Thursday, October 14, 2010

Mengapa Harus Tertipu Lagi?

Dari blog http://cecepmh.blogspot.com/

Memasuki hari ke 20 Ramadhan tahun 1431, yang seharusnya diisi dengan i'tikaf dan ibadah intens lainnya, tiba-tiba datang panggilan pengadilan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan kepada saya. Panggilan itu berhubungan dengan posisi saya sebagai ahli perbankan syariah untuk sebuah kasus besar, yang melibatkan hilangnya uang masyarakat sebesar Rp. 871 milyar. Tersangkanya adalah seorang mantan ustaz bernama Lihan bin H. Bahri.


Orangnya kecil, dan umurnya masih 35 tahun. Tapi petualangannya dalam bidang investasi bikin geger orang se Kalimantan, bahkan nasional. Ia memulainya dengan bisnis permata kecil-kecilan pada tahun 2002. Lalu menawarkan investasi kepada orang yang memiliki dana dengan bagi hasil bervariasi, antara 40%-60% dari keuntungan. Ketika keuntungan diberikan, orang menghitung bahwa jumlah yang diberikan ternyata setara dengan 20% per bulan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Lihan pun mampu mengumpulkan dana dari masyarakat dalam jumlah yang besar, bahkan fantastis, milyaran. Lalu Lihan jadi selebriti. Di setiap acara ia selalu terlihat duduk di samping penguasa daerah, dari tingkat kecamatan sampai tingkat propinsi. Semua ucapannya dikutip sebagai isyarat dan indikator bisnis daerah. Selain itu, kedermawanannya membuat ia semakin dicintai masyarakat. Ia banyak menyumbang disana-sini sebagai tanda bahwa ia berhasil dalam dunia usaha.

Beberapa tahun berlalu, dan Lihan mulai kerepotan membayarkan keuntungan bagi dana yang ditanamkan masyarakat kepadanya. Dibantu seorang staf, ia sibuk mencari dana-dana lebih banyak lagi. Maka, seperti yang terjadi umumnya pada kasus lembaga investasi (ingat kasus Qisar tahun 2002?) dan koperasi simpan pinjam (kospin) di Sulawesi Selatan yang menjanjikan keuntungan/bunga/return tinggi, terjadilah fenomena "gali lubang tutup lubang" atau tepatnya dana yang baru digunakan untuk membayar keuntungan dana yang lama. Fenomena ini lama kelamaan membesar yang pada akhirnya bukan saja keuntungan yang tidak terbayar, tapi juga dana pokoknyapun susah untuk dikembalikan. Keresahanpun timbul di kalangan masyarakat. Beberapa dari mereka berinisiatif melaporkannya kepada polisi. Maka polisipun bergerak.

Lihan dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari undang-undang perbankan sampai perbankan syariah. Untuk perbankan syariah Lihan dianggap melanggar pasal 22 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu melakukan penghimpunan dana tanpa izin dari Bank Indonesia. Ia diancam sangsi yang terdapat dalam pasal 59 undang-undang itu, yaitu minimal 5 tahun penjara dan denda minimal Rp. 10 milyar

Dampak kasus Lihan

Efek kasus Lihan tidak tanggung-tanggung. Ia bagai ombak yang menggulung apa saja yang ada dihadapannya. Tidak urung sutradara bergengsi seperti Hanung Bramantio pun kena panggil pengadilan untuk bersaksi. Itu karena Lihan pernah berinvestasi dalam proyek pembuatan film yang disutradarainya. Juga di salah satu film religi yang sangat populer di tanah air.

Dampak kasus Lihan sangat terasa bagi masyarakat Banjarmasin. Kini sedikit-banyak orang curiga kepada bank syariah. hal ini disebabkan bank syariah memperkenalkan Mudharabah sebagai produk deposito dan tabungannya.

Menurut Prof. Kamrani, mantan rektor IAIN Antasari yang juga salah satu anggota DPS Bank Kalbar Syariah, para dosen di IAIN sampai khawatir meletakkan uang di rekening bank. Mereka kini kembali menyimpan uangnya di rumah, di bawah bantal atau dinding-dinding rumah, yang tentu akan menciptakan masalah keamanan lama.


Pelajaran dari Lihan

Pelajaran yang amat berharga dari kasus Lihan adalah bahwa masyarakat kita masih mudah tertipu. Ingin untung banyak dengan cepat tapi tidak dengan usaha yang wajar dan kerja keras. Dan yang parahnya, masyarakat kita sepertinya tidak pernah belajar dari berbagai kejadian yang sering diungkap dalam media massa itu. Masyarakat masih belum mengerti bahwa menghimpun dana langsung dari banyak orang dalam bentuk simpanan, apalagi investasi harus melalui lembaga yang disahkan secara hukum. Ada yang harus menjadi anggota seperti koperasi, menjadi nasabah seperti di bank atau menjadi investor seperti dalam perusahaan sekurities. Hal ini juga berarti bahwa sosialisasi lembaga keuangan, bukan hanya bank, harus lebih banyak dilakukan.

Pelajaran kedua dapat diambil dari sisi Lihan adalah keberhasilannya dalam membangun kepercayaan yang tidak diimbangi dengan kompetensi membangun kelembagaan yang solid. Kepercayaan dalam bidang bisnis, apalagi keuangan, bukan sesuatu yang datang begitu saja. Tapi jika sudah diperoleh, harus diimbangi dengan kompetensi dalam bidang administrasi dan manajemen. Tanpa kompetensi itu, kepercayaan dari masyarakat bisa menjadi boomerang yang akan berakibat fatal. Seumur hidup orang tidak akan percaya.

Pelajaran ketiga lambatnya penanganan oleh aparat. Polisi mulai bergerak setelah ada pengaduan berkali-kali dari masyarakat bahwa uang mereka tidak dapat dikembalikan oleh Lihan pada saat jatuh tempo. bisa jadi polisi pun masih terkesima dengan orang sekaliber Lihan yang dekat dengan para petinggi, bukan saja tingkat gubernur, tapi juga tingkat nasional. Sejatinya popularitas seseorang tidak menjamin adanya integritas dan kompetensi yang dimilikinya.

Yang lucu, dulu ia didukung banyak orang karena kedermawanannya. Tapi lama-kelamaan dukungan itu memudar. Apalagi setelah terkuak bahwa ia memiliki istri di Jakarta (selain yang ada di Banjarmasin), simpati padanya langsung jatuh. (Waktu saya memberikan keterangan sebagai saksi ahli, yang hadir mendukungnya hanya belasan orang. Sebelumnya bisa ratusan). Saya jadi teringat guyonan orang Banjar tentang istri. Mereka bilang, kalau satu istri, kurang ajar (maksudnya kurang mengerti). Kalau dua istri, baru belajar. Tiga istri, wajar. Empat istri, barulah itu orang banjar namanya. Rupanya baru mau belajar jadi orang Banjar beneran, Lihan sudah diciduk polisi.

Wallahu a'lam

Jakarta, 31 Agustus 2010.

No comments:

Post a Comment