandatangani perjanjian waliamanat dan penjaminan emisi antara Indosat dengan Bank Rakyat Indonesia dan AAA securities, masing-masing selaku wali amanat (custodian) dan penjamin emisi (underwriter), milis akonomi-syariah@yahoogroups.com penuh dengan diskusi tentang obligasi mudharabah. Kebanyakan peserta mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah obligasi yang secara terminology mengacu pada surat hutang (dan bunga) bisa dipadukan dengan syariah yang nota bene tidak merestui adanya bunga dalam muamalah apapun. Apalagi memakai prinsip mudharabah yang membuka kemungkinan adanya pendapatan yang tidak pasti berdasarkan kondisi bisnis yang berjalan.
Sebagaimana dimaklumi, untuk pertama kalinya dalam sejarah pasar modal sebuah obligasi yang berdasarkan prinisip-prinsip syariah akan dilepas ke pasar. Karuan saja hal ini bikin kaget para pelaku. Apalagi penerbitnyapun tidak sembarangan, yaitu Indosat, perusahaan yang sahamnya dikenal menempati posisi blue chip, alias papan atas. Rupanya selama ini pasar modal seperti cuek terhadap produk keuangan syariah, meskipun sudah ada reksadana syariah yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan investasi. Apalagi ada kesan yang selalu dipelihara bahwa semua produk yang berbau syariah tidak profitable dan tidak professional.
Respon yang muncul pun beragam. Kebanyakan mendukung penerbitan ini sebagai suatu alternatif jitu ditengah lesunya pasar akibat upaya penyembuhan ekonomi yang tertatih-tatih. Ada juga yang pesimis tentang marketability produk ini, mengingat pasar modal penuh dengan tingkah laku spekulan yang tidak syariah. Malah tidak sedikit yang sinis, syariah koq dibawa-bawa ke dunia bisnis.
Bagi yang menyaksikan munculnya bank syariah pertama kali di negeri ini tentu ingat bagaimana respon pasar perbankan terhadapnya. Hal yang sama terulang pada obligasi syariah, tidak kurang dan tidak lebih.
Pertanyaan yang pertama kali muncul persis seperti pertanyaan para peserta milis, apa bisa sebuah bank digandengkan dengan kata "syariah" mengingat sejak jaman dulu kala orang mengindentikkan bank dengan bunga, sesuatu yang selalu dijauhkan oleh para ulama karena dekat dengan riba. Lalu ada pertanyaan profitability, kemudian marketability dan seterusnya.
Sekarang pertanyaan-pertanyaan itu seolah pergi bersama angin sejalan dengan pesatnya kemajuan perbankan syariah dalam tiga tahun belakangan ini. Yang tertinggal adalah pertanyaan tentang pengaturan sistemnya, yang bermakna bahwa sebuah proses kini telah sampai pada tahap pendalaman, bukan soal penerimaan.
Apakah hal yang sama akan terjadi pada obligasi syariah? Wallahu A'lam. Yang jelas menyusun obligasi syariah berarti juga suatu upaya meredifinisi makna obligasi itu dari surat hutang menjadi surat berharga yang tidak selalu berisi hutang. Dengan menempelkan produk Mudharabah pada obligasi, yang dalam terminologi Fiqih Muamalat berarti bagi untung/ hasil, maka surat berharga itu berisi modal investasi dengan keuntungan/hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati dimuka. Dengan kata lain, ada pengkayaan (enrichment) dalam definisi obligasi.
Sebagian pihak mengusulkan istilah obligasi diganti dengan kata sertifikat, sebagaimana yang digunakan di negara-negara lain seperti Bahrain dan Malaysia, untuk membedakannya dengan obligasi biasa. Rupanya mereka lupa bahwa otoritas pasar modal telah lam "mengubur" istilah sertifikat dari pasar modal, dan menjadikannya kata generik. Artinya apabila seseorang menyebut 'sertifikat' dalam dunia pasar modal, itu bisa berarti saham, bisa juga obligasi. Tetapi usulan itu patut didukung jika peraturan di negeri ini mengakomodir adanya dual sistem dalam pasar modal, sebagaimana yang sudah berjalan dalam perbankan.
Obligasi syariah perdana yang dilepas ke pasar ini menggunakan Mudharabah, karena dikhususkan untuk membiayai modal kerja pada bisnis tertentu. Padahal semua tahu bahwa obligasi ini dilepas berbarengan dengan obligasi biasa. Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana memisahkan dana yang didapat dari obligasi syariah dari dana yang diperoleh dari obligasi biasa? Pertanyaan ini cukup menggelitik, karena jawabannya akan tergantung kepada moral dan etika emiten dalam mengelolanya. Buat kita cukuplah pengalaman yang membuktikan bahwa para pelaku pasar umumnya amat hati-hati mengelola dana syariah, karena punya implikasi yang amat luas kepada masalah spiritual dan pendapat publik. Disamping itu, penerbitan ini juga didampingi Dewan Syariah Nasional yang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah syariah.
Walhasil, sebuah terobosan telah dilakukan. Kini tinggal bagaimana menjaganya serta mengembangkannya dengan produk lain, misalnya Obligasi Ijarah (leasing) dan Obligasi Murabahah (jual beli). Obligasi ini lebih marketable dan lebih mudah disusun, karena didasari pada kontrak-kontrak dengan berbasiskan transaksi riil dan berpendapatan pasti (Uqud Musamma, natural certainty contract). Kalau demikian halnya, maka pasar modal syariah bukan lagi sebuah mimpi, bahkan bisa lebih maju ketimbang negara jiran yang sudah sukses mengembangkannya lebih dulu.
Dimuat di Tabloid Fikri, September 2002
No comments:
Post a Comment