Sekilas Ibnu Abidin
Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz Ad-Dimsyaqi al Hanafi atau dikenal dengan nama Ibnu Abidin, lahir di Damaskus rahun 1194 H dan wafat tahun 1252 H. Ibnu Abidin tumbuh dibawah pemeliharaan ayahnya yang pedagang, yang memanfaatkan perdagangannya untuk mencari ilmu pengetahuan. Ibnu Abidin mulai mengarang buku pada umur 17 tahun. Karangannya mencapai 40 kitab. Ia menjadi rujukan fatwa di Damaskus.
Suatu hari seorang yang dengki mengadukan kepada Sultan Abdul Hamid bahwa salah satu pembahasan dalam kitabnya “Hasyiyah” membahayakan kekuasaan Sultan yang mengakibatkan buku itu dikumpulkan dan dimusnahkan. Tetapi para ulama membantah kabar tersebut sehingga kitab-kitab itu dikembalikan dan disebarluaskan.
Ibnu Abidin hafal Quran sewaktu masih kecil. Ketertarikannya kepada ilmu dimulai ketika ia suatu hari membaca Quran di tempat ayahnya berdagang. Tiba-tiba lewat seseorang yang kebetulan mendengar bacaannya. Orang itu memarahinya sambil menyalahkan bacaannya, dan berkata: ”Kamu tidak boleh membaca Quran seperti ini, karena pertama tempat ini adalah tempat berdagang. Orang-orang itu jadi tidak mendengar bacaanmu karena kesibukannya. Mereka jadi berdosa karenamu. Kedua, kamu juga berdosa karena bacaanmu salah.”
Ibnu Abidin bangkit dan bertanya pada orang itu dimana orang yang ahli pada zaman itu. Orang itu lalu menunjukkannya kepada Syaikh Said al Hamawi. Ibnu Abdin lalu pergi kepadanya yang kemudian mengajarkannya hukum-hukum bacaan dan Tajwid. Saat itu ia belum lagi baligh, tapi ia sudah mulai menghafal kitab-kitab qiraat dan Tajwid seperti AsSyatibiyah dan alJuzriyyah. Ia kemudian mendalami Nahwu dan Sharaf serta fiqih mazhab Syafii. Ia lalu menghadiri majlis Syaikh Muhammad Syakir as Saa’i Al ‘Amar. Ibnu Abidin belajar darinya ilmu Ma’qul dan Manqul seperti Hadist dan Tafsir. Ia lalu pindah ke Mazhab Abu Hanifah ketika ia belajar dari gurunya Assaa’iy, membaca kitab-kitab fiqih dan usul fiqih sampai mahir dalam ilmu itu. Ia kemudian menjadi pemikir pada zamannya.
Ia juga belajar dari gurunya Syaikh AlAmir AlMasry dan menghadiahkannya ijazah pemikir Syam, Syaikh Muhammad alKazbiry. Ia juga belajar dari ulama-ulama terkenal seperti Abdul Ghany al Maydany, Syaikh Hasan alBaythary dan Ahmad Affandi al-Islambuly dll. Ibnu Abidin mengarang buku atas dasar fiqih Hanafi, karena ia tidak lama berpegang kepada mazhab Syafii.
Adalah gurunya As Salimy yang mengarahkan kepindahannya ke mazhab Hanafi yang distujuinya. Ia mengarang dua “hasyiyah” (ringkasan) atas kitab “Syarhul Manar”, menulis sebuah kitab yang dinamainya “AlUqud Al La-aly” yang diambil dari nama guru-guru tempat ia mengambil ilmu. Ketika gurrunya Syaikh AsSaalimy wafat pada bulan Muharram 1222H ia baru saja belajar darinya satu juz dari kitab “Albidayah” karangan Almarghinyany dan kemudian pindah kepada gurunya Muhammad Said alHalaby. Ia lalu menyempurnakan bacaan kitab”AlHidayah” darinya.
Ia mulai mengarang hasyiyahnya yang terkenal, “Raddul Mukhtar ‘alaa Durril Mukhtar” yang masyhur dengan nama “Hasyiyah” sehingga namanya yang asli malah tenggelam, yaitu “Hasyiyah Fiqhiyyah”. Ia juga mengarang kitab jawaban-jawaban atas pertanyaan yang datang kepadanya dalam sebuah kitab yang dinamai “Rasail Ibn Abidin”. Kitab ini berisi kurang lebih 42 surat. Selain itu ia juga mengarang kitab “Uqud Durriyyah fi Tanqih AlFatawa Alhamidiyyah”. (Dikutip dari Hamdi bin Abdurrahman AlJunaidil, Manahij al bahitsin fil Iqtishad alIslamy, Syirkah al Ubaikan, 1406)
Pemikiran ekonomi.
1. Tentang Uang
Keterlibatan Ibn Abidin dalam masalah uang terlihat ketika ia menulis dalam bukunya tentang jual beli dengan uang yang terkadang ada dan terkadang menghilang dari peredaran. Berikut kasus yang ia tulis dalam bukunya.
“Apabila seseorang membeli baju dengan beberapa dirham tunai untuk suatu negeri tapi tidak ditunaikannya sampai berubah baju tersebut, maka ada dua hukum yang berlaku:
a. Apabila dirham tidak beredar pada hari itu di pasar, maka jual beli itu tidak sah karena menghancurkan harga.
b. Apabila dirhamnya masih beredar tetapi berkurang nilainya, akad itu tidak fasid karena tidak mempengaruhi harga dan tidak ada pilihan selain dirham itu. Apabila terputus, tidak mampu mencarinya, maka itu jadi hutang pada saat terputus dari emas dan perak. Itulah pendapat yang terpilih. Pada pokok masalah ketiadaan peredaran mewajibkan fasidnya akad apabila tidak beredar di semua negeri karena saat itu menjadi hancur dan barang jualan terbiar tanpa harga. Apabila dirham tidak beredar di negeri ini saja, maka akad tidak rusak. Penjual memiliki pilihan ia mau berkata” Berikan padaku seperti yang terjadi pada jual beli.” Apabila ia mau, ia dapat mengambil harga dinar-dinar itu.
Dan ketahuilah bahwa apabila ia membeli dengan dirham yang banyak palsunya atau dengan fulus sedangkan keduanya bermanfaat, jual beli dibolehkan.”Dua kasus di atas sebenarnya muncul dari masalah moneter yang terjadi sekitar abad 16-17 Masehi dimana efek dari perubahan mata uang dari dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak) kepada fulus (mata uang tembaga) di abad 14 (zaman Ibn Khaldun dan Al-Maqrizi) masih mendominasi masalah fiqih. Mata uang yang berlaku di zaman itu adalah mata uang yang telah mengalami perubahan dalam bentuk sejak zaman Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui uang emas dan perak di zaman Rasulullah dicetak dari Romawi dan Persia dengan menggunakan ukuran berat. Sedangkan sejak zaman Dinasti Umawiyah, dibuat perubahan dalam bentuk dan tulisan tapi tetap menggunakan standar berat. (Lihat AlMaqrizi, Igatsah Ummah bi Kasyfil Gummah)
Kebijakan perubahan ini diikuti Dinasti Mamluk yang kewalahan mencari solusi atas bencana kelaparan dan paceklik, sehingga salah satu sultannya, Yilbuqa mengeluarkan uang sekunder yang kemudian disebut fulus. Berbeda dengan dinar dan dirham yang masing-masing terbuat dari emas dan perak, fulus terbuat dari tembaga yang nilainya jauh dibawah emas dan perak.
Kebijakan ini ditentang oleh para ulama, termasuk AlMaqrizi, yang mengkhawatirkan akan terjadinya kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang yang berlaku dan menambah parahnya korupsi yang sudah merajalela. Tetapi nampaknya dinasti Mamluk yang berkuasa saat itu dan dinasti-dinasti sesudahnya mengabaikan kritik itu dan meneruskan pencetakan uang tembaga sehingga ketika Dinasti Usmaniyyah runtuh pada tahun 1923 yang tertinggal di masyarakat adalah uang tembaga. Karena itu tidak mengherankan apabila dalam fiqih masih terdapat perdebatan apakah pemerintah dapat mengeluarkan uang selain emas dan perak.
Masalah fiqih yang dapat disimpulkan dari kasus yang ditulis Ibn Abidin adalah;
a. Perubahan Uang
Termasuk didalamnya keterputusan atau tidak laku, atau naiknya harga atau turun ketika muamalah tunai dilakukan, baik jual beli, sewa-menyewa, pinjaman atau mahar dll. Apa hukum dari kondisi ini? Apakah diserahkan semisalnya? Atau diserahkan nilainya? Apakah nilai ketika akad, atau ketika tidak laku?
b. Penipuan dalam Uang
Dari emas, perak dan uang yang lain, yaitu fulus dan dirham. Apabila terdapat penipuan dalam uang tersebut, apa hukumnya? Apabila susah menyerahkannya, atau naik/turun, apa hukumnya?
2. Perubahan dalam mata uang
Sehubungan dengan perubahan dalam mata uang, Ibn Abidin menyebut tiga kondisi dalam masalah batalnya muamalat:
a. Kondisi rusak (Kasd), yaitu ketika tidak ada yang menggunakannya di semua negeri. Kondisi ini merusak akad. Jika dianalogikan dengan kondisi sekarang maka kondisi ini menyerupai dengan penarikan uang yang sudah habis masa berlakunya.
b. Kondisi Keterputusan (Inqitha’), yaitu ketika uang jenis itu tidak dijumpai di pasar. Tetapi apabila jenis uang itu didapati ada di sebagian rumah tangga atau tempat pertukaran, ada dua pendapat; pertama rusaknya jual beli seperti kondisi pertama. Kedua wajibnya harga ketika terputus di hari keterputusan itu. Pendapat kedua ini yang terpilih. Kondisi ini menyerupai peralihan satu jenis mata uang kepada jenis mata uang lain, misalnya dari Gulden (Belanda) kepada Rupiah (Indonesia) di jaman kemerdekaan. Atau ketika terjadi pemotongan uang (Sanering) terhadap Gulden di zaman Syafruddin Prawiranegara menjadi Gubernur Bank Indonesia. Kasus ini terkenal dengan “Gunting Syafruddin”.
c. Kondisi bertambah atau berkurangnya nilai uang. Apabila bertambah nilanya, maka barang yang dibeli tetap pada kondisi penjual, dan tidak ada pilihan bagi pembeli kecuali menerimanya. Istilah untuk kondisi ini pada zaman moderen adalah deflasi (meningkatnya nilai uang terhadap barang) dan inflasi (menurunnya nilai uang terhadap barang).
3. Uang KertasUang kertas tidak pernah dikenal dalam pembahasan ulama klasik, termasuk Ibn Abidin karena tidak pernah beredar diantara mereka. Adalah para ulama moderen yang berijtihad dalam masalah ini. Karena itu timbul perbedaan pendapat yang diakibatkan perbedaan pemahaman dan dasar berfikir tentang essensi dari uang kertas.
a. Mazhab Pertama: Surat utang dengan Utang yang lebih tinggi.
Mazhab ini beranggapan bahwa uang kertas adalah hutang pada pihak penerbitnya, yaitu bank sentral. Diantara pemikiran istimewa dari mazhab ini adalah:
i.Tidak boleh melakukan transaksi Salam dengan menggunakan uang kertas, karena diantara syarat jual beli Salam yang disepakati adalah penyerahan obyek aqad oleh salah satu pihak pada majelis akad. Menyerahkan uang tunai menurut mazhab ini sebenarnya tidak menyerahkan uang, tapi mengalihkan hutang yang dibawanya dari sumbernya (bank sentral).
ii. Tidak boleh melakukan transaksi penukaran (Sharf) dengan uang bernilai seperti emas atau perak meskipun secara tunai (cash and carry), karena uang kertas menurut pendapat ini adalah kepercayaan (watsiqah) atas hutang yang tak tertentu dari majelis aqad, padahal diantara syarat sharf adalah saling menyerahkan di majelis aqad.
iii. Batalnya jual beberapa jual beli yang menyebabkan tanggungan (zimmah) pada barang-barang atau harga dengan kertas ini, karena kondisinya yang hanya merupakan kepercayaan atas hutang yang tak tertentu. Hal seperti ini, menurut pendapat ini, merupakan analogi dari jual beli hutang dengan hutang (kala’) seperti yang dilarang oleh Nabi SAW.
iv. Pendapat yang mengatakan bahwa uang kertas merupakan tagihan hutang pada penerbitnya masuk dalam wilayah perdebatan diantara para ulama dalam masalah zakat atas hutang, yaitu apakah zakat atas hutang itu wajib sesudah tertagih atau sebelumnya? Karenanya tidak wajib zakat atas uang kertas pada orang yang mengatakan bahwa uang kertas merupakan hutang yang tidak tertagih.
b. Mazhab Kedua: Komoditas Perdagangan
Mazhab ini menganggap bahwa uang kertas adalah komoditas perdagangan, karena akad jual beli terjadi antara kertas dan surat, secara ucapan dan makna. Akad menurut pendapat ini tidak terjadi antara emas dan perak sehingga tidak termasuk hadist Nabi yang mengatakan mengatakan emas dengan emas itu riba. Akad yang terjadi adalah pada kertas yang berbeda jenisnya dengan emas dan perak. Kalaupun ada persamaan dalam nilai, bukan persamaan ini yang kemudian menyebabkan riba dan dihukumkan dengan hukum emas dan perak serta menganalogikannya dengan jenis permata dan intan. Jika nilai dan harganya menyerupai emas dan perak maka tidak dapat dihukumkan dengan emas dan perak. Karena itu uang kertas adalah barang perdagangan yang tetap padanya apa yang tetap pada barang-barang perdagangan yang lain dari sisi pertambahan dan pengurangan, memperjualbelikannya baik dengan kelebihan maupun kekurangan, baik satu jenis maupun berbeda jenis, disebabkan bolehnya perdagangan atas kertas ini. Sedangkan dalil pengharaman yang menunjukkan adanya riba adalah atas emas dan perak, tidak meliputi kertas ini. Karena itu kaedah usul akan bolehnya muamalah dengannya tetap tidak terhapus.
Diantara pemikiran mazhab ini adalah:
i. Tidak boleh melakukan transaksi Salam dengan uang kertas bagi yang mensyaratkan bahwa penyerahan salah satu obyek akad terdiri dari emas dan perak tunai, atau selainnya dari jenis uang, karena uang kertas itu adalah barang, bukan harga.
ii. Tidak adanya riba pada uang kertas. Karenanya boleh melakukan pembelian Rp.10.000,- dengan Rp.15.000, atau lebih kecil dan lebih besar, sama seperti bolehnya pertukaran antar barang.
iii. Zakat atas uang kertas tidak wajib selama dihitung sebagai barang perdagangan, karena diantara syarat zakat adalah barang-barang yang masuk dalam perhitungan dagang.
c. Mazhab Ketiga: Sebanding (Mulhaq) dengan Fulus
Mazhab ini menyamakan uang kertas dengan fulus (uang tembaga) dari sisi nilai. Karenanya hukum riba yang ada pada fulus, pertukaran dan salam terdapat pula pada uang kertas. Tetapi mazhab ini juga memberikan pemikiran sebagai berikut:
i. Uang kertas adalah jaminan yang lebih mahal pada nilai, seperti nilai yang ada pada fulus. Uang kertas memiliki kekuatan pembebasan hutang yang tak terbatas, sedangkan fulus terbatas.
ii. Jika uang kertas kembali kepada asalnya, maka ia hanyalah sepotong kertas kecil yang nilainya kehilangan daya beli ketika dilakukan pembatalan, sedangkan apabila otoritas membatalkan fulus sebagai mata uang, maka benda aslinya masih memiliki nilai seperti barang lainnya.
iii. Fulus dapat digunakan sebagai penyimpan nilai (store of value) dari barang. Fungsi ini diperlukan masyarakat. Pelonggaran terhadap hukum-hukumnya merupakan maslahat umum seperti pembolehan gharar dan jahalah yang kecil.
iv. Karena nilai fulus yang tidak signifikan, barang-barang yang bernilai tinggi tidak bisa dinilai dengan menggunakan fulus, tapi bisa dengan emas dan perak atau uang kertas. Secara umum riba tidak terjadi kecuali pada barang-barang yang bernilai tinggi ini.
d. Mazhab Keempat: Pengganti Uang
Mazhab ini dianut kebanyakan para fuqaha moderen, yaitu uang kertas menggantikan peran emas dan perak secara sempurna. Hukum padanyapun seperti hukum pada emas dan perak. Fungsi uang kertas dalam penilaian harga persis seperti apa yang dilakukan oleh emas dan perak. Persoalan syariah ada pada maksud dan maknanya, bukan dengan sebutan dan bentuknya. Kecuali bahwa uang kertas hanyalah sepotong kertas apabila kehilangan fungsi penilaiannya atau setelah dibatalkan.
Diantara pemikiran mazhab ini adalah:
i. Berjalannya hukum riba pada uang kertas.
ii. Hukum zakat berlaku apabila nilainya mencapai nishab emas dan perak
iii. Transaksi Salam dibolehkan menggunakan uang kertas
iv. Memiliki denominasi sepetrti halnya pada emas dan perak.
Mazhab ini juga menekankan akan adanya bimetallic standard, yaitu uang kertas yang dikeluarkan harus berdasarkan emas dan perak. Sebelum tahun 1970, seluruh mata uang di dunia memang didasarkan atas cadangan emas, yang dikenal dengan Bretton Wood Agreement. Tapi kemudian perjanjian ini dibatalkan oleh Presiden Nixon karena cadangan emas Amerika tidak bisa menjamin pengeluaran mata uang dollar oleh Federal Reserve.
e. Mazhab Kelima: Harga masa depan pada zatnya
Mazhab ini merupakan mazhab kontemporer yang tidak mendasarkan uang kertas pada emas dan perak, tetapi sebagai didasarkan pada kondisi ekonomi negara dan kepercayaan masyarakat kepadanya serta uandang-undang yang mendukungnya.Mazhab ini relatif pragmatis dengan tujuan mengangkat kesulitan (haraj) dari kaum muslimin yang disebabkan oleh emas dan perak terutama dari sisi praktis dan keamanan. Wallahu A’lam
(Dikutip dari Hamdi bin Abdurrahman AlJunaidil, Manahij al bahitsin fil Iqtishad alIslamy, Syirkah al Ubaikan, 1406)
*****
Disampaikan pada Kuliah Informal Ekonomi Islam-Fakultas Syariah IAIN, 1 Juni 2002
No comments:
Post a Comment