(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Bagi seorang karyawan perusahaan milik swasta hanya ada satu kata kalau berhenti bekerja, yaitu pesangon. Dia tidak bisa berharap untuk dapat pensiun karena ia bukan pegawai negeri. Padahal jaman sekarang pensiun sudah bukan lagi monopoli pegawai negeri. Banyak perusahaan dana pensiun menawarkan program perencanaan pensiun para karyawan.
Dana pensiun, sebagaimana sebuah lembaga keuangan menghimpun dana lewat tabungan karyawan untuk jangka panjang. Dana-dana itu dikumpulkan dan diinvestasikan ke berbagai sektor untuk mendapatkan keuntungan yang pada gilirannya untuk membayar para peserta. Di berbagai negara program dana pensiun bukan lagi sebuah program istimewa, malah jadi keharusan. Hal itu dilakukan untuk keuntungan karyawan sendiri, semacam jaminan hari tua.
Sudah bukan rahasia lagi, dana pensiun adalah lembaga yang memiliki dana besar. Di Malaysia Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) merupakan cerita sukses sebuah dana pensiun dalam mengelola uang karyawan. Demikian pula Employee Providence Fund (EPF) di Singapura. Tiap tahun kedua lembaga itu mencatat keuntungan lebih dari 40% dari dana yang diinvestasikannya. Bahkan ketika ekonomi global sedang menuju krisis seperti sekarang
ini.
Apa kunci sukses dana pensiun itu? Kuncinya hanya satu, yaitu amanah. Para pengelola dana pensiun di kedua negara tahu betul, apabila amanah itu dikhianati maka yang rusak bukan hanya nama baik si pengelola, tetapi lembaga yang dikelola juga kena imbasnya. Nampaknya penyakit khianat terhadap amanah ini yang menjangkiti dana pensiun di Indonesia, sehingga kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut jadi pudar. Ingat kasus Jamsostek dan Taspen? Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya. Lembaga tempat karyawan dan pegawai menggantungkan masa depannya harus keropos karena mental pengelolanya.
Banyak yang tidak sadar, bahkan di kalangan ummat sendiri, bahwa program pensiun sudah dilaksanakan sejak jaman Khalifah Abubakar Siddiq ra. Tentu belum dalam bentuknya yang sekarang. Pendapatan negara dalam bentuk kharaj, jizyah dan ghanimah, tulis Dr. Hasanuzzaman dalam Economic Function of an Islamic State, sebagian dialokasikan untuk membayar para tentara yang ikut berperang dan terkena cacat permanen. Ada juga yang diberikan tanah dari daerah yang ditaklukkan. Tradisi pemberian tanah ini kemudian dihilangkan di zaman Umar bin Khattab menjadi khalifah.
Bagi ulama ada beberapa persoalan yang belum selesai dalam dana pensiun. Pertama soal investasi. Jika diukur dengan keputusan Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah pada tahun 1997, (yang merupakan panduan investasi umum bagi lembaga keuangan) dana pensiun harus menyesuaikan investasinya agar sesuai syariah. Misalnya kalau mau investasi di saham dan obligasi, maka harus dipilih saham emiten yang tidak terlibat dalam produksi makanan dan minuman non halal dan yang tidak beroperasi berdasarkan riba. Panduan itu juga menggariskan rasio maksimal Debt to Equity Ratio (DER) yang dimiliki emiten. Ada yang mengeluhkan panduan ini pada awalnya, karena syaratnya terlalu ketat. Tapi kemudian diakui bahwa investasi mengikuti panduan ini ternyata menyelamatkan portofolio yang dipegang, karena terhindar dari fluktuasi tajam akibat krisis yang berkepanjangan.
Persoalan lain adalah ketentuan yang mengharuskan peserta dana pensiun menentukan kepada siapa manfaat dana pensiun akan diberikan apabila ia meninggal dunia. Pilihan seperti ini jelas melangkahi hukum waris yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Ketentuan yang memberikan pilihan seperti ini nampaknya dicopy mentah-mentah dari dana pensiun ala Eropa dan Amerika. Hukum Barat tidak membedakan antara waris dan wasiat, dan hanya mengenal satu kata untuk keduanya, yaitu “will.” Seseorang yang telah memberi wasiat (will) sebelum wafat, bahwa seluruh hartanya akan diberikan kepada seseorang meskipun bukan ahli warisnya, maka yang lain hanya bisa gigit jari. Padahal dalam Islam wasiat hanya boleh sepertiga dari harta warisan. Selebihnya harus jatuh kepada ahli waris dengan perhitungan yang telah digariskan oleh ajaran Islam.
Ada pula ketentuan yang mengharuskan dana pensiun yang apabila menempatkan dana di deposito pendapatannya tidak boleh kurang dari 14 % pertahun. Hal ini tentu saja merupakan pukulan terhadap perbankan syariah. Sebagaimana diketahui, deposito dalam perbankan syariah umumnya mengikuti prinsip syariah. Artinya tidak boleh menentukan persentasi pendapatan terhadap modal investasi di awal usaha. Siapa yang bisa memastikan apa yang ia dapatkan esok hari? Hukum ekonomi juga mengenal adanya booming dan recession. Mengharuskan pendapatan deposito tidak boleh kurang dari 14% berarti telah meningkari hukum alam itu sendiri.
Di sisi lain, memang ada yang harus dibenahi dalam perbankan syariah. Seringkali pendapatan yang dibagikan kepada penyimpan lebih kecil dari perolehan yang didapat dalam perbankan konvensional. Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya sadar syariah, perbedaan sedikit saja dalam jumlah akan menjadi persoalan besar. Perbankan syariah tidak bisa lagi mengandalkan kehalalan produk sebagai nilai jual. Ia harus membuktikan bahwa dengan perbankan syariah masyarakat juga lebih diuntungkan secara bisnis. Untuk bisa lebih bersaing dalam bisnis, harus lebih banyak produk yang diciptakan, selain jaringan yang diperluas. Bagaimana mungkin bisa bersaing kalau produknya cuma yang itu-itu saja dan jaringannya hanya di kota-kota tertentu?
Pendapatan yang kecil tentu berpengaruh kepada pembayaran manfaat pensiun kepada para peserta. Padahal diantara produk yang ditawarkan adalah manfaat pasti. Bagaimana jika pendapatan investasi tidak dapat menutup pembayaran manfaat tersebut? Hal ini juga memerlukan pembahasan lagi dari sisi syariah. Jika dana pensiun sebagai suatu lembaga yang tunduk kepada hukum syariah, kepastian besarnya manfaat sulit dicarikan keabsahannya.
Pertanyaan fundamental seperti diatas harus segera dijawab, sebab menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebelumnya sudah ada dua dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) yang beroperasi secara syariah. Sekarang hanya tinggal satu, yaitu DPLK Muamalat, setelah DPLK syariah di Principal ditutup. Pertanyaannya, kapan karyawan swasta kita dapat menikmati pensiun yang dikelola secara syariah kalau perusahaan seperti ini
hanya satu?
Dimuat di Tabloid Fikri, Januari 2002
mohon ijin utk kami muat pada suwendi-online.blogspot.com, semoga menjadikan banyak oranglain yg tahu kemvbali akan makna tulisan anda,amin.tks (@rief)
ReplyDeleteSaya persilahkan dengan senang hati. Kata ulama dulu, tulisan yang kita buat akan menjadi pahala bagi orang yang membacanya. Insya Allah
ReplyDelete