(Re-load tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim
Tepat di hari ulang tahun keduanya, Nopember 2001 yang lalu Bank Syariah Mandiri meluncurkan sebuah produk yang disebut Gadai Emas. Produk pembiayaan yang didasarkan pada akad Rahn ini berusaha merespon permintaan akan adanya pembiayaan yang tidak memerlukan proses berbelit. Yang penting nasabah punya emas, maka pinjaman pun diperoleh tanpa dipusingkan dengan urusan tetek bengek pembiayaan yang seringkali makan waktu.
Seperti biasa, respon pun bermunculan. Komentar miring datang dari Perum Pegadaian yang menurut sebagian orang merasa tersaingi dengan datangnya produk ini. Meskipun direkturnya mengatakan tidak takut tersaingi. Padahal secara bisnis semua orang tahu, pegadaian tengah menggodok produk syariah untuk dipasarkan di daerah yang tengah berusaha menerapkan syariat Islam, seperti di Aceh. Dengan alasan bank tidak berhak mengeluarkan produk gadai, Pegadaian meminta agar Bank Syariah Mandiri minta izin dulu dari Departemen Keuangan. Nampaknya Pegadaian masih memahami bank syariah seperti bank konvensional yang hanya mengeluarkan produk pinjaman. Padahal ketentuan yang menyatakan bank syariah dapat menggunakan produk Rahn sudah jelas tertuang dalam SK Direktur Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tentang Tata Cara Pembukan Kantor Bank Syariah.
Komentar lain datang dari kalangan perbankan syariah. Para bankir menyatakan bahwa akad Rahn adalah akad pendukung alias assessoare dari transaksi lainnya seperti Murabahah atau Salam. Dengan kata lain ia tidak bisa berdiri sendiri. Dalil yang digunakan adalah QS. Albaqarah ayat 283 yang mengandung pengertian jaminan atas suatu transaksi yang tidak tunai. Demikian pula hadist yang mengisahkan bahwa Nabi SAW menjaminkan baju besinya kepada seorang pedagang Yahudi ketika membeli gandum. Mengikuti pendapat ini maka sebenarnya para bankir telah membatasi Rahn kepada pengertian jaminan. Padahal Rahn bisa bermakna dua, jaminan (fiducia) dan gadai.
Menganggap bahwa Rahn hanya akad pendukung juga tidak sepenuhnya tepat. Dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu transaksi jual beli atau pinjaman mendahului jaminan. Seringkali jaminan datang mendahului transaksi. Pada kondisi ini jaminan telah menjadi gadai yang juga menjadi akad utama, sedangkan jual beli atau pinjaman menjadi akad pendukung.
Kekhawatiran para bankir memang beralasan mengingat produk Rahn bukanlah asset produktif dalam arti dapat menghasilkan keuntungan. Para fuqaha mengkategorikan akad ini sebagai akad Tabarru'i alias transaksi yang didasarkan atas tolong menolong, seperti halnya wadiah (titipan), dan qardh (pinjaman uang). Padahal bank adalah lembaga komersial yang berusaha mencari keuntungan dari setiap transaksi yang dilakukan. Dan dana yang digunakan untuk produk gadai biasanya dana yang dititipkan kepada bank oleh nasabah dengan prinsip investasi. Artinya nasabah mengharapkan ada keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan dananya. Hal ini berbeda dengan pegadaian Islam Arrahnu yang dipraktekkan di Trengganu, Malaysia dimana pelaksana gadai ini adalah pemerintah.
Lalu dari mana bank akan memperoleh pendapatan? Mayoritas ulama memang membolehkan upah pemeliharaan barang gadai, meskipun ulama Hanafi tidak membolehkannya, kecuali sebatas nafkah yaitu ongkos untuk membeli makanan dan minuman jika yang digadaikan itu ternak. Masalah muncul ketika imbalan pemeliharaan ini berbentuk persentase dari pinjaman yang diberikan, sebagaimana lazimnya praktek perbankan. Atas praktek ini para ulama di Dewan Syariah Nasional sepakat tidak menyetujuinya, mengingat uang yang keluar karena gadai adalah pinjaman, sedangkan pinjaman yang mewajibkan imbalan berbentuk persentase tidak lebih dari kredit yang berbunga. Jika hal itu yang terjadi, maka gadai syariah sama dengan praktek pegadaian yang selama ini dilakukan Perum Pegadaian. Karena itu disepakati
agar upah tidak dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan, tetapi dengan nilai emas yang digadaikan.
Tapi dengan mengaitkan imbalan dengan nilai emas yang digadaikan juga mengundang soal lain, yaitu keadilan. Jika dua orang menggadaikan masing-masing 10 gram emas dengan nilai Rp.1.500.000,- , sedangkan pinjaman yang diambil kedua orang itu berbeda (karena keperluannya tidak sama), haruskah imbalan yang diambil dari keduanya sama besar?
Selain itu komponen pembentuk imbalan juga masih harus diteliti lebih lanjut. Bank Syariah Mandiri memasukkan diantaranya unsur asuransi, sewa gedung dan nilai tukar valuta asing sebagai dasar perhitungan. Asuransi dan sewa gedung mungkin bisa difahami, tapi apa hubungan nilai tukar valuta asing dengan emas yang digadaikan? Dikhawatirkan imbalan yang harus dibayar oleh nasabah akan berfluktuasi mengikuti naik turunnya nilai valuta asing.
Terlepas berbagai masalah yang dihadapinya, peluncuran gadai emas oleh bank Syariah Mandiri adalah terobosan dalam pengembangan produk bank syariah. Produk syariah lainnya yang tentu bermanfaat bagi ummat masih kita tunggu. Selamat.
Wallahu A'lam.
Sumber: Tabloid Fikri, Januari 2002
Cecep Maskanul Hakim
Tepat di hari ulang tahun keduanya, Nopember 2001 yang lalu Bank Syariah Mandiri meluncurkan sebuah produk yang disebut Gadai Emas. Produk pembiayaan yang didasarkan pada akad Rahn ini berusaha merespon permintaan akan adanya pembiayaan yang tidak memerlukan proses berbelit. Yang penting nasabah punya emas, maka pinjaman pun diperoleh tanpa dipusingkan dengan urusan tetek bengek pembiayaan yang seringkali makan waktu.
Seperti biasa, respon pun bermunculan. Komentar miring datang dari Perum Pegadaian yang menurut sebagian orang merasa tersaingi dengan datangnya produk ini. Meskipun direkturnya mengatakan tidak takut tersaingi. Padahal secara bisnis semua orang tahu, pegadaian tengah menggodok produk syariah untuk dipasarkan di daerah yang tengah berusaha menerapkan syariat Islam, seperti di Aceh. Dengan alasan bank tidak berhak mengeluarkan produk gadai, Pegadaian meminta agar Bank Syariah Mandiri minta izin dulu dari Departemen Keuangan. Nampaknya Pegadaian masih memahami bank syariah seperti bank konvensional yang hanya mengeluarkan produk pinjaman. Padahal ketentuan yang menyatakan bank syariah dapat menggunakan produk Rahn sudah jelas tertuang dalam SK Direktur Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tentang Tata Cara Pembukan Kantor Bank Syariah.
Komentar lain datang dari kalangan perbankan syariah. Para bankir menyatakan bahwa akad Rahn adalah akad pendukung alias assessoare dari transaksi lainnya seperti Murabahah atau Salam. Dengan kata lain ia tidak bisa berdiri sendiri. Dalil yang digunakan adalah QS. Albaqarah ayat 283 yang mengandung pengertian jaminan atas suatu transaksi yang tidak tunai. Demikian pula hadist yang mengisahkan bahwa Nabi SAW menjaminkan baju besinya kepada seorang pedagang Yahudi ketika membeli gandum. Mengikuti pendapat ini maka sebenarnya para bankir telah membatasi Rahn kepada pengertian jaminan. Padahal Rahn bisa bermakna dua, jaminan (fiducia) dan gadai.
Menganggap bahwa Rahn hanya akad pendukung juga tidak sepenuhnya tepat. Dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu transaksi jual beli atau pinjaman mendahului jaminan. Seringkali jaminan datang mendahului transaksi. Pada kondisi ini jaminan telah menjadi gadai yang juga menjadi akad utama, sedangkan jual beli atau pinjaman menjadi akad pendukung.
Kekhawatiran para bankir memang beralasan mengingat produk Rahn bukanlah asset produktif dalam arti dapat menghasilkan keuntungan. Para fuqaha mengkategorikan akad ini sebagai akad Tabarru'i alias transaksi yang didasarkan atas tolong menolong, seperti halnya wadiah (titipan), dan qardh (pinjaman uang). Padahal bank adalah lembaga komersial yang berusaha mencari keuntungan dari setiap transaksi yang dilakukan. Dan dana yang digunakan untuk produk gadai biasanya dana yang dititipkan kepada bank oleh nasabah dengan prinsip investasi. Artinya nasabah mengharapkan ada keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan dananya. Hal ini berbeda dengan pegadaian Islam Arrahnu yang dipraktekkan di Trengganu, Malaysia dimana pelaksana gadai ini adalah pemerintah.
Lalu dari mana bank akan memperoleh pendapatan? Mayoritas ulama memang membolehkan upah pemeliharaan barang gadai, meskipun ulama Hanafi tidak membolehkannya, kecuali sebatas nafkah yaitu ongkos untuk membeli makanan dan minuman jika yang digadaikan itu ternak. Masalah muncul ketika imbalan pemeliharaan ini berbentuk persentase dari pinjaman yang diberikan, sebagaimana lazimnya praktek perbankan. Atas praktek ini para ulama di Dewan Syariah Nasional sepakat tidak menyetujuinya, mengingat uang yang keluar karena gadai adalah pinjaman, sedangkan pinjaman yang mewajibkan imbalan berbentuk persentase tidak lebih dari kredit yang berbunga. Jika hal itu yang terjadi, maka gadai syariah sama dengan praktek pegadaian yang selama ini dilakukan Perum Pegadaian. Karena itu disepakati
agar upah tidak dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan, tetapi dengan nilai emas yang digadaikan.
Tapi dengan mengaitkan imbalan dengan nilai emas yang digadaikan juga mengundang soal lain, yaitu keadilan. Jika dua orang menggadaikan masing-masing 10 gram emas dengan nilai Rp.1.500.000,- , sedangkan pinjaman yang diambil kedua orang itu berbeda (karena keperluannya tidak sama), haruskah imbalan yang diambil dari keduanya sama besar?
Selain itu komponen pembentuk imbalan juga masih harus diteliti lebih lanjut. Bank Syariah Mandiri memasukkan diantaranya unsur asuransi, sewa gedung dan nilai tukar valuta asing sebagai dasar perhitungan. Asuransi dan sewa gedung mungkin bisa difahami, tapi apa hubungan nilai tukar valuta asing dengan emas yang digadaikan? Dikhawatirkan imbalan yang harus dibayar oleh nasabah akan berfluktuasi mengikuti naik turunnya nilai valuta asing.
Terlepas berbagai masalah yang dihadapinya, peluncuran gadai emas oleh bank Syariah Mandiri adalah terobosan dalam pengembangan produk bank syariah. Produk syariah lainnya yang tentu bermanfaat bagi ummat masih kita tunggu. Selamat.
Wallahu A'lam.
Sumber: Tabloid Fikri, Januari 2002
No comments:
Post a Comment