(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Telah lama para bankir syariah mengeluhkan kesulitan tidak adanya pasar uang bagi perbankan syariah. Pasar uang mutlak dibutuhkan mengingat tidak selamanya bank syariah pada posisi likuid yang dengan mudah membayar kewajiban kepada nasabah penyimpannya. Selama ini bank syariah selalu mencari solusi likuiditas dari pasar uang konvensional, yang berdasarkan bunga. Keabsahan transaksi ini tentu diragukan para Dewan Pengawas Syariah sejak lama, tapi nampaknya tidak ada jalan lain, dan manajemen selalu menggunakan alasan pamungkas untuk ini, yaitu darurat. Dan kondisi darurat, sebagaimana disebutkan dalam jurisprudensi Islam, tubihul mahzuraat, alias membolehkan yang dilarang.
Sebenarnya alasan darurat kini sudah tidak tepat lagi digunakan. Pada tahun 2000 Bank Indonesia telah memperkenalkan dua instrumen pasar uang bagi perbankan syariah, yaitu Sertifikat Investasi Mudharabah antar bank syariah atau Sertifikat IMA, dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia atau SWBI. Sertifikat IMA merupakan sertifikat yang dapat dijual oleh bank syariah, atau unit usaha syariah bank konvensional, yang memerlukan likuiditas kepada pihak lain dengan bagi hasil yang disepakati. Dengan kata lain sertifikat ini merupakan instrumen likuiditas antar bank. SWBI adalah instrumen yang dikeluarkan Bank Indonesia apabila bank mengalami kelebihan likuiditas. Karena dasarnya wadiah (titipan), sertifikat ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali Bank Indonesia memberikan semacam hadiah atau bonus kepada bank yang menitipkan dananya.
Banyak pihak yang kritis terhadap instrumen ini, terutama SWBI. Ada yang mengatakan bahwa instrumen ini hanya potokopi dari Sertifikat Bank Indonesia, instrumen moneter Bank Indonesia untuk melakukan ekspansi dan kontraksi peredaran uang melalui bank konvensional dengan bunga tertentu. Sebagaimana dimaklumi, SBI kini menjadi alat bagi bank konvensional untuk mencari keuntungan ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil. Adanya SWBI malah menjadikan bank syariah seperti bank konvensional, cukup menitipkan uangnya di Bank Indonesia dengan mengharapkan bonus dan tidak menyalurkannya kepada sektor riil. Alasan ini cukup mendasar karena adanya permintaan dari bank syariah dan unit usaha syariah agar tingkat bonus SWBI disamakan dengan tingkat bunga SBI! Pihak lain mempertanyakan darimana bonus yang dibayarkan Bank Indonesia SWBI. Banyak yang tidak ingat bahwa sebenarnya SWBI adalah instrumen sementara, karena belum adanya pasar uang antar perbankan syariah. Apabila pasar uang antar bank syariah sudah berkembang, kemungkinan besar fasilitas ini akan dihilangkan. Masalahnya sampai kapan?
Kenyataan di perbankan syariah berbicara lain. Sebagian bank syariah yang malah berkutat mengembangkan produk retail untuk menyaingi produk perbankan konvensional. Sebagian sibuk ekspansi bikin cabang baru. Malah ada diantaranya yang rajin ngurusin politik, bikin statement kagak karuan.
Lain di Indonesia, lain pula di Malaysia dan Bahrain. Disana justru yang rajin bikin instrumen pasar uang justru bank syariahnya sendiri. Karena aktifnya membuat piranti pasar uang ini, AAOIFI sebagai lembaga standarisasi kemudian membuat standar akuntansi dan standar syariah untuk pembuatan instrumen berdasarkan transaksi-tansaksi seperti Salam, Istisna, Mudharabah dan lainnya. Selain itu untuk mengakomodasi pasar uang antar bank syariah yang bersifat internasional, International Islamic Financial Market (IIFM) yang dipelopori Islamic Development Bank dan AAOIFI sudah mulai beroperasi awal April ini. Para player nya kebanyakan dari negara Timur Tengah dan Malaysia.Sementara dari Indonesia belum ada yang bisa diharapkan, karena belum memenuhi kriteria. Entah kapan bank syariah di Indonesia jadi player. Wallahu A’lam.
Dimuat di Tabloid Fikri, April 2002
Cecep Maskanul Hakim
Telah lama para bankir syariah mengeluhkan kesulitan tidak adanya pasar uang bagi perbankan syariah. Pasar uang mutlak dibutuhkan mengingat tidak selamanya bank syariah pada posisi likuid yang dengan mudah membayar kewajiban kepada nasabah penyimpannya. Selama ini bank syariah selalu mencari solusi likuiditas dari pasar uang konvensional, yang berdasarkan bunga. Keabsahan transaksi ini tentu diragukan para Dewan Pengawas Syariah sejak lama, tapi nampaknya tidak ada jalan lain, dan manajemen selalu menggunakan alasan pamungkas untuk ini, yaitu darurat. Dan kondisi darurat, sebagaimana disebutkan dalam jurisprudensi Islam, tubihul mahzuraat, alias membolehkan yang dilarang.
Sebenarnya alasan darurat kini sudah tidak tepat lagi digunakan. Pada tahun 2000 Bank Indonesia telah memperkenalkan dua instrumen pasar uang bagi perbankan syariah, yaitu Sertifikat Investasi Mudharabah antar bank syariah atau Sertifikat IMA, dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia atau SWBI. Sertifikat IMA merupakan sertifikat yang dapat dijual oleh bank syariah, atau unit usaha syariah bank konvensional, yang memerlukan likuiditas kepada pihak lain dengan bagi hasil yang disepakati. Dengan kata lain sertifikat ini merupakan instrumen likuiditas antar bank. SWBI adalah instrumen yang dikeluarkan Bank Indonesia apabila bank mengalami kelebihan likuiditas. Karena dasarnya wadiah (titipan), sertifikat ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali Bank Indonesia memberikan semacam hadiah atau bonus kepada bank yang menitipkan dananya.
Banyak pihak yang kritis terhadap instrumen ini, terutama SWBI. Ada yang mengatakan bahwa instrumen ini hanya potokopi dari Sertifikat Bank Indonesia, instrumen moneter Bank Indonesia untuk melakukan ekspansi dan kontraksi peredaran uang melalui bank konvensional dengan bunga tertentu. Sebagaimana dimaklumi, SBI kini menjadi alat bagi bank konvensional untuk mencari keuntungan ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil. Adanya SWBI malah menjadikan bank syariah seperti bank konvensional, cukup menitipkan uangnya di Bank Indonesia dengan mengharapkan bonus dan tidak menyalurkannya kepada sektor riil. Alasan ini cukup mendasar karena adanya permintaan dari bank syariah dan unit usaha syariah agar tingkat bonus SWBI disamakan dengan tingkat bunga SBI! Pihak lain mempertanyakan darimana bonus yang dibayarkan Bank Indonesia SWBI. Banyak yang tidak ingat bahwa sebenarnya SWBI adalah instrumen sementara, karena belum adanya pasar uang antar perbankan syariah. Apabila pasar uang antar bank syariah sudah berkembang, kemungkinan besar fasilitas ini akan dihilangkan. Masalahnya sampai kapan?
Kenyataan di perbankan syariah berbicara lain. Sebagian bank syariah yang malah berkutat mengembangkan produk retail untuk menyaingi produk perbankan konvensional. Sebagian sibuk ekspansi bikin cabang baru. Malah ada diantaranya yang rajin ngurusin politik, bikin statement kagak karuan.
Lain di Indonesia, lain pula di Malaysia dan Bahrain. Disana justru yang rajin bikin instrumen pasar uang justru bank syariahnya sendiri. Karena aktifnya membuat piranti pasar uang ini, AAOIFI sebagai lembaga standarisasi kemudian membuat standar akuntansi dan standar syariah untuk pembuatan instrumen berdasarkan transaksi-tansaksi seperti Salam, Istisna, Mudharabah dan lainnya. Selain itu untuk mengakomodasi pasar uang antar bank syariah yang bersifat internasional, International Islamic Financial Market (IIFM) yang dipelopori Islamic Development Bank dan AAOIFI sudah mulai beroperasi awal April ini. Para player nya kebanyakan dari negara Timur Tengah dan Malaysia.Sementara dari Indonesia belum ada yang bisa diharapkan, karena belum memenuhi kriteria. Entah kapan bank syariah di Indonesia jadi player. Wallahu A’lam.
Dimuat di Tabloid Fikri, April 2002
No comments:
Post a Comment