Dosen-dosen kami bagitu antusias menyambut bank syariah. Ketika mendengar bank syariah buka cabang di sekitar sini, mereka minta agar kreditnya dipindahkan ke bank syariah itu. Sebagai atasan saya harus membuat persetujuan. Masalahnya, bank syariah membuat skema yang saya sendiri sebagai dosen syariah jadi tidak mengerti.
Demikian ungkapan jujur sang Ketua STAIN soal rumitnya skema pemindahan hutang dari bank konvensional ke bank syariah. Obrolan di tengah rehat seminar tentang perbankan syariah itu melukiskan betapa perjalanan perbankan syariah masuk ke masyarakat muslim sendiri belum mulus. Ada berbagai kendala untuk bisa diterima. Sebagian karena tidak harmonisnya berbagai ketentuan; syariah, Bank Indonesia dan kelaziman perbankan. Sebagian karena memang pemahaman masyarakat yang belum cukup tentang perbankan syariah.
Seminar tentang akad-akad perbankan syariah di STAIN Batusangkar sebenarnya ditujukan untuk membahas sejauhmana Dewan Syariah Nasional-MUI merumuskan fatwa-fatwa mengenai produk perbankan syariah. Tetapi suasana yang berkembang sebelum seminar sudah terlanjur kritis. Ada nuansa mempertanyakan keunikan perbankan syariah dari perbankan biasa. Seolah alam Pagaruyung sudah menggemakan tanya sebelum seminar dimulai: Apa bedanya bank syariah dengan bank konvensional?
Kebetulan ada pula kasus riilnya, yaitu pemindahan kredit di bank umum setempat ke bank syariah. Para dosen yang umumnya pegawai negeri mengajukan kredit kepada bank umum dengan menjaminkan SK pengangkatan mereka. Ketika mereka mendengar ada bank syariah yang membuka cabang di daerah sekitar, kesadaran beragama mereka pun muncul. Mereka kemudian meminta agar bank syariah dapat menerima pemindahan kredit yang telah mereka terima dari bank daerah. Masalah muncul ketika kredit itu dipindahkan. Bank syariah menawarkan produk murabahah agar nasabah dapat membeli barang yang diinginkan. Para nasabah memprotes karena barang itu sudah mereka miliki. Bagaimana mungkin barang yang sudah dibeli (walaupun uangnya dari ngutang ) terus dibeli lagi? Yang mereka minta adalah agar bank syariah memindahkan hutang mereka dari bank konvensional, bukan malah disuruh beli barang lagi.
Menyadari kesalahan itu, bank syariah akhirnya menggunakan produk Hiwalah. Caranya, nasabah diberikan pinjaman dulu untuk melunasi kewajibannya kepada bank yang lama. Lalu nasabah menjual barang kreditan (yang telah dilunasi itu) kepada bank syariah. Lalu bank syariah menjualnya kembali dengan pembayaran angsuran. Cara seperti ini sebenarnya sudah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI tentang pemindahan hutang. Tapi karena kesan yang terbentuk dari awal sudah tidak bagus, maka cara itupun kembali menuai protes. Ungkapan-ungkapan bernada mempertanyakan perbedaan bank syariah dari bank konvensional kembali bermunculan.
Kalau sudah begini keadaannya, tentu tidak mudah untuk memperbaikinya. Ibarat pepatah Melayu, sekali lancung ke ujian. Padahal bank syariah sedang berusaha menapak di tanah Pagaruyung ini, mencari teman dan kerabat baru (alias networking), dalam rangka melaksanakan pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Tanpa itu, kehadirannya akan dianggap sebagai “bukan orang awak”.
Pertanyaannya, mengapa mengapa Batusangkar dibidik? Mengapa tidak lainnya? Batusangkar dulunya ibukota kerajaan Pagaruyung. Pemandangan di daerah ini masih luar biasa indah dan alami. Disana-sini pesawahan terbentang luas, tepinya berkelok kiri dan kanan. Pohon kelapa menghiasi pematang-pematangnya didampingi pondok dari bilik bambu dan para petani yang sedang menghalau burung. Diujung pesawahan nampak gunung-gunung dan bukit yang menghijau, bercanda dengan matahari pagi yang seakan bermalas-malasan untuk terbit.
Seperti umumnya daerah lain di ranah Minang, masyarakatnya masih kuat memegang adat dan agama. Setiap orang yang ingat Minang pasti ingat semboyan Adat Basandi Syara’, Syara Basandi Kitabullah. Meskipun kata orang sudah luntur, semboyan ini masih tetap diingat dan diperkatakan orang Minang. Wabil khusus masyarakat Tanah Datar, nama kabupaten yang menggantikan wilayah Pagaruyung sekarang. Tradisi ini pula yang akan dibangun kembali, meskipun dengan susah payah, mengingat liberalisme dan individualisme sudah merajalela dimana-mana.
Meskipun begitu, menapaki ranah Minang mestinya tidak bermodalkan emosi keagamaan semata. Memang benar, jika merujuk kepada pemetaan Bank Indonesia tahun 2004 tentang daerah potensial bagi bank syariah. Disitu diperlihatkan bahwa Sumatera Barat merupakan daerah “hijau”. Warna itu bermakna potensial untuk pengembangan. Berbeda misalnya dengan warna merah muda (pink) seperti yang ditunjukkan oleh Kalimantan Tengah atau Bali. Jangan lupa bahwa dalam pemetaan itu, unsur emosi keagamaan juga termasuk unsur penentu. Perlu diingat bahwa pada tahun 2003 ada juga penelitian mengenai potensi dan preferensi nasabah yang juga dilakukan Bank Indonesia. Sasarannya juga masyarakat di Sumatera Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat Minang yang menganggap bahwa bunga bank bertentangan dengan agama hanya berjumlah 30%. Jauh di bawah Jawa (rata2 42,5%), Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan (40%).
Hal ini berarti bahwa meskipun punya semboyan di atas, masyarakat Minang masih tetap dengan sikap rasionalnya. Buat mereka, biarpun pakai label syariah, bila harganya mahal ya tetap saja mahal. Artinya uang yang dikeluarkan lebih banyak daripada bank lainnya. Dalam beberapa sisi, sikap rasional ini terbukti bikin mereka lebih maju dari masyarakat lainnya. Lelucon di pasar Senen yang mengatakan “orang Padang lebih maju dua-tiga langkah dari orang Cina”. Itu artinya kalau pedagang Cina berdagang di toko mereka, orang-orang Padang justru berjualan di jalanan yang jaraknya dua-tiga langkah lebih kedepan. Karuan saja dagangan mereka duluan yang dilihat oleh pembeli.
Alhasil, kalau bank syariah mau masuk ke daerah seperti ini, diperlukan minimal dua kompetensi bagi para pegawainya: pengetahuan syariah dan layanan yang murah. Jika tidak memiliki kompetensi yang pertama, sebaiknya jujur saja dan serahkan kepada yang ahli. Jika layanan masih terasa mahal, sebaiknya keuntungan dikurangi. Kalaupun pilihannya tetap lebih mahal, semestinya kualitas dalam layanan harus lebih baik dari bank lainnya. Sejatinya memang tidak selalu yang syariah itu lebih murah. Karena tidak ada korelasi khusus antara ketaatan syariah dengan murah-mahalnya suatu layanan. Masalahnya, jangan sampai terjadi double trouble¸ sudah mahal, membingungkan pula. Kata Nabi yang mulia: “permudahlah, jangan persulit.”
Batusangkar
Pertengahan Oktober 2009
No comments:
Post a Comment