Tuesday, February 18, 2020

Manekin dan Ekonomi Islam

Tantangan mengembangkan UMKM Syariah sebagai bagian dari perluasan rintisan Halal Value Chain (HVC)  bukan saja datang kendala eksternal yang memang sudah seperti "belantara" jaringan konvensional. Gerakan pengembangan usaha kecil dan menengah berada pada trend meningkatnya komitmen para milenial untuk kembali kepada pelaksanaan syariah sebagai life style. Artinya syariah yang diperkenalkan kini  bukan saja sebagai produk keuangan yang dikoreksi dari sistem konvensional. Oleh karena itu tidak heran jika aktifitas dan teknik usaha juga menjadi sorotan.

Baru-baru ini kritik datang dari rekanan yang biasa diundang untuk memeriahkan festival tahunan ekonomi syariah mengenai penggunaan manekin sebagai pajangan untuk produk UMKM. Menurut mereka tidak etis bagi UMKM Syariah mengikuti pola konvensional dalam memajang pakaian karena menyerupai tubuh manusia, yang hukumnya dilarang dalam Islam. Benarkah?

Hasil penelitian mengenai hukum menggunakan manekin sebagai pajangan diperoleh penjelasan sebagai berikut:

Hukum menggunakan Manekin (English “mannequin”, Arab ‘aridah azya عارضة أزياء) yaitu boneka/patung kayu yang digunakan untuk memajang pakaian- secara umum dibolehkan dalam Islam dengan syarat:

1. Tidak menyerupai manusia secara utuh (100 %), misalnya setengah badan, atau seluruh tubuh tanpa kepala atau seluruh tubuh dan kepala tanpa wajah dan sejenisnya
2. Tidak memamerkan aurat atau bagian yang tidak layak dan tidak sopan untuk ditampilkan;
3. Bertujuan informasi atau pendidikan.

Kebanyakan ulama -dari mazhab Maliki, Syafii dan Hambali- berpendapat bahwa diharamkan membuat gambar dan patung kecuali untuk boneka (mainan anak-anak).
Al-Qadhi ‘Iyadh (salah satu ulama mazhab Maliki) menukil  kebolehan tersebut dan mengatakan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. Begitu pula Imam Nawawi mengikuti pendapat ini dalam kitabya,  Syarah Muslim. Beliau berkata bahwa dikecualikan dari larangan gambar atau patung yaitu jika dimaksudkan untuk boneka anak-anak karena ada dalil yang menunjukkan keringanan hal ini. Kebolehan di sini terserah mainan tersebut dalam bentuk manusia atau hewan, baik berbentuk tiga dimensi ataukah tidak, begitu pula yang berbentuk imajinasi yang tidak ada wujud aslinya seperti kuda yang memiliki sayap.
Namun ulama Hambali memberikan syarat tambahan, yaitu jika kepala atau anggota badannya tidak sempurna, sehingga tidak dianggap bernyawa. Sedangkan ulama lainnya tidak mempersyaratkan seperti itu. Jumhur ulama berdalil dengan pengecualian di atas berdasarkan hadits ‘Aisyah r.a, di mana ia berkata,

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى 

“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130).

Ahli hadits Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan, “Para ulama berdalil dengan hadits ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari keumumann hadits yang melarang membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qadhi ‘Iyadh dan beliau katakan bahwa inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 10: 527).

Ulama Mazhab Syafii, Maliki dan Hambali berpendapat pengecualian tersebut menunjukkan bahwa mainan itu dibolehkan karena ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jika tujuannya hanya sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan karena ada bahasan sendiri tentang hukum memajang gambar.

Dari penjelasan di atas, berarti dibolehkan boneka untuk mainan anak perempuan dalam rangka mendidik mereka supaya anak perempuan bisa jadi lebih penyayang. Namun aman dan lebih selamat, boneka tersebut tanpa wujud yang sempurna, tanpa kepala atau wajahnya dihilangkan.

Wallahu a’lam.

Referensi:

https://islamqa.org/hanafi/askimam/83979
https://rumaysho.com/3568-hukum-boneka.html

No comments:

Post a Comment