Perjajahan membuat dunia Islam menjadi pengekor di segala bidang, termasuk di bidang keuangan. Kita selalu mengikuti apa saja yang dilakukan penjajah, termasuk praktek yang ada dalam perbankan.
Demikian dikeluhkan mendiang Abdul Hamid Annagar, pelopor Bank Islam di Mesir, dalam bukunya Almuhafizun Wal Mu’ashirun. Di Indonesia Bung Hatta menyebut watak seperti ini sebagai inlander, yaitu karakter yang selalu minder di hadapan penjajahnya, walaupun sang penjajah belum selalu benar. Anehnya, inlander ini akan merasa bangga memakai atribut penjajahnya bila bergabung dengan teman sebangsanya. Ia menjadi asing dengan tradisi yang melahirkan dan membesarkannya.
Maka tak heran bila Bung Hatta memilih menerapkan koperasi sebagai soko guru pembangunan ekonomi rakyat Indonesia. Sebab kebersamaannya lebih terasa, ketimbang perbankan yang nuansa kapitalisnya lebih menonjol. Sayang sekali, ide luhur ini berantakan ketika pemerintah mengeluarkan Pakto 88 yang berisi regulasi bidang perbankan. Sejak saat itu bank-bank bermunculan bak jamur di musim hujan, dengan SDM seadanya dan sistim pengawasan yang kedodoran. Tidak lebih dari sepuluh tahun kemudian bank-bank itu rontok dihantam krisis ekonomi.
Watak inlander yang dimiliki bangsa ini rupanya tidak berubah. Para ekonom mencontek apa saja yang datang dari Barat, yang mereka anggap lebih maju dan modern, termasuk di dalamnya sistim perbankan. Padahal sistim yang ada dalam negerinya belum tentu jelek. Sistim perbankan yang berdasarkan bunga sejak lama merupakan sesuatu yang asing pada masyarakat Indonesia, karena sistim yang berakar dari tradisi sudah established, seperti maro (Sunda), martelu (Jawa) dan mawa (Aceh). Kredit berbunga dari bank tidak lebih baik dari kredit barang berdasarkan jual beli yang dilakukan oleh para pedagang di Tasikmalaya.
Ketika perbankan syari’ah diperkenalkan tahun 1992, para banker inlander ini menganggapnya sesuatu yang asing dan aneh. “Mana mungkin bank beroperasi tanpa bunga? Bank kok melakukan jual dan bagi hasil, kayak warung saja? Ah, sama saja, bedanya kan masyarakat tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, yang umumnya diambil dari ajaran Islam. Seharusnya keheranan itu tidak pernah terjadi seandainya para inlander tidak rerlalu asing dengan budaya masyarakat sendiri.
Setelah dihajar krisis ekonomi pada tahun 1998, para inlander diam-diam mengakui bahwa bank syari’ah memiliki resistensi tinggi. Saat bank-bank berguguran, bank syari’ah justru melenggang. Kini Bank Indonesia menjadikannya salah satu infrastruktur dalam program restrukturisasi untuk memperkuat daya tahan sistim perbankan. Bahkan IMF, penguasa riil ekonomi Indonesia, memberikan perhatian khusus kepada Perbankan Islam setelah mengadakan konferensi bersama AAOIFI dan Islamic Development Bank (IDB) di Bahrain tahun 2000. Kalau sudah demikian, haruskah gaya inlander ini kita pertahankan?
Dimuat di Tabloid FIkri, 2002
Demikian dikeluhkan mendiang Abdul Hamid Annagar, pelopor Bank Islam di Mesir, dalam bukunya Almuhafizun Wal Mu’ashirun. Di Indonesia Bung Hatta menyebut watak seperti ini sebagai inlander, yaitu karakter yang selalu minder di hadapan penjajahnya, walaupun sang penjajah belum selalu benar. Anehnya, inlander ini akan merasa bangga memakai atribut penjajahnya bila bergabung dengan teman sebangsanya. Ia menjadi asing dengan tradisi yang melahirkan dan membesarkannya.
Maka tak heran bila Bung Hatta memilih menerapkan koperasi sebagai soko guru pembangunan ekonomi rakyat Indonesia. Sebab kebersamaannya lebih terasa, ketimbang perbankan yang nuansa kapitalisnya lebih menonjol. Sayang sekali, ide luhur ini berantakan ketika pemerintah mengeluarkan Pakto 88 yang berisi regulasi bidang perbankan. Sejak saat itu bank-bank bermunculan bak jamur di musim hujan, dengan SDM seadanya dan sistim pengawasan yang kedodoran. Tidak lebih dari sepuluh tahun kemudian bank-bank itu rontok dihantam krisis ekonomi.
Watak inlander yang dimiliki bangsa ini rupanya tidak berubah. Para ekonom mencontek apa saja yang datang dari Barat, yang mereka anggap lebih maju dan modern, termasuk di dalamnya sistim perbankan. Padahal sistim yang ada dalam negerinya belum tentu jelek. Sistim perbankan yang berdasarkan bunga sejak lama merupakan sesuatu yang asing pada masyarakat Indonesia, karena sistim yang berakar dari tradisi sudah established, seperti maro (Sunda), martelu (Jawa) dan mawa (Aceh). Kredit berbunga dari bank tidak lebih baik dari kredit barang berdasarkan jual beli yang dilakukan oleh para pedagang di Tasikmalaya.
Ketika perbankan syari’ah diperkenalkan tahun 1992, para banker inlander ini menganggapnya sesuatu yang asing dan aneh. “Mana mungkin bank beroperasi tanpa bunga? Bank kok melakukan jual dan bagi hasil, kayak warung saja? Ah, sama saja, bedanya kan masyarakat tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, yang umumnya diambil dari ajaran Islam. Seharusnya keheranan itu tidak pernah terjadi seandainya para inlander tidak rerlalu asing dengan budaya masyarakat sendiri.
Setelah dihajar krisis ekonomi pada tahun 1998, para inlander diam-diam mengakui bahwa bank syari’ah memiliki resistensi tinggi. Saat bank-bank berguguran, bank syari’ah justru melenggang. Kini Bank Indonesia menjadikannya salah satu infrastruktur dalam program restrukturisasi untuk memperkuat daya tahan sistim perbankan. Bahkan IMF, penguasa riil ekonomi Indonesia, memberikan perhatian khusus kepada Perbankan Islam setelah mengadakan konferensi bersama AAOIFI dan Islamic Development Bank (IDB) di Bahrain tahun 2000. Kalau sudah demikian, haruskah gaya inlander ini kita pertahankan?
Dimuat di Tabloid FIkri, 2002
No comments:
Post a Comment