Tuesday, February 17, 2009

Sembilan Alasan Berbunga-ria

(Reload tulisan lama)
Cecep Maskanul Hakim

Ketika para ulama melakukan seminar bunga bank di Cisarua pada tahun 1990, ada beberapa pertimbangan yang membuat mereka ambivalen dan sampai kepada tiga kesimpulan: halal, syubhat dan haram. Padahal beberapa literatur, baik agama maupun ekonomi menghadirkan hujjah yang amat sahih untuk membantah semua alasan yang menghalalkan. Paling tidak ada sembilan dalih orang membolehkan bunga, yang semuanya mudah untuk dijawab.
Ada yang mengatakan bahwa bunga bank itu dibolehkan karena darurat. Pendapat ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1930an oleh KH. Mas Mansur, pendiri dan ketua pertama Majelis Tarjih Muhammadiyah, Para ulama moderen menganggap kekuatan argumen ini didasarkan pada kata kunci "darurat". Padahal kata darurat memiliki batas tegas dalam fiqih, yaitu kalau sudah tidak ada pilihan lain sama sekali. Artinya jika pilihan itu tidak diambil manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Apakah menyimpan uang di tempat lain selain bank akan mengakibatkan kondisi yang dialami manusia jadi darurat? Karena itu alasan ini tidak bisa dipertahankan lagi pada jaman sekarang. Apalagi bank-bank syariah mulai banyak berdiri

Alasan kedua adalah bunga boleh-boleh saja jika wajar. Alasan ini didasarkan atas kata kunci "wajar" yang merupakan kata kualitatif (ambiguous) dan terikat pada jangka waktu dan tempat. Jika menelusuri tingkat suku bunga perbankan pada tahun 1970 (10%-15%) tahun 1980an (15%-20%) dan 1990an (20-25%) serta masa krisis 1997-1998 (50%-90%), tingkat mana yang disebut wajar? Selain itu kata wajar amat subyektif; wajar bagi siapa? Jika kita lihat tingkat suku bunga pasar sebagai ukuran, maka apakah wajar untuk usaha kecil dan menengah. Jika ia tidak wajar untuk usaha kecil dan menengah, mengapa wajar bagi pasar? Argumentasi ini terus berlanjut, sama halnya para ekonom yang tidak pernah dan tidak akan pernah sepakat tentang dasar dikenakannya bunga bagi dunia usaha.

Alasan berikutnya adalah adalah opportunity cost (lost) yang muncul akibat pinjaman uang oleh pihak lain. Argumentasi ini didasarkan asumsi yang amat lemah, yaitu apabila uang dipakai sendiri maka tidak ada costnya. Dengan kata lain, apabila uang dipakai sendiri untuk usaha pasti untung. Kepastian keuntungan apabila uang dipakai untuk usaha sendiri merupakan pengingkaran terhadap teori probabilitas dan hukum alam. Di dunia ini tidak ada yang bisa memastikan seseorang akan berhasil atau tidak. Yang bisa dilakukan seseorang adalah melakukan penghitungan, perkiraan dan kerja keras.

Ada juga yang mengatakan bahwa bunga yang dikenakan untuk usaha dibolehkan dan tidak untuk konsumsi. Argumen ini dinyatakan antara lain oleh almarhum Moh. Hatta, Wakil Presiden pertama dan Bapak Koperasi Indonesia. Pertanyaannya adalah, secara substansi, bisakah kita membedakan antara produksi dan konsumsi. Produksi pada dasrnya adalah konsumsi barang-barang modal dan konsumsi itu sebenarnya memproduksi zat lain seperti energi dan kerja.

"Uang itu komoditi dan harga uang adalah bunga." Slogan itu sering didengungkan para bankir yang berusaha meligitimasi adanya bunga pada transaksi pasar uang. Alasan ini mudah dikaburkan dengan pertanyaan sederhana, apa definisi komoditi? Jika komoditi itu berupa barang dan jasa, seberapa jauh uang dapat memenuhi kriteria kedua jenis komoditi itu? Sejauh ini belum ada yang bisa menjelaskan mengapa uang harus jadi komoditi, karena kalau jadi komoditi yang bisa dijual, kenapa harus dikembalikan? Uang kertas yang ada sekarang misalnya, tidak lebih unggul ketimbang uang emas di jaman klasik (yang bisa dilebur jadi perhiasan), karena secara fisik tidak bisa diandalkan untuk menerima fungsi lain selain pertukaran. Sama halnya para ekonom tidak bisa menjelaskan mengapa uang kemudian memiliki kriteria jasa (misalnya disewakan), padahal uang kertas, salah satu jenisnya, tidak bisa bermanfaat lain kecuali pertukaran. Bisakah uang kertas atau plastik memiliki fungsi seperti tissu atau perhiasan misalnya? Kalau tidak bisa memenuhi sifat barang dan jasa, mengapa bisa dijual atau disewakan? Lagipula saat ini para ekonom dapat melihat betapa dahsyat krisis yang diakibatkan asumsi mempersamakan uang dengan komoditi ini pada ekonomi dunia.

Sebagian ekonom menghitung bunga sebagai penyeimbang laju inflasi. Jika tingkat sukubunga yang didapat dari deposito sebesar 5% sedangkan inflasi juga setingkat yang sama, maka sebenarnya nilai riil uang tidak berubah. Persoalannya, apabila tingkat inflasi nol atau malah negatif (deflasi) seperti yang pernah terjadi di zaman Habibi jadi presiden, mestinya tingkat sukubunga jadi nol atau malah negatif. Artinya para deposan harusnya membayar bunga kepada bank, bukan menerimanya. Selain itu, semua yang pernah belajar teori ekonomi pasti tahu bahwa jika tingkat sukubunga naik, maka dengan serta merta para produsen yang memakai dana pinjaman akan membebankannya pada harga, sehingga terjadi kenaikan harga. Jika hal itu terjadi pada semua komoditas, maka dengan demikian terjadi inflasi. Kalau sudah begini, mana yang benar, sukubunga menyebabkan inflasi atau sebaliknya?

Ekonom lain berusaha mencari justifikasi bunga dengan menganggapnya sebagai imbalan menunggu (Abstinence Concept). Artinya untuk memakai uang yang dipinjam orang lain seseorang harus menunggu, dan untuk itu ia diberikan imbalan. Ada dua argumen yang mematahkan alasan ini. Pertama seseorang yang memiliki uang dan ingin menggunakannya tidak akan meminjamkan kepada orang lain. Untuk apa ia meminjamkan kalau dia sendiri sedang memerlukannya? Kedua, jika menunggu harus diberikan imbalan, ada orang yang memang sengaja menitipkan kepada pihak lain tanpa harus mengingkan imbalan, bahkan kalau perlu ia harus membayarnya. Artinya ada motif lain selain keuntungan, yaitu keamanan dan likuiditas. Bahkan menurut sebuah survey, kedua motif ini merupakan pilihan lebih banyak ketimbang mencari keuntungan.

Para penganut monetaris memberikan alasan lain. Pengalaman dan pelajaran membuktikan bahwa nilai uang sekarang lebih tinggi dari nilai uang di masa depan. Teori ini dikenal dengan nama Time Value of Money. Jika anda jeli, teori ini mirip dengan alasan yang mengatakan bunga sebagai penyeimbang laju inflasi. Masalahnya, benarkah akan selalu terjadi bahwa uang sekarang nilainya lebih tinggi dari uang di masa depan? Teori Time Value of Money sekali lagi mengebiri teori probabilitas menjadi satu kemungkinan, yaitu nilai uang akan terus menerus turun terhadap barang. Padahal semua orang tahu bahwa kuantitas uang ditentukan oleh bank
sentral. Jika bank sentral melakukan kontraksi (pengurangan uang), suka atau tidak suka, nilai uang akan naik, karena jumlahnya sedikit dibanding barang.

Terakhir, ada alasan yang cukup menggelikan. Di zaman Nabi Muhammad, katanya, tidak ada bank. Karena itu bank merupakan barang baru yang tidak terkena kewajiban syariat. Artinya ia bebas melakukan transaksi apapun. Lagian, untuk urusan dunia, ummat Islam dianggap lebih mengetahuinya seperti disebut dalam sebuah hadist. Argumen ini tidak bisa diterima, karena bank merupakan legal entity yang keberadaannya dirumuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan. Siapa yang membuat ketentuan-ketentuan itu selain manusia yang notabene menerima kewajiban menjalankan syariat? Selain itu, bank juga merupakan organisasi yang berisi kumpulan manusia dengan wewenang-wewenang tertentu yang didefinisikan berdasarkan jabatannya. Mengatakan bahwa bank tidak terkena kewajiban menjalankan syariat
artinya sama dengan menyatakan syariat tidak wajib dijalankan oleh sebuah kumpulan manusia. Hadist tentang ummat lebih tahu urusan dunianya ketimbang Rasulullah sifatnya amat spesifik, yaitu soal percampuran dua varitas korma untuk mendapatkan varitas yang lebih baik. Meminjam istilah usul fiqih, hadist itu qath'i tapi tidak tepat untuk menjadi dalil dalam konteks ini, alias zhanniyatud-dilalah. Untuk urusan hukum syariah lebih banyak dalil qath'i, yang harus digunakan baik ayat Quran maupun hadist yang lebih tepat konteksnya alias qath'iyyatud-dilalah. Dalil-dalil ini justru menunjukkan bahwa urusan dunia tidak bisa terpisahkan dari urusan agama.
Wallahu A'lam.

Dimuat di Tabloid Fikri, Juni 2002

No comments:

Post a Comment